Bagian Tiga

1278 Words
"Naya, serius yang semalem itu Bang Dani?" Terhitung ini adalah pertanyaan keempat Rena. Sejak semalam gadis itu memberondong Naya dengan segala pertanyaan, membuat Naya pusing bukan kepalang. "Iya, Ren," "Awas aja kalau nanya lagi!" Lanjut Naya cepat saat Rena hendak bertanya kembali. "Serius ih, Bang Dani makin kece bandai," Pekik Rena sembari membayangkan betapa gagahnya Dani semalam. "Biasa aja." Sahut Naya acuh. Rena melongok ke kubikel Naya, memperhatikan gadis itu tengah memeriksa nilai ulangan harian. "Emang Kamu beneran nggak ada rasa gitu, sama Bang Dani?" Pertanyaan Rena membuat Naya bungkam, menatap kosong pada kertas bertuliskan mirip ceker ayam. "Bang Dani ganteng loh, kurang apa coba? Tampan, badan gagah perkasa, matang dan mapan. Mapan banget malah. Yah, cuman minus Duda ajasih." "Tapi, kalau Aku jadi kamu nih, Nay...Aku bakalan terima sih. Gak papa Duda, yang penting tajir melintir. Ah, aman tujuh turunan..." Celoteh Rena. "Dasar mata duitan!" "Realistis!" Ralat Rena. Naya memutar bola mata jengah. Memilih mengabaikan Rena dan kembali fokus dengan kegiatannya. Sejenak Naya tertegun dengan kalimat yang diucapkan Rena barusan. Namun, memilih mengabaikan. Tidak ada gunanya, toh semua sudah berakhir kini. . . "Mau bareng nggak?" Tawar Rena pada Naya. Keduanya kini berada di Koridor kelas, melangkah turun ke parkiran. "Nggak deh, mau naik taksi aja. Lagian kita nggak searah," Perjelas Naya. "Ck, kayak sama siapa aja sih? Sekalipun rumahmu diujung Himalaya juga Aku anterin." "Yaudah, besok Aku pindah ke Himalaya," "Yeee, nggak gitu juga kali Bambang!" Mobil fajero hitam mengklason dari luar gerbang sekolah. Keduanya menoleh, dan mendapati sosok tampan nan rupawan di dalam mobil lengkap senyum manis. "Bang Dani?" Rena bertanya, entah pada siapa. Dani turun dari mobil, setiap langkah kakinya adalah seni mahal. Berwibawa dan tampan, paket komplit. Apalagi, senyum Dani seperti magnet yang menarik siapapun juga akan ikut tersenyum dan terpesona. Naya baru menyadari itu. "Rena,'kan?" Dani bertanya tepat ketika kini berada di depan dua gadis. Rena mengangguk berkali-kali, saking terpananya, "i-ini, Bang Dani,'kan? Yang dulu ngejar-ngejar Naya?" Seketika Rena langsung menutup mulutnya, mendapati tatapan tajam Naya dan senyum lembut milik Dani. Rena merasa tidak sopan menanyakan hal itu, huh, andai kata-katanya bisa ditarik. "Iya, sampai sekarang juga masih ngejar-ngejar," Jawab Dani ringan. Tidak merasa tersinggung dengan perkataan Rena barusan. "Kalau Naya nggak mau. Sama Rena aja, Bang." Lagi-lagi mulut Rena tidak bisa di kontrol, beginilah kalau dihadapkan manusia tampan. Lupa daratan. "Nggak deh, maunya Naya aja." Entah untuk alasan apa, Naya merasa harus banget mengejek Rena melalui tatapannya. Naya merasa menang. Terlebih, melihat Rena yang salah tingkah menahan malu. "Eh, hehe. Nay, pulang dulu, ya? Bang Dani, Rena pamit pulang duluan," Pamit Rena sembari menelan rasa malu bulat-bulat. Jujur saja, niatnya hanya bercanda tapi reaksi Dani sungguh diluar perkiraan. "Adek kenapa, kok senyum-senyum?" Pertanyaan Dani membuat Naya gelapan. "H-hah? Enggak kok, siapa yang senyum-senyum." Elak Naya. Tentu dia tidak akan mengatakan kalau baru saja merasa bahagia. Bahagia? Benarkah? "Mikir jorok, ya?" Selidik Dani. "Apa sih, enggak!" "Terus?" "Apanya?" "Mikir apa? Kok senyum-senyum," "Bukan apa-apa!" "Mikirin Abang, ya? Yakan?" Goda Dani menaik-turunkan alisnya. Naya mengerjap kaget, pasalnya Dani menunduk sembari menatap wajah Naya intens. Dani memang sempurna, seperti kata Rena. Apalagi, pakaian formal yang melekat di tubuh kekar Dani membuatnya tampak semakin mempesona. Tak! "Akh!" Jerit Naya sembari memegang keningnya yang baru saja di jitak Dani. Benar-benar sakit. "Bang ih, sakit tauk!" Marah Naya. "Gitu aja sakit," Ejek Dani. "Oh, jadi itu tandanya, Abang juga mau Naya jitak, hah?!" Naya bersiap melayangkan jitakan, namun Dani segera berkilah. Sehingga Naya hanya menggapai kekosongan. "Pendek." Ucap Dani dengan senyum mengejek. Naya melotot, perlu kalian tahu tinggi Naya itu 165. Untuk ukuran perempuan Indonesia, Naya sudah cukup proposional. Salahkan saja Dani yang terlalu tinggi. "Aku enggak pendek ya, Bang. Tinggiku 165!" "Tetep aja pendek di mata, Abang," "Bukan Aku yang pendek, Abang aja yang mirip tiang listrik!" Sewot Naya tak mau kalah. Menatap sengit pada Dani yang mulai kebakaran jenggot. "Enak aja, seganteng Abang disamain sama tiang listrik." Naya memutar bola mata jengah. Senarsis itu kadang duda satu ini. "Abang ngapain kesini?" Tanya Naya mengalihkan topik pembicaraan. Lelah juga debat debat dengan Dani. "Jemput Adek, siapa lagi?" "Yang nyuruh jemput siapa?" "Inisiatif aja sih, kasian calon istri nggak ada yang jemput." Cengir Dani. "Bilang aja sebenernya, Abang tuh mau modus!" "Iy--eh, enggak! Beneran, Abang tuh pengen jemput Adek sekalian ngajakin makan siang. Abang masih punya waktu satu jam setengah sebelum balik kantor lagi," Jelas Dani sembari melihat arjoli mahal di tangannya. Naya berani bersumpah jam tangan yang dipakai Dani bukan jam tangan lima puluh ribuan dipinggir jalan. Bisa jadi, jam tangan Dani sama dengan gajinya selama setahun mengajar, bahkan lebih. "Kalau Aku nggak mau?" Jawab Naya santai, walau sebenarnya tergiur makan siang gratis. Kesempatan bisa makan enak di restoran bintang lima, kapan lagi,'kan? Mumpung yang ngajakin duda tajir melintir. "Kenapa harus nggak mau?" Tanya Dani tidak suka. "Karena nggak ada alasan buat bilang 'mau'," Naya masih mempertahankan ego, padahal cacing di perutnya sudah meronta-ronta. Kelihatan banget, Naya pecinta gratisan. "Terima tawaran Abang, atau Abang nikahin Adek sekarang juga!" Dani tersenyum puas saat melihat raut kesal Naya. Jika sudah diancam begini, Naya tidak bisa untuk tidak bilang 'iya'. Walau kenyataan tersebut membuat Dani tersenyum sedih, sebegitu tidak maunya'kah Naya menikah denganya? Karena memikirkan beberapa kebutuhan hidup. Naya juga merasa harus hemat bulan-bulan terakhir ini, maka ketika ditawari tumpangan dan makan siang gratis Naya langsung meng'iya'kan saja. Walaupun, harus diawali dengan drama debat. . . "Kasian banget ikannya," Naya berucap sembari melihat ikan gurami bakar di depannya. Terlihat enak, namun kasihan. "Kalau kasian nggak usah dimakan." Ucapan Dani membuat Naya mencibir. "Terus Aku makan apa?" "Tuh daun-daun," Tunjuk Dani menggunakan matanya. Mengarah pada sepiring lalapan berbagai sayuran tersaji di atasnya. "Aku bukan kambing," "Nggak ada yang bilang gitu," "Ish!" "Makan, perutmu nggak akan kenyang kalau cuman lihatin gurami melulu." Berdebat dengan Dani juga butuh tenaga. Naya memilih fokus pada makanan, mengisi perut, agar ketika Dani mengajaknya kembali berdebat Naya punya banyak tenaga. Kelihatannya saja pendiam tapi kalau sudah berhadapan dengan Naya, Dani adalah manusia cerewet dan rempong. Suasana restoran dengan nuansa gubuk bambu di atas kolam ikan, dimana satu gubuknya hanya dimuat satu keluarga saja, memberi ruang lebih privasi pada pelanggan. Suara gemercik air dari air terjun kecil buatan, membuat nyaman dan betah lama-lama. "Alhamdulillah," Syukur Dani ketika sudah selesai. Kemudian mencuci tangannya hingga bersih. Dani menatap Naya yang juga sudah selesai. Perempuan dengan seragam pemda lengkap jilbab warna senada itu tengah mencuci tangan. Dani baru saja menganggumi betapa Naya tidak pernah berubah, tetap cantik dan semakin bersinar dimatanya. "Aku baru tahu ada restoran senyaman ini. Makanannya juga enak banget," Naya melihat guraminya tinggal tulang. Kasihan berujung nestapa, ikan gurami yang malang. "Tapi bagi Abang, masih tetep enakkan masakan Kamu, Dek." Aku Dani jujur. Menatap lembut netra coklat terang milik Naya. Sedang yang ditatap merasa gugup. "Ah, hahaha...Abang bisa aja. Tentu masakanku tiada duanya," Ungkap Naya dengan tawa yang terlihat banget kegugupannya. Kelemahan Naya adalah tatapan Dani, walau netranya serupa kelamnya malam. Namun, kelembutan yang terpancar begitu nyata. Seolah memaksa Naya untuk terpikat di dalam pusara dan enggan kemana-mana. Mengalihkan tatapan, kemana saja asal tidak bertemu netra Dani. Naya baru menyadari bahwasanya setiap gubuk rata-rata diisi oleh satu keluarga. Naya menatap satu gubuk di sampingnya yang diisi dua manusia berbeda gender dan satu anak perempuan yang sedari tadi tidak berhenti tertawa. Terlihat Sang Ayah tengah melontarkan kata-kata lucu hingga gadis kecil itu tertawa bahagia. Tawa gadis itu menghadirkan senyum pada Naya dan Dani. Keduanya tengah menyelami perasaan masing-masing. "Lucu banget ya, Bang," Ucap Naya tanpa sadar, masih fokus pada objek sampingnya. Dani menoleh, melihat senyum Naya. Perasaan Dani menghangat, membayangkan kelak juga punya anak dari perempuan bernama Nayanika. Nama yang selalu Dani sebut disetiap doa-doa, semoga Allah semogakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD