Adhyaksa bersandar di tembok pembatas dekat Kantin Timur, tangannya memegang buku tebal Pengantar Hukum Bisnis—mata kuliah umum yang harus ia ambil di semester ini. Di sebelahnya, Bima, teman se-fakultasnya yang berisik, sibuk mengamati setiap mahasiswi yang melintas.
“Kau ini kenapa, Dhi ? Sejak kemarin kau seperti zombie yang sedang menghafal pasal,” komentar Bima, menyikut lengan Adhyaksa.
Adhyaksa menurunkan buku itu sedikit, pandangannya tetap fokus. “Aku harus mengejar IPK tinggi, Bim. Ingat, kita ini Cuma punya satu kesempatan. Aku tidak punya uang untuk cuti atau remedial. Kau juga, jangan Cuma lihat cewek terus.”
Bima tertawa keras. “Aku tahu, aku tahu! Misi kita adalah lulus cepat. Tapi hidup ini butuh refreshment, Bro. Lihat itu, mahasiswi Fakultas Ekonomi. Matanya seperti dollar AS, berkilauan!”
“Matamu yang berkilauan. Kau tahu Kakekku bilang apa? Jauhi masalah, Bim. Dan biasanya, masalah itu datang dalam bentuk yang sangat menarik,” ujar Adhyaksa, mengulang nasihat Kakek Yasser.
“Kau terlalu serius, Adhi. Kau sudah 20 tahun, mahasiswa. Kakekmu hanya ingin kau aman. Tapi kau juga butuh cinta. Dan kau tahu siapa yang perlu kau dekati?” Bima merendahkan suaranya, matanya mencari-cari. “Tania. Mahasiswi Hukum itu, yang pernah aku ceritakan.”
Adhyaksa mendadak berhenti membaca, meskipun ia berusaha keras untuk terlihat tidak tertarik. “Tania? Kenapa dia? Dia dari fakultas mana, sih? Aku sering lihat dia dekat Fakultas Hukum.”
“Benar! Dia mahasiswi semester satu Fakultas Hukum. Gila, Adhi. Selain cantik, dia itu punya aura mahal, tapi sikapnya sangat rendah hati. Kontradiksi yang sempurna. Aku sudah mencoba mendekat, tapi dia terlalu sopan dan terkesan menutup diri,” jelas Bima, terdengar frustrasi. “Tapi aku lihat kau, Bro. Kau punya karisma alami. Coba kau sapa saja, sekali-kali.”
“Tidak ada waktu, Bim. Aku sudah bilang,” kata Adhyaksa tegas, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Aku tidak mau mengalihkan fokusku. Romansa itu mahal harganya.”
“Tapi bukankah nenekmu bilang kau harus menikmati masa muda mu?” desak Bima. “Kau terlalu membatasi diri.”
Saat Adhyaksa hendak menjawab, pandangannya tanpa sengaja tertuju pada gerbang Gedung Perpustakaan yang ramai. Di sana, ia melihat Tania.
Tania tampak kesulitan. Ia membawa setumpuk buku yang luar biasa tebal, mungkin literatur pengantar hukum, dan di bahunya tersampir tas laptop yang besar.
Saat ia mencoba meraih ponsel di saku celana jeans-nya, tumpukan buku itu tiba-tiba miring dan jatuh berserakan di trotoar.Beberapa mahasiswa lain hanya lewat, sebagian melirik tanpa menawarkan bantuan.
“Lihat tuh, Dhi. Kasihan. Aura mahalnya tidak bisa menyelamatkannya dari gravitasi,” celetuk Bima, tertawa kecil.
Adhyaksa tidak tertawa. Dalam sekejap, ia mengingat bagaimana Ibunya pasti akan merasa jika melihat orang lain kesulitan. Tanpa berpikir panjang, ia menjatuhkan bukunya sendiri dan berjalan cepat menghampiri Tania.
“Adhi, tunggu sebentar!” seru Bima, terkejut dengan inisiatif temannya.
Adhyaksa berlutut di samping Tania yang wajahnya sudah memerah karena malu.
Tania buru-buru mengumpulkan buku-buku yang tercecer, beberapa halaman sampulnya sudah terlipat.
“Biar aku bantu,” kata Adhyaksa lembut.
Tania mendongak. Matanya yang besar dan coklat menatap Adhyaksa, dipenuhi rasa terima kasih bercampur kebingungan. Ia pasti tidak menyangka ada orang yang tiba-tiba membantunya.
“Astaga, terima kasih banyak. Maaf merepotkan,” ujar Tania, suaranya halus dan tenang, berbeda dengan kegaduhan di sekitarnya. “Aku ceroboh sekali. Baru dari perpustakaan, harusnya aku pakai tas ransel.”
Adhyaksa tersenyum, mengumpulkan buku-buku yang paling besar. Ia menyusunnya dengan rapi, seolah itu adalah tumpukan kayu yang biasa ia susun di rumah kakeknya.
“Tidak masalah. Berat sekali buku-buku ini. Hukum memang kejam, ya.”
Tania tertawa kecil. Tawa itu, bagi Adhyaksa, terasa seperti alunan musik di tengah suara bising motor dan kerumunan kampus.
“Ya, hukum memang kejam. Tapi harus dipelajari. Aku Tania, semester satu Hukum,” katanya, mengulurkan tangan.
Adhyaksa meraih tangan Tania. Sentuhan itu terasa mengejutkan, bukan karena formalitas, melainkan karena kelembutan kulit tangannya. “Aku Adhyaksa, semester tiga Teknik Informatika. Salam kenal, Tania.”
“Oh, Teknik Informatika. Pasti sibuk sekali dengan kode dan program. Aku sering mendengar betapa sulitnya di sana,” balas Tania, menarik tangannya setelah berjabat sebentar. Ia memandang Adhyaksa dengan tulus. “Sekali lagi, terima kasih. Kau menyelamatkan hidupku. Aku harus segera ke kelas.”
Adhyaksa merasa jantungnya berdebar kencang, sesuatu yang tidak ia rasakan bahkan saat menerima uang kiriman dari ibunya.
“Tunggu, Tania,” ia tiba-tiba berkata. Ia mengambil langkah yang sangat jauh dari batas yang ia buat sendiri. “Aku bisa membawakan ini untukmu sampai di depan gedung fakultas mu. Aku sedang tidak ada kelas.”
Tania ragu sejenak. “Sungguh? Tapi... itu jauh, dan kau sudah membantuku tadi.”
“Tidak masalah,” Adhyaksa menegaskan. “Anggap saja ini amalanku hari ini. Lagi pula, aku ingin memastikan buku-buku ini tidak mencoba bunuh diri lagi di trotoar.”
Tania tersenyum lebar, senyum yang mencerahkan seluruh wajahnya. “Baiklah, kalau begitu. Terima kasih banyak, Adhyaksa. Kau benar-benar baik hati.”
Mereka berjalan beriringan menuju gedung Fakultas Hukum. Jarak antara Kantin Timur dan Fakultas Hukum terasa sangat pendek bagi Adhyaksa.
Selama berjalan, Tania bercerita tentang kesulitan memahami mata kuliah pengantar dan betapa ia menyukai seni dan musik klasik di waktu luang. Adhyaksa, yang biasanya pendiam, menemukan dirinya terbuka, menceritakan sekilas tentang rumah kayu kakeknya dan betapa ia menyukai teknologi.
“Aku senang bertemu orang yang serius dengan pendidikannya, Adhyaksa,” kata Tania saat mereka tiba di depan aula besar Fakultas Hukum. “Aku harap kita bisa bertemu lagi. Aku... aku merasa nyaman bicara denganmu.”
Pernyataan itu—merasa nyaman—adalah kejutan yang menyenangkan bagi Adhyaksa. Ia terbiasa dianggap sebagai ‘cowok tampan’ atau ‘anak pintar’, tetapi tidak pernah ‘nyaman’.
“Tentu, kita akan bertemu lagi,” jawab Adhyaksa, suaranya dipenuhi janji yang tidak ia sadari. Ia menyerahkan tumpukan buku itu dengan hati-hati. “Hati-hati, Tania. Dan semoga berhasil untuk kelasmu.”
“Terima kasih, sampai jumpa!” Tania melambaikan tangan kecil, wajahnya masih berseri-seri. Ia melangkah masuk ke gedung yang megah itu.
Adhyaksa berdiri di sana cukup lama, mengamati pintu itu tertutup. Ia merasakan euforia ringan, diikuti oleh rasa takut yang dingin.
Bima muncul di belakangnya, menepuk bahunya. “Wow, smooth, Bro. Sejak kapan kau jadi pangeran yang membantu membawa buku? Jauh dari sikap ‘sibuk dan fokus’ yang kau banggakan tadi.”
Adhyaksa menggeleng. “Entahlah, Bim. Rasanya... aku hanya harus membantunya. Dia terlihat sangat tulus.”
“Tulus dan kaya, Dhi,” bisik Bima. “Tadi aku lihat dia dijemput mobil hitam super mewah, sopir berseragam lengkap. Dia jelas bukan dari ‘gang kecil’ kita.”
Pernyataan Bima menusuk tepat di kesadaran Adhyaksa. Ia tiba-tiba teringat Kakek Yasser. Jauhi masalah. Jangan dekati orang kaya.
Adhyaksa menarik napas dalam-dalam. “Dia hanya mahasiswi. Latar belakangnya tidak penting. Kita hanya bicara sebentar.”
Namun, ia tahu itu bohong. Sepanjang sore itu, di tengah tugas-tugas algoritma yang rumit, pikiran Adhyaksa terus kembali pada senyum Tania. Dia memiliki segalanya: paras, kecerdasan, dan kekayaan yang jelas. Sementara Adhyaksa hanya memiliki tekad, janji pada ibunya, dan aroma kayu tua di rumahnya.
Apakah aku boleh menikmati kebahagiaan ini, meskipun sebentar?