BAB 1 NASIHAT DAN SURAT DARI IBU

1238 Words
Adhyaksa duduk di anak tangga teras rumah, tangannya cekatan menggosokkan sikat gigi bekas pada permukaan sepatu kets putihnya. Gerakannya rapi, hampir obsesif. Ia memastikan tidak ada noda sedikit pun yang tersisa. Di sebelahnya, cahaya petang mulai meredup, menyisakan langit oranye yang terasa damai. Kakek Yasser, dengan rokok kretek terselip di jemari, menatap Adhyaksa dari kursi rotannya. Ekspresi wajahnya keras, khas seorang pekerja keras yang tak pernah mengenal lelah. “Kau sedang membersihkan sepatu atau menyikat batu permata, Adhyaksa?” sindir Kakek Yasser, mengembuskan asap tipis. Adhyaksa mendongak, tersenyum lebar. Senyumnya selalu tampak tulus, mampu meredakan ketegasan kakeknya. “Menyikat nasib, Kek. Ini sepatu untuk kuliah. Katanya, kalau sepatu bersih, pikiran ikut jernih. Aku tidak mau terlihat seperti anak kemarin sore di kampus. Aku harus terlihat serius.” “Serius itu ada di otak, bukan di kulit sepatu,” balas Kakek Yasser, mematikan rokoknya di asbak kaleng. “Sejak kau masuk universitas itu, kau semakin banyak alasan. Kau habiskan waktu terlalu banyak untuk penampilan luar.” Adhyaksa meletakkan sikatnya dan berdiri, mendekati Kakek Yasser. “Bukan alasan, Kek. Tapi strategi. Aku sudah janji pada Ibu, dan aku janji pada Kakek dan Nenek, aku akan lulus cepat dan dapat pekerjaan bagus. Aku harus tampil meyakinkan, agar orang melihatku sebagai potensi, bukan sekadar mahasiswa dari ‘gang kecil’ ini.” “Potensi sejati tidak perlu dipoles, Nak. Ia bersinar sendiri,” ujar Kakek Yasser, nadanya melembut, tetapi matanya tetap tajam. “Tapi sudahlah. Apa kabar tugas Kimia Dasar mu yang kau bicarakan tadi pagi?” “Sudah selesai, Kek. Tadi aku selesaikan sebelum senja. Aku ingin memastikan nilaiku A. Aku tidak boleh membuang satu pun Rupiah yang Ibu kirimkan untuk remedial,” jawab Adhyaksa, ada ketegasan yang terdengar saat ia menyebut Ibunya. Pintu rumah terbuka. Nenek Helena keluar membawa aroma surgawi: pisang goreng yang baru diangkat. Ia meletakkan nampan di meja kecil, dan sepotong pisang goreng langsung disodorkan ke mulut Kakek Yasser. “Sudah, Yasser. Jangan membuat cucu kita stres. Dia sudah bekerja keras,” tegur Nenek Helena, menyeka dahi Adhyaksa dengan punggung tangannya yang hangat. “Tubuhnya semakin kurus. Kau harus makan yang banyak.” “Aku baik-baik saja, Nek. Hanya sedang hemat makan agar uangnya cukup,” canda Adhyaksa, tapi di balik candaan itu ada kebenaran. Nenek Helena menggeleng, raut wajahnya berubah serius. Ia meraih sebuah amplop coklat tebal yang tadi ia letakkan di dekat cangkir teh. “Adhyaksa, ini untukmu. Tadi Pak Kurir mengantar. Lihatlah, cap posnya tebal sekali. Dari negara yang jauh,” kata Nenek Helena, menyerahkan amplop itu. Saat melihat cap pos luar negeri, denyutan kerinduan yang selalu ia sembunyikan langsung menyeruak di d**a Adhyaksa. Itu adalah kiriman dari Ibunya, Almira. Ia membuka amplop itu dengan sangat hati-hati, seolah takut merusak isinya. Di dalamnya, ada beberapa lembar uang kertas asing, dan selembar kertas tipis. Adhyaksa menarik napas dalam-dalam sebelum membaca. Kakek Yasser dan Nenek Helena menatapnya penuh harap. “Apa kata Ibumu, Nak?” tanya Nenek Helena lirih. Adhyaksa mulai membaca, suaranya pelan dan sedikit bergetar: ...Ibu bangga sekali. Setiap kali Ibu merasa lelah membersihkan rumah majikan, atau merindukanmu hingga sakit d**a, Ibu selalu ingat, kau sedang berjuang di sana. Kau harus jadi orang pintar, Nak. Kau harus lebih sukses dari Ibu... Adhyaksa berhenti sejenak, menelan ludah. Ia melanjutkan, membaca bagian yang paling penting. ...Uang ini... ini untuk membayar biaya semesteran-mu dan sedikit sisanya untuk jajan. Jangan boros, ya. Ibu harus lembur tiga minggu untuk mendapatkan ini, tapi tidak apa-apa. Kau layak mendapatkan yang terbaik... Ia melipat surat itu dan menyimpannya di saku kemeja. Matanya kini berkaca-kaca, tetapi ia memaksakan diri untuk tersenyum. “Ibu bilang, aku harus makan yang banyak, Nek,” Adhyaksa mencoba bergurau, tapi suaranya terdengar terlalu serak. Nenek Helena mendekat dan memeluknya erat. “Almira... dia adalah wanita paling kuat yang pernah Nenek kenal. Dia melepaskan segalanya demi masa depanmu, Nak.” “Aku tahu, Nek,” bisik Adhyaksa dalam pelukan neneknya. Ia menarik diri, menatap uang yang dipegangnya. “Ini bukan hanya uang. Ini adalah tiga minggu keringat dan waktu Ibu yang hilang. Aku tidak akan pernah membiarkan ini sia-sia.” Kakek Yasser berdehem keras, mencoba mengalihkan fokus dari kesedihan. “Lalu, kau akan gunakan uang ini untuk apa selain membayar kuliah? Jangan coba-coba membelikan Kakek rokok mahal. Kakek sudah bilang, yang penting itu fokus.” “Aku akan menabungnya, Kek. Sisanya,” jawab Adhyaksa cepat. “Aku ingin segera punya modal agar Ibu tidak perlu bekerja lagi. Aku ingin dia pulang saat kontraknya habis, dan setelah itu dia istirahat. Dia tidak perlu tahu soal usaha sampingan, tapi aku harus mulai merencanakan sesuatu.” “Itu rencana yang bagus,” puji Kakek Yasser. “Tapi ingat, Nak. Kita ini orang kecil. Jangan pernah terlibat urusan orang kaya. Jangan dekati mereka. Mereka punya cara sendiri untuk menghancurkan kita tanpa menyentuh. Jauhi masalah, dan jauhi orang-orang yang bisa membawa masalah. Itu prinsip hidup di kota ini.” Adhyaksa mengangguk, memahami betul pesan itu. Almira pernah bercerita sekilas tentang bagaimana ayahnya—seseorang dari kalangan atas—mencampakkan mereka, meninggalkan luka yang sangat dalam. Kakek Yasser selalu takut Adhyaksa akan bernasib sama jika berurusan dengan ‘golongan atas’. “Aku mengerti, Kek. Aku tidak akan mencari masalah,” janji Adhyaksa. “Duniaku hanya kuliah, kalian, dan Ibu.” “Bagus. Sekarang habiskan pisang goreng mu. Nenek akan menyiapkan air hangat untukmu mandi,” kata Nenek Helena, lega melihat cucunya kembali ceria. Setelah Nenek Helena masuk ke dalam, Adhyaksa kembali duduk di teras, menggigit pisang goreng yang hangat. Meskipun ia berjanji pada kakek-neneknya, pikirannya malam itu terasa gelisah. Ia meraih ponselnya, mengecek pesan yang masuk. Ada pesan dari Bima, teman kuliahnya. Bima: “Bro, kau harus lihat. Tania dari Fakultas hukum itu cantik banget. Dia tadi senyum ke arahmu pas di kantin, sumpah! Kau kenapa tidak merespon? Jangan jadi cowok dingin, Bro.” Adhyaksa mendengus pelan. Tania. Gadis itu memang cantik. Parasnya manis, matanya besar dan bersih. Ia adalah juniornya di kampus, mungkin setahun lebih muda. Adhyaksa bisa merasakan perhatian yang ia dapatkan dari banyak siswi, termasuk Tania. Kenapa kau harus muncul sekarang? Batin Adhyaksa, menatap layar ponselnya. Ia tahu, jatuh cinta, atau sekadar berpacaran, adalah kemewahan yang tidak bisa ia beli. Itu akan memakan waktu, energi, dan emosi yang seharusnya ia fokuskan untuk menyelesaikan kuliah dan menjemput ibunya. Ia mengetik balasan singkat untuk Bima: Sibuk. Tugas. Cari yang lain. Namun, saat ia menekan tombol kirim, ia teringat sekilas adegan di kantin: Tania tertawa kecil, rambut hitamnya yang panjang bergerak lembut, dan senyum itu—senyum yang benar-benar memancarkan kepolosan yang kontras dengan kekejaman dunia yang ia rasakan melalui cerita ibunya. Adhyaksa, untuk pertama kalinya sejak Almira pergi, merasa ingin sedikit melunak, sedikit menikmati kehidupan remaja yang seharusnya ia miliki. Ia ingin menjadi seseorang yang penting bagi Tania, seseorang yang melindunginya. Hanya melihatnya dari jauh, tidak apa-apa kan? Pikirnya. Ia menepis jauh-jauh bayangan itu, kembali pada realitas: Surat Ibunya, janji suksesnya, dan pesan Kakek Yaseer. Ia memaksakan diri untuk percaya bahwa Tania hanyalah pengganggu kecil dalam rencana besarnya. Padahal, ia tidak tahu. Tania, si gadis polos yang menarik perhatiannya, akan menjadi jembatan pertama yang menyeretnya masuk ke dunia gelap yang dihindari Kakek Yaseer: dunia masalah besar dan kehancuran yang ditimbulkan oleh ‘orang kaya’. Dan itu semua akan dimulai dengan cinta monyet yang sederhana. Adhyaksa menghela napas panjang, bangkit dan masuk ke dalam rumah. Langkahnya kini penuh tekad. Ia harus fokus. Ia akan jadi orang sukses. Ia akan menjemput ibunya. Tidak ada ruang untuk romansa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD