Lampu gantung temaram di sudut kafe Le Sourd bergoyang pelan, membiaskan cahaya jingga yang hangat ke atas meja kayu mahoni tempat Tania dan Adhyaksa duduk.
Di sudut ruangan, seorang pianis mulai memainkan tuts-tuts piano, mengalunkan melodi melankolis milik Erik Satie yang seolah menyatu dengan aroma kopi dan hujan gerimis yang baru saja reda di luar sana.
Bagi dunia, ini hanyalah sore biasa. Namun bagi Tania, setiap detik yang berdetak di samping Adhyaksa adalah sebuah keabadian yang ingin ia genggam selamanya.
Tania menyesap latte-nya pelan, matanya tidak lepas dari sosok di depannya. Adhyaksa tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, jemarinya sesekali mengetuk pinggiran cangkir porselen.
Ada gurat kelelahan di wajah pemuda itu, namun justru hal itulah yang membuat Tania merasa sangat ingin melindunginya.
"Dhi," panggil Tania lembut, suaranya hampir berbisik di sela denting piano.
Adhyaksa tersentak kecil, lalu menoleh. Matanya yang tajam namun penuh keraguan itu bertemu dengan tatapan teduh Tania. "Ya, Tan? Maaf, aku sedikit melamun."
Tania tersenyum kecil, sebuah senyum yang sanggup meruntuhkan pertahanan pria manapun. Ia menggeser duduknya, merapatkan kursi kayu itu hingga lengan mereka bersentuhan. Kehangatan tubuh Adhyaksa merambat ke kulitnya, memberikan rasa aman yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Entah mengapa, apapun yang kita bahas, apapun yang kita bicarakan—bahkan saat kita hanya diam seperti ini—aku merasa nyaman. Ada kehangatan yang tidak pernah aku temukan di tempat lain, bahkan di rumahku yang besar itu," ucap Tania pelan. Ia memberanikan diri menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Adhyaksa.
Wangi parfum maskulin bercampur aroma maskulin alami Adhyaksa memenuhi indra penciumannya. "Aku cinta kamu, Dhi. Sangat mencintaimu."
Adhyaksa mematung. Jantungnya berdegup kencang, menghantam dadanya seperti genderang perang. Di satu sisi, ia ingin memeluk gadis ini, membisikkan janji-janji manis tentang masa depan. Namun di sisi lain, sebuah kenyataan pahit menghantam logikanya. Ia adalah pemuda dengan mimpi-mimpi besar namun tak punya apa-apa, sementara Tania adalah putri mahkota dari dinasti Wibisana yang terhormat.
Adhyaksa menghela napas panjang, tangannya terangkat untuk mengusap rambut Tania dengan ragu. "Aku juga merasakannya, Tania. Kamu adalah satu-satunya warna dalam hidupku yang abu-abu ini."
Ia terdiam sejenak, menatap keluar jendela di mana lampu jalan mulai menyala satu per satu. "Tapi, kejujuran ini terkadang terasa seperti beban. Aku merasakan ada tembok yang sangat tinggi di depan kita. Halangan itu akan datang, cepat atau lambat. Kita berasal dari dua dunia yang berbeda, Tania. Keluarga Wibisana bukan sekadar nama besar, mereka adalah kekuatan yang tidak bisa aku lawan hanya dengan modal perasaan."
Tania mendongak, matanya berkaca-kaca namun penuh ketegasan. "Kenapa harus memikirkan mereka sekarang? Saat ini hanya ada aku dan kamu, Dhi. Biarkan masa depan menjadi urusan nanti."
"Masa depan adalah hasil dari apa yang kita pilih hari ini, Tan," balas Adhyaksa dengan nada suara yang berat. "Aku sedang berjuang mengejar cita-citaku agar aku layak berdiri di sampingmu. Tapi terkadang aku takut, ambisiku dan cinta ini akan saling menghancurkan."
Tania meraih tangan Adhyaksa, menggenggamnya erat, mencoba menyalurkan kekuatan. Mereka kembali terhanyut dalam obrolan panjang, mulai dari mimpi-mimpi kecil hingga ketakutan-ketakutan yang selama ini mereka sembunyikan.
Senja perlahan menjemput, mengubah langit menjadi gradasi ungu dan emas yang dramatis di balik kaca jendela kafe.
Di Balik Bayang-Bayang
Tanpa mereka sadari, suasana romantis itu hanyalah panggung sandiwara bagi mata-mata yang mengawasi dari kegelapan.
Di sebuah meja di pojok belakang, seorang pria dengan jaket kulit gelap tampak sibuk dengan tabletnya. Namun, lensa mikro yang tersembunyi di kancing jaketnya terus memfokuskan bidikan pada interaksi Adhyaksa dan Tania.
Ia adalah agen dari unit keamanan internal Wibisana. Tugasnya jelas: memantau setiap langkah sang putri dan memastikan tidak ada "hama" yang mengganggu stabilitas reputasi keluarga.
"Subjek 1 menunjukkan kontak fisik yang intim. Tingkat ancaman terhadap protokol keluarga: Kuning," bisiknya pelan ke dalam mikrofon tersembunyi di kerah bajunya.
Namun, agen Wibisana itu tidak menyadari bahwa ia sendiri pun sedang diawasi.
Di seberang jalan, di dalam sebuah mobil SUV hitam dengan kaca film yang sangat gelap, sepasang mata lain sedang mengintai melalui teropong malam. Mereka bukan dari keluarga Wibisana. Gerak-gerik mereka lebih taktis, lebih dingin, dan jauh lebih berbahaya.
"Agen Wibisana sudah bergerak," ucap seorang pria di dalam mobil dengan suara bariton yang datar. "Haruskah kita mengeliminasi gangguan ini sekarang?"
"Jangan," sahut suara wanita dari kursi belakang. "Biarkan pemuda itu menjadi umpan. Dia memiliki sesuatu yang tidak disadari oleh Wibisana. Kita tunggu sampai saat yang tepat."
Perpisahan yang Dingin
Pukul tujuh malam, sebuah sedan mewah berwarna perak berhenti tepat di depan pintu masuk kafe. Sopir pribadi berseragam rapi keluar dan berdiri tegak di samping pintu mobil yang terbuka.
Kehadiran mobil itu seolah menjadi pengingat kasar bagi Adhyaksa tentang jurang pemisah di antara mereka.
Tania menghela napas kecewa. "Supirku sudah menjemput."
Adhyaksa berdiri, membantu Tania merapikan syalnya. "Pulanglah. Hari sudah malam."
"Kamu tidak bisa mengantarku?" tanya Tania dengan nada berharap, meski ia tahu jawabannya.
Adhyaksa tersenyum pahit. "Kamu tahu prosedurnya, Tan. Aku tidak ingin memancing keributan dengan pengawal keluargamu lagi. Aku akan melihatmu dari sini sampai kamu masuk ke mobil."
Tania berjinjit, mengecup pipi Adhyaksa sekilas sebelum melangkah pergi. Adhyaksa berdiri mematung di ambang pintu kafe. Ia menatap punggung Tania yang masuk ke dalam kemewahan mobil itu. Saat pintu mobil tertutup, kaca hitam yang tebal segera menghalangi pandangan mereka.
Mobil itu meluncur membelah jalanan kota, meninggalkan Adhyaksa dalam kesunyian yang mencekam.
Adhyaksa menghela napas, merapatkan jaketnya yang mulai usang. Ia mulai berjalan kaki menuju rumah kakek dan neneknya yang sempit, kontras dengan kemewahan yang baru saja ia saksikan.
Di kepalanya, kata-kata Tania tentang cinta dan keraguannya tentang masa depan bertarung hebat. Ia tahu, malam ini adalah puncak dari romansa mereka, namun ia juga sadar bahwa setelah puncak, jalanan hanya akan menurun dan menjadi lebih terjal.
Di kegelapan gang yang ia lalui, Adhyaksa merasa bulu kuduknya meremang. Ia merasa ada pasang mata yang mengikutinya. Ia mempercepat laju sepeda motornya, dia tidak menyadari bahwa roda-roda takdir yang lebih besar—dan lebih gelap—sedang mulai berputar, siap menggilas apa saja yang menghalangi ambisi kekuatan-kekuatan besar yang mengintai di balik bayang-bayang cintanya pada Tania.
Malam itu, Adhyaksa pulang dengan hati yang penuh cinta, namun jiwa yang dipenuhi kewaspadaan. Perang yang sesungguhnya baru saja dimulai.