Dinginnya aspal dan bau karat darah adalah hal pertama yang Adhi rasakan saat kesadarannya kembali. Ia terbaring miring, setiap inci tubuhnya terasa seperti ditusuk jarum panas. Otaknya berkabut, namun ingatan tentang wajah kejam Winda dan kata-kata penghinaan itu membakar amarah di dasar jiwanya. Ia adalah sampah. Ia adalah anak buangan.
Tiba-tiba, suara deru mesin mobil mewah yang pelan dan halus berhenti tepat di sampingnya. Adhi mencoba mengangkat kepalanya, tetapi nyeri hebat membuat ia kembali terjerembap.
Pintu mobil terbuka. Sepasang sepatu bot kulit mengkilap melangkah mendekat.
Adhi mendongak sedikit, melihat siluet seorang wanita muda. Cahaya bulan hanya cukup menerangi sebagian wajahnya. Dia cantik, usianya mungkin sekitar empat puluh tahun, dengan rambut hitam pekat yang diikat rapi. Namun, sorot matanya yang tajam dan dingin menembus kegelapan.
Wanita itu berjongkok di samping Adhi.
“Kotor sekali,” bisik suara wanita itu, suaranya tenang, elegan, namun tanpa sedikit pun empati.
“Siapa yang membuatmu begini? Kekasihmu marah? Atau kau terlibat dalam urusan yang seharusnya bukan urusanmu, anak muda?”
Adhi menggertakkan giginya. “Bukan urusan Anda. Tinggalkan saya,” desis Adhi, suaranya parau dan lemah.
Wanita itu tertawa kecil, nada tawanya terdengar seperti pecahan kristal. “Oh, aku tidak bisa. Lihatlah dirimu. Luka parah, pendarahan dalam, dan sepertinya ada beberapa tulang rusuk yang patah. Jika aku meninggalkanmu, kau akan mati sebelum matahari terbit. Dan aku tidak suka membiarkan barang bagus menjadi rusak.”
Wanita itu menyentuh luka di sisi perut Adhi dengan ujung jarinya. Adhi menjerit tertahan.
“Siapa kau?” tanya Adhi, berusaha mengumpulkan kekuatan.
“Aku Rebecca,” jawabnya singkat. Ia mengeluarkan ponsel tipis dan berbicara pada seseorang dengan bahasa yang tidak Adhi kenali, terdengar seperti kode militer. “Siapkan ruang medis. Target ditemukan. Kondisi kritis, tapi otaknya masih berfungsi. Bawa dia segera.”
Rebecca menatap Adhi lagi. “Kau beruntung, Adhi. Aku sedang mencari... mainan baru. Kau tampan, dan matamu menyimpan dendam yang menarik. Dendam adalah bahan bakar terbaik.”
“Aku bukan mainan, Nona! Aku tidak butuh belas kasihan!” bentak Adhi, mencoba bergerak.
“Ssssh,” Rebecca meletakkan telunjuknya di bibir Adhi yang berdarah.
“Tentu saja kau butuh. Kau sekarat, Adhi. Dan sekarang, kau adalah milikku. Kau akan tahu apa artinya belas kasihan, dan apa artinya harga yang harus kau bayar untuknya.”
Adhi akhirnya ambruk lagi, dia tak sadarkan diri. Rebecca memerintahkan pengawalnya "angkat dia, bawa ke markas".
---
Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa dua hari Adhyaksa berada di markas Rebecca,
Adhi terbangun. Ia berada di tempat yang asing. Ruangan itu bernuansa putih, steril, dengan peralatan medis canggih di sekelilingnya. Tubuhnya terasa mati rasa, tapi ia bisa merasakan perban tebal melilitnya. Ia masih hidup.
Tidak lama kemudian, Rebecca masuk. Ia sudah berganti pakaian—gaun sutra yang memancarkan kemewahan, dengan kalung berlian kecil di lehernya. Ia membawa nampan berisi bubur dan air.
“Kau tidur selama dua hari. Selamat datang kembali,” kata Rebecca, meletakkan nampan itu di meja.
“Di mana aku? Kenapa kau membawaku ke sini?” tuntut Adhi, suaranya kini lebih jelas.
Rebecca tersenyum lebar, senyum predator. “Di tempat yang aman. Kau diselamatkan oleh keluarga yang bergerak di bidang... resolusi konflik tingkat tinggi.
Kami punya sumber daya untuk menyembuhkan mu tanpa dicatat di rumah sakit mana pun. Sekarang, kau harus makan.”
“Aku tidak akan makan sebelum kau menjelaskan,” kata Adhi, mencoba bangkit. Rasa sakit langsung menyerang.
Rebecca menekan tombol di samping tempat tidur, dan ranjang Adhi bergerak naik secara otomatis.
“Jangan keras kepala. Aku sudah bilang, kau adalah milikku. Ini adalah markas keluargaku. Kau tidak akan keluar dari sini kecuali aku mengizinkannya. Sekarang dengarkan aturan dasar.”
Rebecca duduk di kursi di sebelah ranjang Adhi. Matanya yang dingin menatap lurus ke dalam mata Adhi.
“Aturan nomor satu: Kau adalah pasien di sini, dan kau juga adalah... budak.”
Adhi menatapnya tidak percaya. “b***k? Apa maksudmu?”
“Jangan naif. Kami menyelamatkan hidupmu, menggunakan sumber daya mahal, dan melibatkan risiko besar. Tentu saja itu ada harganya,” jelas Rebecca, nadanya tenang seolah sedang membahas cuaca. “Kau tidak punya uang untuk membayar. Jadi, kau akan membayar dengan tubuhmu, waktumu, dan loyalitasmu.”
“Aku akan bekerja! Aku bisa melakukan apa saja, membersihkan, membantu—“
“Tidak,” potong Rebecca tajam. “Aku tidak butuh pelayan. Aku butuh mainan. Aku butuh seseorang yang bisa kumiliki seutuhnya, yang bisa memuaskan kebutuhanku, tanpa pertanyaan.
Kau akan menjadi b***k seks pribadiku. Kau akan melayaniku saat aku menginginkannya.”
Wajah Adhi memucat, terkejut dan jijik. “Aku tidak akan—“
“Kau tidak punya pilihan, Adhi,” Rebecca mendekatkan wajahnya, matanya memancarkan otoritas penuh. “Lihatlah sekelilingmu. Kau dikelilingi oleh keluarga pembunuh bayaran yang sangat kaya, dengan rahasia yang jauh lebih gelap daripada si ibu kaya yang menyiksamu itu.
Kau ingin kembali ke jalanan dan mati? Atau kau ingin hidup di sini, mendapatkan makanan, perlindungan, dan kesempatan untuk melihat dunia dengan mata yang berbeda?”
Adhi terdiam. Wajah Winda terlintas lagi. Dendam. Ia butuh hidup. Ia butuh kekuatan.
“Kenapa harus aku? Kenapa kau melakukan ini?” tanya Adhi, suaranya nyaris seperti gumaman.
“Karena aku tertarik padamu. Kau menyimpan api dendam. Itu langka,” kata Rebecca. “Aku lelah dengan pria-pria lemah yang hanya mengejar uang keluargaku. Kau datang dengan kepolosan yang hancur, dan rasa sakit yang murni. Kau adalah proyek sempurna bagiku.”
Adhi menatap bubur itu, lalu menatap Rebecca. Ia benci wanita itu. Ia benci situasi ini. Tetapi ia tahu Rebecca benar: ia harus hidup.
Ia harus mendapatkan kekuatannya kembali, dan dendamnya kepada Winda dan Jonathan jauh lebih penting daripada harga dirinya yang sudah hancur.
“Baiklah,” kata Adhi, suaranya dingin dan penuh kebencian yang tersembunyi. “Aku setuju. Tapi aku punya satu permintaan.”
“Apa itu?” tantang Rebecca, menyeringai.
"...Aku ingin tahu bagaimana kalian membunuh. Aku ingin mempelajari setiap teknik rahasia kalian. Aku butuh kekuatan itu," kata Adhi, menatap balik Rebecca dengan api dendam di matanya.
Rebecca tersenyum lebar, tawa yang kali ini terdengar penuh kegembiraan. Ia mengulurkan tangan dan mengusap pipi Adhi.
"Menarik, sangat menarik, Adhi," kata Rebecca, puas. "Kau tidak perlu bertanya bagaimana aku tahu, atau mengapa aku memilihmu. Cukup ketahui, aku tahu lebih banyak tentang rasa sakit yang kau rasakan daripada yang kau pikirkan. Aku tahu api dendam di matamu itu tulus, dan aku menghargainya."
Rebecca menggeser nampan bubur itu sedikit lebih dekat. "Aku lelah dengan pria-pria lemah. Kau, kau datang dengan kepolosan yang hancur, dan rasa sakit yang murni. Kau adalah proyek sempurna bagiku."
"Kenapa kau menyebutku proyek?" tanya Adhi, curiga.
"Karena aku melihat potensi. Aku melihat seorang calon predator yang dibentuk oleh kekejaman si ibu kaya itu," jawab Rebecca, suaranya tenang. Ia memiringkan kepalanya. "Aku tidak hanya menyelamatkan tubuhmu, Adhi. Aku menyelamatkan ambisimu. Dan aku akan memolesnya."
Rebecca mengambil mangkuk bubur itu. "Ini adalah kesepakatan iblis, Adhi. Ambil bubur ini, dan kau memilih hidup. Kau memilih menjadi bagian dari duniaku. Kau akan mendapatkan kekuatan yang kau butuhkan untuk membalas dendam."
Adhi menatap bubur itu. Ia menatap Rebecca. Ia tidak mengerti wanita ini, dan rasa penasaran bercampur ketakutan tentang bagaimana ia mengetahui penyiksaan Winda membuatnya semakin berhati-hati.
"Aku akan setuju," kata Adhi, suaranya dingin dan penuh kebencian yang tersembunyi. "Berikan aku kekuatan itu."
"Tentu saja. Malam akan menjadi milikku, dan saat aku tidur, rahasia keluarga akan menjadi milikmu," janji Rebecca. "Kau akan mendapatkan kekuatan untuk menghancurkan mereka yang menyakitimu. Selamat datang di neraka pribadiku, Anak Buangan."
Adhi mengambil mangkuk bubur itu. Ia menelannya, menelan bukan hanya bubur, tetapi juga harga diri, kebencian, dan janji gelap untuk membalas dendam. Misteri tentang Rebecca akan menjadi teka-teki yang akan ia pecahkan sambil menjalani transformasinya.