“Aku rasa kita tidak mungkin pulang sampai seluruhnya selesai. Terlalu berisiko untuk pulang dan pergi sembarangan.” Gumam Nicolin pelan. Keduanya menunduk, bersembunyi di balik dinding gang gelap nan sepi. Gilbert bergidik ketika merasakan sengatan rasa dingin. Pakaian yang dibawa Nicolin untuk penyamarannya benar-benar berbeda dengan yang selalu ia kenakan. Tipis dan pendek. Gilbert Grey tak nampak sebagaimana bangsawan kelas atas dengan atribut ini melainkan seorang remaja biasa yang tak punya kuasa.
“Kau yakin?”
“Seperti yang Tuan Muda katakan, kita tidak mampu untuk bergerak bebas karena kondisi distrik ini benar-benar jauh dari kata ramai. Kita harus benar-benar menyembunyikan diri agar tidak berpapasan dengan tim penyelidik Kerajaan. Posisimu bisa terancam jika sampai kita ketahuan.”
“Tch.”
“Kita bisa berpura-pura sebagai bangsawan biasa dan mengunjungi salah satu tempat hiburan untuk mengorek informasi.”
Gilbert memutar bola matanya. Mendapatkan informasi sangatlah mudah jika ia menggunakan nama Grey dan status kebangsawanannya. Tapi dengan menyamar menjadi orang biasa tak membuatnya bisa semudah itu. Setiap orang di distrik ini cukup berhati-hati dengan lidah mereka. Hukuman bagi pendusta tidaklah main-main. Kebanyakan lebih memilih diam daripada menanggung risiko kesalahan informasi. Ironi, memang. Kebenaran disembunyikan demi keselamatan. Dunia memang selalu kejam, dan manusia harus mampu terbiasa.
“Nicolin, aku tahu kau sudah ada jauh lebih lama dariku. Tapi harusnya kau juga tahu bahwa membuat seseorang bicara sesuai keinginan kita tanpa siksaan adalah mustahil.”
Nicolin tersenyum, ia mengerti. Tidak ada manusia yang saling mempercayai, bahkan di antara keluarga sekali pun. Tapi bukan berarti tidak ada cara untuk membuat seseorang membuka mulutnya. Apalagi untuk orang-orang di lingkungan seperti ini.
“Ada caranya, Tuan Muda. Aku pastikan kau mendapatkan apa yang kau inginkan. Aku bertanggungjawab untuk memenuhi semua perintahmu, apapun itu.”
Gilbert tidak lupa bahwa yang tengah berdiri dan tersenyum sembari membungkuk hormat padanya bukanlah manusia. Dengan perwujudan manusia yang indah, yang menipu mata siapa saja. Nicolin bahkan bisa berpura-pura seolah ia Pangeran andai Yang Mulia tiba-tiba mengumunkan bahwa ia adalah Putranya. Tidak akan ada yang meragukan aura sekuat itu. Gilbert tidaklah bodoh untuk mengerti apa yang akan dilakukan pelayan iblis miliknya. Enam belas tahun sudah cukup untuknya menjadi bangsawan yang mengerti segala hal, pandai membaca situasi, dan berpikiran tajam. Semua itu adalah keharusan. Demi nama Grey, juga demi dirinya sendiri.
“Aku mengerti. Kau licik seperti yang ku harapkan.” Kemudian ia menyeringai sadis.
---
Nicolin membawa mereka ke salah satu tempat hiburan yang cukup ramai—setidaknya terdapat beberapa pengunjung hingga mereka tak terlalu diperhatikan. Tidak tampak banyak bangsawan sebagaimana biasanya, malah kebanyakan hanya pengunjung biasa. Nicolin bahkan bisa melihat orang-orang yang berpakaian rapi dapat dihitung jari. Bahkan kamar penginapan yang selalu penuh hanya terisi sebagian.
Seorang wanita cantik dengan gaun potongan rendah tersenyum kepada mereka—atau kepada Nicolin? Gilbert menunduk, setiap kali ada seseorang yang tak sengaja melirik ke meja mereka. Topi yang dikenakannya cukup membantu, membuat wajahnya tak begitu ketara ketika ia menundukkan kepala.
Wanita itu tersenyum menggoda, sengaja merendahkan tubuhnya hingga potongan pakaian di dadanya semakin turun, ia bahkan menarik kedua sisi-sisi roknya hingga menampilkan paha. Gilbert mengepalkan tangan kanannya di bawah meja. Ia menyukai hal-hal yang indah dan teratur. Melihat seorang wanita membungkuk hormat dengan cara yang salah bahkan terkesan merendahkan dirinya sendiri membuatnya benar-benar terganggu. Gilbert selama hidupnya tidak pernah berkunjung ke distrik p*******n apapun. Bahkan ketika dirinya sudah dinyatakan sebagai seorang bangsawan dewasa.
Nicolin melirik sang Tuan Muda dan tersenyum kecil. Ia mengalihkan pandangannya, menarik telapak tangan kanan sang wanita dan menciumnya dengan elegan. Wanita itu terkejut dengan wajah tersipu.
“Kami baru pertama kali kemari, Nona. Bisakah kau menunjukkan hal-hal yang menarik pada kami?”
Sang wanita mengangguk antusias. “Dengan senang hati, Tuan.”
Seringai tercipta, sorot mata berkilat tajam. Ketika wanita itu menunduk hanya untuk menahan diri agar tidak berteriak dengan perlakuan manis Nicolin, Gilbert tersenyum puas atas kepandaian pelayannya menggoda manusia. Benar, tidak sulit baginya untuk menggoda manusia. Bahkan manusia berderajat tinggi seperti dirinya jatuh pada godaannya. Tapi jelas, dirinya dan wanita itu berbeda.
“Saya akan menyediakan kamar untuk anda berdua, silahkan ikuti saya.” Wanita itu tersenyum malu-malu, kedua telapak tangan ditangkupkan, dan kilat menggoda di matanya tak luput dari pengamatan Gilbert. Sungguh, ini pertama kalinya ia berinteraksi secara langsung dengan wanita penghibur.
Nicolin membiarkan Gilbert berjalan di depannya, yang itu juga tak luput dari pandangan wanita penghibur itu. Dia tampak mengerutkan kening, seolah bingung dengan gestur yang keduanya lakukan. Siapa pun tidak akan tahu bahwa yang tengah berjalan di sana adalah seorang Marquess kepercayaan Raja dan pelayannya. Agaknya penyamaran yang telah disiapkan oleh Nicolin cukup efektif untuk menyembunyikan identitas mereka.
“Silahkan.” Wanita itu membuka salah satu ruangan, dan Gilbert masuk terlebih dahulu. Ia tidak mau tahu apa yang akan dilakukan Nicolin.
“Ingin aku menemanimu, Tuan?”
Nicolin memamerkan senyumnya. Ia menarik telapak tangan kanan wanita itu dan memberikannya kecupan ringan, sama seperti yang ia lakukan saat mereka pertama kali bertemu.
“Mari keluar, Nona.”
Kedua bola mata wanita itu berbinar senang. Ia menerima uluran tangan Nicolin dan menggandengnya seolah ia seorang Lady berpangkat tinggi. Beberapa rekannya menatap iri ketika keduanya melewati meja-meja yang sebagian besar hanya diisi oleh orang-orang biasa dan bangsawan kelas bawah bertubuh gemuk. Distrik hiburan jarang memiliki pengunjung seorang bangsawan tampan dan mempesona. Kebanyakan hanya orang-orang tua yang bosan dan terbiasa membuang-buang uang. Jelas, kedatangan Nicolin seolah memberikan hawa baru di tempat mereka.
“Tuan, sepertinya dirimu benar-benar tidak mengenal area ini?”
Nicolin tertawa pelan. “Benar. Aku terlalu sibuk mengurusi banyak pekerjaan. Salah seorang rekanku memberitahu tentang tempat di area ini dan menyuruhku beristirahat.”
“Kau yakin dirimu hanyalah seorang bangsawan?”
“Hm?”
“Kau tampak seperti seorang Pangeran.” Ujarnya malu-malu.
Nicolin menyeringai sebentar. Ketika wanita itu kembali menatapnya dengan pandangan memuja, yang kembali ia tampilkan hanyalah senyum elegan khasnya.
“Kau pandai memuji, Nona.”
Wanita itu menggeleng. “Tidak, kau memang tampak seperti seorang Pangeran.”
“Dan apa kau tahu bahwa Yang Mulia Raja tidak memiliki seorang Putera yang bisa dianggap sebagai Pangeran?”
“Tentu. Tempat hiburan selalu ramai dengan gossip apapun. Informasi apapun bisa didapatkan hanya dengan duduk diam sembari memasang telinga.”
Nicolin memasang wajah seolah ia terkejut. “Benarkah seperti itu?”
“Ya. Orang-orang kemari untuk melepaskan tekanan, Tuan. Bangsawan-bangsawan yang kemari hanya tampak indah dari pakaian mereka, tapi kelakuan mereka tak mencerminkan seperti itu. Distrik ini adalah tempat di mana manusia menunjukkan sisi asli dirinya. Semacam itulah.”
“Heh, menarik.”
“Sepertinya kau memang benar-benar tidak pernah kemari, Tuan.”
Nicolin mengangguk. “Seperti yang ku katakan sebelumnya, pekerjaanku benar-benar banyak hingga aku tidak memiliki waktu untuk sekadar melepas tekanan seperti katamu.”
“Malam ini kau bisa melakukannya, Tuan. Aku akan menemanimu.” Wanita ia tersenyum menggoda sembari mengusap lengan Nicolin.
Nicolin menyeringai ketika gadis itu memejamkan mata, larut akan fantasinya sendiri. Ia menarik tangan kanannya dan mengusap surai pirang wanita itu. Afeksi yang secara cuma-cuma ia berikan untuk ditukar dengan informasi yang dibutuhkan Tuan Mudanya.
“Benar juga, aku penasaran sejak menginjakkan kaki kemari. Mengapa distrik ini terkesan sepi? Aku memang belum pernah kemari sebelumnya, tapi teman-temanku selalu mengatakan bahwa area ini selalu ramai dan penuh pengunjung.”
Wanita itu menegang. Nicolin mampu merasakannya dari kedua lengan wanita itu yang melingkar di lengannya sendiri. Ia terdiam cukup lama, dengan kedua bola mata bergerak-gerak gelisah.
“Ada apa, Nona? Apakah pertanyaanku menyinggungmu?”
Ia menggeleng, kembali memasang senyum cerah. “Tidak, tentu tidak, Tuan.” Gestur waspada yang amat tampak, panik yang berusaha disembunyikan, dan kedua bola mata yang terus melirik kesana-kemari.
“Apakah ada yang sedang mengawasimu, Nona?”
Ia kembali menggeleng. “Um… bisakah kita bicara di tempat lain, Tuan?”
“Tentu. Apapun keinginanmu, Nona.”
Wanita itu membawa Nicolin pada sebuah kursi kayu di belakang bangunan besar tempatnya bekerja. Area belakang sangat sepi mengingat malam semakin larut. Angin dingin menerpa kulit, menyalurkan gelenyar tidak nyaman pada kulit pucat si wanita.
“Kau yakin tidak apa-apa di luar? Angin malam pasti terasa dingin untukmu.”
“Ah, aku penasaran, Tuan. Siapa anak yang bersamamu tadi?”
Anak?
Nicolin melebarkan kedua matanya, membayangkan bagaimana reaksi sang Tuan Muda jika saja ia mendengar apa yang dikatakan wanita penghibur di hadapannya.
“Ah, sepupuku yang datang dari negeri seberang. Orangtuanya menitipkannya padaku sementara waktu.”
“Heee… aku tidak mengira ada seseorang yang mengajak anak kecil di tempat seperti ini.”
Sudut bibir Nicolin berkedut. Gilbert Grey memang tidak tampak dewasa dengan tubuhnya, tapi Nicolin tak pernah melihatnya sebagai seorang anak kecil. Usianya sudah memasuki kategori dewasa pada standar Kerajaan, pemikiran dan ketajamannya lebih menunjukkan bahwa dirinya bukanlah anak kecil. Bahkan ketika Nicolin pertama kali melihat dirinya terikat kerangkeng berkarat hari itu, sedikit pun tak ada anggapan bahwa yang berada di hadapannya adalah seorang anak kecil.
Seandainya wanita ini mengerti apa yang baru saja diucapkannya sama berbahayanya dengan menyebarkan informasi yang salah. Nicolin menarik seringai tipis. Orang-orang seperti ini memang tidak mudah menjaga lidah.
“Tidak perlu memikirkannya, aku hanya perlu menjaganya saja. Lagipula sekarang dia pasti sudah terlelap.”
Wanita itu mengangguk.
Nicolin bergeser ke belakang wanita itu, menarik mantelnya dan memakaikannya kepada wanita itu. Lagi-lagi, ia tersipu malu.
“Tuan?”
“Kau akan kedinginan dengan pakaian seperti itu. Pakai saja.” Nicolin berlanjut dengan menyentuh helaian rambut pirang wanita itu, memelintirnya perlahan dengan sengaja sesekali menyentuh wajahnya.
“Aku rasa aku tidak keberatan untuk bersenang-senang malam ini.” Bisik Nicolin terlampau pelan. Ia mendekatkan wajahnya pada perpotongan leher wanita itu, mengembuskan napas panas yang membuatnya menggeliat dalam dekap lengan Nicolin.
“Tu-Tuan….”
Nicolin mengusap perlahan pinggang wanita itu, mengirimkan gelenyar aneh yang tak mampu ia tolak. Menjadi wanita penghibur tidak selalu menyenangkan—malah terlampau banyak menyakitkan karena perlakuan kasar. Nicolin memperlakukannya sebaliknya, sentuhannya amat lembut bak menyentuh porselen rapuh.
Napas wanita itu mulai memburu. Nicolin menyeringai di balik tubuh wanita itu. Jika tidak bisa mendapatkan informasi tanpa memaksa dengan kekerasan, maka menggodanya dengan kenikmatan adalah cara lainnya.
-----