Chapter Sembilan : Keluarga Yang Harmonis

1006 Words
Mempunyai sebuah keluarga yang bahagia dengan anggota lengkap, ada ibu, ayah, kakak dan adik. Adalah dambaan bagi semua orang, meskipun di luaran sana banyak yang tidak beruntung, tapi Tuhan memberi keberuntungan itu pada keluarga Irene. Ada ayah, ibu, kakak yang setiap harinya selalu menyayangi dan mencintainya dengan tulus. Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara, kakaku Sai namanya. Pria baik hatinya, yang sangat menyayangi dan melindungi aku ketika ada anak-anak nakal menganggu. Menjadi anak bungsu adalah keberuntungan terbesar bagiku, ibu dan ayah juga bahagia memiliki sepasang anak pria dan wanita, lengkap kata mereka. "Huhuhu...mereka nakal. Sakit," Aku menangis pulang ke rumah setelah bermain dengan teman di taman yang tidak jauh dari rumah. "Kamu kenapa Dik? Pulang main kok nangis?" Kak Sai menghampiri aku karena melihat adik kesayangannya menangis. "Hikal, dia memukulku. Tidak boleh main lagi ke taman, huhuhu..." Tangisanku semakin kencang, karena menahan perih di tangan bekas pukulan Haikal yang memakai penggaris masih membekas. Kak Sai tidak bicara lagi, yang aku lihat dia langsung berjalan ke luar rumah menuju taman. Tempat tadi aku bermain lalu di pukul oleh Haikal menggunakan penggaris miliknya. Sesampainya di taman, kak Sai mendorong tubuh gempal Haikal lalu kak Sai berkacang pinggang memarahi anak itu. "Jangan pernah sekalipun membuat adikku menangis, kalau sampai Irene menangis lagi. Kalian semua akan aku patahkan tulang-tualangnya sampai remuk. Awas kalian," Setelah itu kak Sai menarik tanganku untuk kembali pulang ke rumah, sementara Hailai terlihat ketakutan atas ancaman kak Sai. Dalam hati aku merasa senang, mempunyai pelindung lebih tepatnya bodyguard. Yang akan menjagaku sampai kapanpun. "Terima kasih banyak, kakak. Sudah membela aku, Irene sayang sekali sama kak Sai." Aku memeluk lengan kak Sai saat dia telah selesai mengobati luka di tanganku yang memerah bekas di pukul penggaris oleh Haikal. "Kamu tidak perlu berterika kasih, itu sudah menjadi tugasku sebagaimana seorang kakak melindungi adiknya. Sekarang istirahatlah, aku mau kembali belajar." Kak Sai mengantar aku ke kamar dan aku menuruti perintahnya untuk istirahat. Masa-masa kecil yang sangat berbahagia, kami sekeluarga sering pergi liburan setiap weekend. Ibu akan sibuk di dapur menyiapkan beberapa makanan juga camilan yang akan di bawa saat liburan, tidak perlu jauh. Cukup membuat tenda di halaman samping rumah, lalu semalaman kami saling bercerita kegiatan selama satu pekan terakhir, lalu tidur di dalam tenda sampai ke esokan harinya. "Ibu, apakah kita akan membuat jagung bakar? Sepertinya enak sekali jika menikmati camilan yang satu ini." Aku menunjuk beberapa jagung yang sudah ibu beli di supermarket dekat rumah, malam ini kami akan kembali berkemah di halaman samping rumah. Ibu sudah memasak banyak makanan, dari yang ringan sampai makanan berat. "Boleh jika kamu menginginkan jagung bakar, minta tolong sana sama kak Sai untuk menyiapkan alat pembakarannya." Ujar ibu kepadaku, aku bersorak senang lalu berlari mencari kak Sai. Dua pria beda usia tengah fokus menonton pertandingan sepak bola, aku berjalan mengendap-endap untuk mengagetkan kak Sai. Tapi belum juga sampai tiba-tiba aku yang justru di kagetkan dengan suaranya. "Aku sudah tahu, kamu tidak perlu mengagetkanku." Seru kak Sai melirik ke belakang, dan aku tertawa. Sementara ayah hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingkah kedua anaknya. "Kenapa Kakak bisa tahu kalau aku mau mengagetkanku?" Aku duduk di samping kak Sai, ikut menikmati tontonan para pria di rumah ini sambil makan kacang goreng. "Tuh," Kak Sai menunjuk ke arah cermin yang ada di bufet samping lemari TV, aku bengong. Pantas saja dia tahu kalau aku mau mengagetkannya, ternyata sudah kelihatan dari cermin itu. "Kakak, aku mau minta tolong. Boleh,?" "Minta tolong apa? Tentu saja boleh dong, apa sih yang tidak untuk adikku yang cantik ini." Kak Sai menjawil pipiku dengan gemas. "Tolong siapkan alat pembakaran untuk nanti malam, aku ingin makan jagung bakar. Dan kata ibu minta tolong sama kakak untuk menyiapkannya." Aku kembali mengambil kacang goreng dari toples yang di ada di pangkuan kak Sai, lalu memasukannya ke dalam mulut. Rasnaya gurih dan asinnya pas. Camilan satu ini adalah favorit keluarga kami, ibu yang membuatnya. Di tambah dengan bumbu cinta juga kasih sayang, sehingga rasanya jadi lebih nikmat. "Baiklah, tuan putri. Ada lagi yang bisa aku bantu?" Kak Sai berdiri dan membungkukan tubuhnya ke arahku, sontak saja aku tertawa dengan tingkah lakunya barusan. Di perlakukan layaknya princess oleh kakak lelaki adalah satu kebahagiaan yang tiada terkira buatku, dia selalu berusaha memberikan perhatian juga menjagaku setiap saat. Memastikan apakah aku aman atau tidak, apakah aku baik-baik saja hingga aku tidak lagi merasa takut. Malamnya kami berkemah di tenda yang sudah di siapkan oleh ayah dan juga kak Sai, banyak cerita yang kami semua saling berbagi. Keluarga yang harmonis, rukun dan juga damai membuatku merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. "Beberapa waktu lalu, kak Sai bertindak hebat. Dia mendorong tubuh gempal Haikal karena sudah membuat aku menangis, kak Sai benar-benar luar biasa. Pahlawan juga pelindung aku." Aku yang pertama kali memulai cerita, dan mendapatkan tepuk tangan dari ayah juga Ibu. "Wah, benarkah? Anak yang hebat, memang sudah seharusnya kamu melakukan perlindungan untuk Irene. Juga bisa menjadi tumpuan ibumu, sebagaiman seharunya anak lelaki lakukan bertanggung jawab menjaga dan melindungi adik perempuan serta ibunya, ayah bangga sama kamu, Nak. Pertahankan terus, jaga dan lindungilah dua perempuan di rumah ini." Ayah menepuk pundak kak Sai tanda jika dia merasa begitu bangga terhadap sikap anak lelakinya, yang sudah begitu jantan melindungi adik satu-satunya ini. "Ibu juga bangga sama Sai, tetap bersikap baik seperti ini. Bisa menjadi pelindung dan tempat yang aman untuk Irene setiap saat, sekarang giliran siapa yang mau bercerita?" Ibu mengambilkan jagung yang sudah matang, menaruhnya di atas nampan lalu menyuguhkannya pada kami semua. "Aku tadi di sekolah di panggil sama guru, sekiranya ada apa. Sebab aku merasa tidak melakukan kesalahan, kata guru bahasa aku mendapatkan piagam penghargaan karena sudah berhasil menggarumkan nama sekolah. Ini piagamnya." Sai memberikan selembar kertas, di sana tertulis namanya sebagai siswa terfavorit karena sudah menjadi juara dalam perlombaan bahasa di sekolah internasional yang di selenggarakan beberapa waktu lalu oleh sekolahnya. "Anak ayah memang hebat dan luar biasa, kalian adalah kebanggan kami sekaligus harta yang tidak pernah ternilai harganya." Ayah memeluk kak Sai kemudian kami berempat sama-sama saling berpelukan dalam hangatnya sebuah keluarga yang harmonis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD