Chapter 2

1223 Words
Waktu demi waktu berlalu, sudah delapan bulan lamanya tubuh Lova tetap terbaring diatas tempat tidur rumah sakit dengan berbagai macam alat medis yang menyertainya. Dewanti merawat Lova penuh cinta, berharap anak semata wayangnya segera membuka mata. Doa tak henti-hentinya dia panjatkan untuk kesembuhan Lova. Anak adalah nyawa kedua bagi seorang ibu. Begitulah Dewanti mendefinisikannya. Dewanti tetap setia menunggui Lova sepanjang waktu. Hingga kabar kematian sahabat Lova, Gisela masuk ke telinga Dewanti. Rasa takut semakin menyeruak memenuhi relung hati ibu satu anak itu. Dewanti dan Arion datang ke prosesi pemakaman Gisela. Kedatangannya membuat orang tua Gisela marah. "Anak Jeng sudah membunuh anak saya!" teriak Fransiska, ibu Gisela. Dengan amarah berapi-api, Fransiska terus menyerang Dewanti. "Sudah, Ma. Sudah! Ini bukan salahnya Lova. Ini kecelakaan. Polisi juga mendapati kalau yang menyetir saat itu adalah Gisela." lerai suami Fransiska. Dia merasa hancur juga. Tapi hal seperti ini tidak seharusnya terjadi. "Maafkan anak saya, Alan," lirih Arion. Dia memupus air mata yang keluar dari sudut matanya. "Tidak, Arion. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini takdir. Biarkan Gisela tenang di alam sana." "Tidaaak!! Jelas aku tidak bisa ikhlas menerima semua ini. Anakmu juga harus matiii!!” teriak Fransiska lagi. Dia masih meronta agar lepas dari suaminya dan ingin menyerang Dewanti lagi. Namun, Alan segera menyuruh Arion untuk pergi saja. Tanpa memikirkannya dua kali, Arion membawa Dewanti pergi. Kembali ke rumah sakit untuk menunggui Lova. Ibu paruh baya itu menangis di sepanjang perjalanan. Dia perih membayangkan jika yang meninggal adalah Lova. "Sudah, Ma. Sudah. Jangan menangis terus." "Mama tidak bisa membayangkan jika itu adalah Lova, Pa. Bagaimana jika Lova juga...." Dewanti tak bisa meneruskan kata-katanya. Suaranya terasa tercekat di tenggorokan. Arion memeluk istrinya. "Pak Darul, lebih cepat lagi. Lova menunggu kita. Dia sendirian di rumah sakit." katanya memerintah sang supir. "Lova akan baik-baik saja, Ma. Percaya sama papa." Arion terus menenangkan istrinya. Hatinya sendiri juga terasa was-was. Kecelakaan yang menimpa anaknya sangatlah parah. Mobilnya ringsek bahkan gapura yang menjadi sasaran sampai runtuh. Sesampainya di rumah sakit, Lova tidak ada di ruang rawat inapnya. Dewanti berteriak histeris. Arion juga sama terkejutnya. Belum selesai rasa terkejut keduanya, seorang suster dengan tergesa-gesa menghampiri pasangan suami istri yang tak lagi muda itu. "Pasien sudah di pindahkan ke ruang rawat inap, Pak Arion." "Apa yang terjadi?" "Nona Lova sudah sadar." Bagai mendapatkan sinar matahari ditengah badai. Hati keduanya terasa lega bukan main. Tapi, belum sampai di ruang rawat Lova, Arion dan Dewanti dibuat bingung dengan ucapan dokter yang menanganinya. Mereka di giring ke ruang Dokter Daniel lebih dulu. Percakapan mereka bertiga seakan terdengar klise. "Apa maksud anda, Dok?" "Pasien memanggil nama Gaara sejak sadar tadi. Alangkah baiknya jika orang tersebut dibawa kemari," saran dokter muda bernama Daniel itu. "Tapi saya dan istri saya tidak mengenal Gaara?! Apa yang harus saya lakukan?" Dokter Daniel juga nampak berfikir. "Baiklah," ucap Dokter Daniel sesaat kemudian. "Kita buat semacam perjanjian saja dengan pasien. Janjikan padanya pertemuan dengan seseorang bernama Gaara itu, asal pasien bisa segera pulih. Hal seperti ini biasanya sangat manjur. Walaupun sebagian lagi gagal." "Tidaak! aku akan berusaha mencari Gaara." sela Dewanti. Ibu itu sungguh ketakutan luar biasa mendengar kata gagal. Apalagi Dewanti baru saja melihat pemakaman Gisela, tadi. Arion dan Dokter Daniel saling pandang. Dokter itu kemudian mengangguk. "Semoga berhasil Pak, saya berdoa, semoga seseorang bernama Gaara itu cepat dipertemukan dengan pasien." "Kalau begitu kami permisi, Dok." pamit Arion. Mereka akan segera menghampiri Lova, anak gadis semata wayangnya. *** Suara ketukan bolpoin terdengar jelas di ruangan sunyi itu. Langit mendung terlihat menggantung dari tempat Gaara duduk. Pria itu melamun melihat keluar jendela. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Paradise Life dan Paradise Night, benar-benar akan pindah kepemilikan karena pinjamannya yang terlalu besar. Hanya menunggu waktu dan semuanya selesai. Benar-benar selesai. Bisnis yang dia mulai dari nol, berkembang pesat dalam sesaat dan kini akan berakhir dalam waktu singkat pula. Delapan bulan lalu, Gaara mengambil keputusan untuk melakukan pinjaman dengan jaminan resto dan club miliknya. Gaara terus saja mengetuk-ngetukkan ujung bolpoinnya, sampai suara ketukan pintupun tak dapat menembus lamunannya. Hingga kenop pintu terbuka, barulah Gaara tersadar dan menoleh pada pintu yang terbuka dari luar. "Pak Gaara, ada yang mencari anda." suara seorang pelayan membuat keningnya mengeryit. Dia tak merasa ada janji dengan siapapun. Maka dari itu dia melamun sejak tadi. Apa itu pihak kedua yang akan menyita caffenya? Tapi ini belum saatnya. "Siapa?" tanya Gaara akhirnya. "Dari tampilannya, dia seperti seorang pengacara." "Pengacara? Aku sedang tidak menyewa pengacara, Rose." "Bukankah lebih baik Pak Gaara menemuinya? Dia menunggu di bawah." Gaara mengangguk. Pelayan bernama Rose itupun pamit dan menutup pintu dari luar. Gaara mengikat sedikit rambut gondrongnya. Dia bahkan tak sempat untuk memangkas rambutnya. Dia kemudian membenahi sedikit penampilannya dan berjalan menuruni tangga menuju seseorang itu. "Pak Gaara Kusuma?" tanya seseorang itu yang langsung berdiri dan mengulurkan tangan. Gaara menyambut uluran tangan itu. "Iya, bapak siapa?" jawabnya seraya memberi kode mempersilahkan duduk. "Saya Affandi, saya ada sedikit kepentingan dengan Pak Gaara, bisakah saya meminta waktunya sebentar?" ucapnya dengan sopan. "Iya, saya sedang tidak sibuk." Gaara duduk di seberang Affandi. Gaara mendengarkan Affandi mulai dari awal hingga akhir. Dia adalah tipe orang yang lebih suka mendengar daripada berbicara, hingga tak menyela sama sekali. Affandi bahkan menyodorkan kertas bertuliskan ruang rawat inap Lova. "Jadi, bagaimana, Pak?" tanyanya kemudian. Gaara mengalihkan pandangannya dari Affandi menuju ke secarik kertas diatas meja, "Saya tidak mengenal Lova, bagaimana mungkin saya harus menemuinya di rumah sakit? Lagipula, apa yang harus saya lakukan jika sudah bertemu dengan Lova-Lova itu. Apa saya harus menikahinya?" "Ah, tidak begitu Pak Gaara." ucap Affandi terkekeh. "Nona Lova terus meronta untuk bertemu dengan anda." "Mungkin bukan Gaara saya Pak yang dia maksud. Ada banyak Gaara Kusuma di Surabaya ini. Apa anda sudah mendatangi semua Gaara, dan aku ini kandidat terakhir yang bernama Gaara?" Affandi dibuat bingung dengan pertanyaan Gaara. Dia diam seribu bahasa. Sebenarnya, orang kepercayaan Arion itu juga bingung bagaimana cara menyampaikan hal yang menimpa nona muda bosnya itu. Karena semua terasa begitu konyol dan klise. Jangankan Gaara, dia sendiri juga tak ingin mempercayai kenyataan yang menimpa bos besarnya itu. "Saya rasa sudah tak ada lagi yang perlu kita bahas." katanya. "Dan semoga seseorang yang bernama Lova itu segera sembuh. Saya permisi dulu." Gaara meninggalkan Affandi yang masih bergeming di tempatnya. Gaara tak habis pikir, ada saja masalah yang menerpanya akhir-akhir ini. Memikirkan nasib ketiga Paradisenya saja sudah membuatnya pening. Apalagi sekarang hal konyol akan menambahi pusing di kepalanya? # "Tidak, Ma. Lova tidak mau makan. Lova mau bertemu Gaara." rengek Lova. "Iya, Nak. Gaara akan segera kemari. Pak Affandi akan membawanya kesini, mungkin mereka masih di jalan." rayu Dewanti. "Benarkah?" Dewanti mengangguk mantap. "Sekarang, makan dulu buburnya." "Aku akan menunggu Gaara untuk menyuapiku, Ma." "Sedikit saja dulu, Nak." "Tidaak!" Lova terus saja menolak. Dewanti yang frustasi meletakkan buburnya di nakas. Berjalan keluar ruang inap Lova dan menghubungi seseorang. "Bagaimana, Pak Fan?" "Dia menolak untuk datang, Nyonya." "Apa?! Dia menolak?! Kenapa?!" "Dia bilang ini hal konyol, Nyonya. Terdengar klise dan tidak masuk akal. Dia menyuruh saya mencari Gaara yang lain." "Baiklah. Sampaikan hal ini pada suamiku." "Baik, Nyonya." Sambungan terputus, Dewanti kembali masuk ke ruang rawat Lova dan mendapati anak gadisnya itu tertidur lelap. Diliriknya bubur di atas nakas yang masih utuh. "Lova, apa kamu benar-benar menunggu Gaara? Mama akan membawanya kemari sekalipun harus menyeretnya." ucap Dewanti mengelus rambut Lova. Lalu, membenahi selimutnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD