Chapter 3

1106 Words
“Bu, Apa yang harus saya lakukan lagi?” Wanita itu tersenyum miring ketika lawan bicaranya yang jaub di sana memberikan sebuah kabar. "Awasi dia terus hingga saya menyuruhmu melakukan sesuatu." ••• "Pelangi... Pelangi.. alangkah indahmu.. merah kuning hijau.. di langit yang biru.. pelukismu agung.. siapakah gerangan.. pelangi.. pelangi.. ciptaan Tuhan." "Ih, bagus banget suara kamu, Sayang. Hebat... Mama yakin, pasti kamu juara pas pentas seni nanti." Kayla mengelus rambut anaknya dengan sayang. Kayla merasa puas karena minggu ini ia bisa bertemu lagi dengan anaknya. Karena kedua mantan mertuanya itu sedang pergi ke Jepang untuk berlibur, sedangkan mantan suaminya sedang menghadiri acara sebuah perusahaan. "Tapi, Yaya takut Mama, soalnya nanti Yaya lawan kelas 3,4, sama 5, kan Yaya baru kelas 2," ucap gadis kecil itu sedih. "Emangnya kelas mempengaruhi untuk jadi pemenang?" tanya Kayla. Shaniya mengangguk lalu tiba-tiba menggeleng. "Yaya nggak tau." "Yaya, kalau lomba nyanyi itu pasti yang dipilih suara paling bagus, bukan berdasarkan kelas. Mama yakin kok, Yaya pasti akan menang, makanya Yaya harus sering melatih suara Yaya," ucap Kayla sambil tersenyum. "Iya, Yaya pasti menang, tapi Yaya mau Mama datang, karena Yaya ingin mama melihat Yaya jadi pemenang." Shaniya berujar dengan sedih. Kayla menatap anaknya dengan lembut. Lalu ia mengajak gadis kecil itu duduk di karpet depan tivi. "InsyaAllah Mama datang, tapi Mama nggak bisa janji sayang." "Kenapa Ma?" "Karena.. karena kalau ada Papa, Mama nggak bisa ikut.." ucap Kayla dengan suara yang tercekat. "Tapi kenapa Ma? Bukannya dulu Papa sama Mama sering banget temenin aku pensi sama jalan-jalan? Mama marahan sama Papa?" Shaniya hampir saja menangis ketika mengucapkannya. Bahkan lebih dari itu sayang. "Nggak, kami nggak apa-apa. Cuma, untuk saat ini, kami nggak bisa bersama, nak." "Mama harus janji datang ke pensi Shaniya, kalau nggak nanti Shaniya nggak mau menang." Kayla dengan cepat memeluk anaknya. Mau tidak mau, ia harus menuruti kemauan gadis kecilnya itu. "Yaya, kita ke luar yuk? Jalan-jalan sebentar." Shaniya mengangguk antusias. Dengan cepat ia berdiri dan menarik Kayla agar wanita itu juga berdiri. "Beli es krim ya, Ma." "Sip, tapi jangan banyak-banyak, nanti gigi Yaya bolong." "Okedeh." Kedua makhluk cantik berbeda usia itu dengan antusias berjalan keluar lalu menaiki motor scoopy merah yang baru saja dibeli dengan cara kredit oleh Kayla. ••• Saat ini Rega benar-benar muak. Ia kesal jika harus menemani seorang perempuan berbelanja. Pasti itu akan memakan banyak waktu. Seperti saat ini, setelah acara perusahaan temannya. Ia diminta oleh kedua orang tuanya agar cepat membeli cincin pertunangan. Ya, dirinya sudah dijodohkan dengan perempuan pilihan kedua orang tuanya. Wanita yang kini ada di sebelahnya dengan tangan yang bergelayut manja di bahunya. Sungguh, sebenarnya Rega sangat muak. Jika diingat, bahkan dulu Shakayla terkesan pendiam dan malu, jika bukan dirinya yang menggandeng tangan perempuan itu, pastilah orang-orang akan mengiranya mereka bukanlah suami istri. Tunggu, kenapa ia malah memikirkan perempuan itu? Ah, pasti ada yang salah dengan otaknya. "Mas Rega, aku mau beli cincin paling bagus dan mahal, soalnya aku mau cincin itu paling spesial buat aku." Dulu, mantan istrinya tidak begini. Perempuan itu tidak pernah menginginkan barang mewah darinya, bahkan ia lebih memilih barang yang sederhana saja. "Aku juga mau, nanti pesta pertunangan kita diadain di hotel berbintang." Bahkan dulu Shakayla dan dirinya hanya menikah di sebuah masjid raya besar di daerah Aceh. Tidak ada resepsi yang bagus dan mewah, karena Shakayla hanya meminta pernikahan yang sederhana. "Aku juga mau pakai gaun bagus yang mengembang seperti princess disney." Rega tersenyum kecut. Shakayla dulu tidak pernah meminta gaun yang bagus seperti perempuan yang menginginkan gaun pernikahan bagaikan wanita dalam dongeng. Mantan istrinya itu hanya memakai baju khas Aceh yang sederhana, namun jika dia yang memakainya entah kenapa itu terkesan mewah dan sangat cantik. "Mas Rega dengerin aku bicara nggak sih? Kok daritadi senyum gak jelas gitu." Wanita itu mengerucutkan bibirnya kesal. Rega langsung tersadar. Tunggu, sedari tadi ia memikirkan tentang Shakayla, mantan istrinya. Bahkan ia membandingkan antara calon tunangannya dan mantan istrinya dalam pikirannya. Kenapa? Kenapa ia tidak bisa melupakan wanita sialan itu? Kenapa selalu saja terpikirkan? "Cepatlah Rik, saya harus segera pulang. Karena anak saya menunggu. Sudah sore." "Please deh mas, kita ke sini buat cari apa aja yang dibutuhin untuk pertunangan nanti. Jadi jangan pikirin anak kamu dulu, kan ada pembantu di rumah." Rega menatap tajam wanita di sampingnya. Giginya bergemelutuk kesal. "Kita batalkan pertunangan ini jika kamu tidak bisa menerima Shaniya, dia anak saya. Jika kamu tidak bisa menerimanya maka saya pun tidak segan untuk melakukan hal itu kepadamu!" Wajah wanita bernama Erika itu berubah menjadi pias. Matanya mendelik kesal dengan kaki yang dihentak-hentakkan. "Oke oke, pergi sana. Tapi jangan pernah batalin pertunangan kita." Rega menatapnya sebentar lalu pria itu berjalan menjauh tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dalam hatinya Rega berdecih tidak suka bagaimana kelakuan wanita berusia 35 tahun yang bagaikan anak kecil. ••• Kayla menatap anak semata wayangnya dengan perasaan hangat. Gadis cilik yang dulunya ia kandung selama 9 bulan lalu ia lahirkan dengan sekuat tenaga dan juga rasa sakit yang amat sangat kini tumbuh menjadi anak perempuan yang sangat cantik. Matanya yang bulat dengan bulu mata yang lentik membuat semua orang yang menatapnya tidak akan pernah bosan. Tangan Kayla mengelus surai halus milik anaknya yang kini tidur berpangku di pahanya. Ia sangat menyayangi anaknya. Bahkan jika bisa ia ingin sekali membawa anaknya pergi. Agar setiap hari ia bisa bertemu dan tidur bersama anaknya. Tanpa ada rasa takut akan keluarga suaminya atau bahkan suaminya yang marah akan hal itu.  Tapi ia tidak bisa. Ia tidak akan melakukan hal itu. Jika ia lakukan pasti pandangan buruk semua orang akan bertambah kepadanya. Tidak apa jika sekarang ia terus bersembunyi jika ingin menemui biah hatinya. Yang terpenting ia bisa terus melihat wajah anaknya. Itu saja sudah cukup. Kayla menatap menatap jalan raya di depannya. Hari semakin sore dan hujan juga belum reda. Ia dan Shaniya terpaksa berteduh di sebuah halte. Dan anaknya pun sekarang tertidur karena kelelahan di pangkuannya. Ada satu hal yang membuat Kayla gelisah. Bagaimana jika mantan suaminya itu sudah pulang dan tidak mendapati Shaniya di rumah? Atau bagaimana jika ketika ia menghantarkan Shaniya pulang, tiba-tiba yang menyambutnya adalah mantan suaminya itu? Sungguh, Kayla tidak bisa menerima amarah yang besar dari mantan suaminya karena jika sudah marah, pria itu seakan kehilangan akal sehat. Suasana halte sangat sepi. Bahkan hanya ada dua orang yang menunggu di sebelahnya sedang memainkan ponsel. Kayla hanya bisa diam sambil terus mengelus kepala anaknya dan menatap jalanan yang mulai ada genangan air. Tiba-tiba saja Kayla mengernyit melihat ada sebuah mobil BMW keluaran terbaru berwarna hitam berhenti di depan halte. Lalu ia melihat seseorang berjas membawa payung membuka pintu mobil dan berjalan ke arahnya. Kaki Kayla tiba-tiba melemas. Ya Allah, kenapa harus bertemu lagi? Ia tidak siap. "Shakayla.."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD