Rencana Mencari Calon Mantu

1071 Words
“Kenapa macet sekali ya?” tanya Biru kepada supir taksi online. “Hari ini wisuda Universitas Muhammadiyah Malang, Mas,” jawab sang supir ramah. “Oh.” Biru hanya mengangguk. Renggala Biru. Pria berusia 29 tahun itu dalam perjalanan menuju sebuah hotel yang terletak di Batu, Malang. Dari Jakarta, ia hijrah ke Malang sekitar 1 tahun yang lalu karena ada beberapa masalah dengan hotel dan resort yang ia kelola di Malang. Pria itu adalah pebisnis muda yang mendirikan bisnis resort dan perhotelan sejak 7 tahun yang lalu, saat ia baru lulus kuliah S-1. Pria dengan sapaan akrab Biru itu memulai bisnisnya di Kota Bandung, lalu hijrah ke Jogja, ke Malang dan juga Bali serta Lombok. Biru sudah memiliki banyak hotel dan juga resort yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Bukan bisnis keluarga, tapi bisnis pribadi yang membanggakan. Sementara orangtua Biru memiliki bisnis dibidang restaurant. Biru bahkan menawarkan proposal kerjasama kepada ayahnya saat dulu mendirikan hotel untuk pertama kalinya. Butuh waktu berbulan bulan sampai proposalnya di setujui oleh sang ayah. Bussines is bussines. Tak perduli hubunganmu sekental darah. “Sudah sampai, Mas.” Sang supir membuyarkan lamunan Biru. “Terimakasih.” Biru turun dari mobil setelah menyerahkan beberapa lembar uang kepada sang supir taksi. “Pak Biru!” seru Prasaji, asisten Biru saat berada di Malang. “Ada apa?” tanya Biru terus berjalan melewati lobby hotel. “Pak Basuki memilih walk out dari tender kita,” jawab Prasa menjelaskan. Biru masuk ke dalam lift, di susul oleh Prasa. “Tidak masalah,” ujarnya santai. Kedua alis Prasa bertaut karena bingung. Pasalnya, Pak Basuki adalah salah satu klien yang bernilai tinggi. Jumlah yang ia investasikan selalu besar. Namun dengan entengnya, sang bos besar malah mengatakan ‘tidak masalah’. “Saya memang berniat untuk mencoretnya dari daftar negosiasi kita. Setelah mengecek seluruh kontrak yang bekerja sama dengannya, aku tidak suka caranya berbisnis,” jelas Biru sembari memencet tombol lift angka tertinggi. Prasa mengangguk mengerti. “Jadwalku hari ini apa?” tanya Biru kemudian. Prasa langsung mengecek tablet di tangannya. “Setelah bekerja keras selama 1 tahun lebih, sekarang pekerjaan Pak Prasa sudah mulai longgar. Hari ini Pak Biru hanya perlu mengecek beberapa laporan serta meeting dengan calon investor untuk project restoran pertama Biru Holdings,” jelas Prasa kemudian. “Hehm.” Biru hanya bergumam. Lift berhenti di lantai 12, lantai tertinggi gedung Hotel R.Biru cabang Suhat, Malang. “Oh, Pras, mobil saya bagaimana?” tanya Biru sebelum masuk ke dalam ruang kerjanya. “Hari ini akan di antarkan ke hotel, Pak,” jawab Prasa. “Oke.” Biru masuk ke dalam ruangan kerjanya, sementara Prasa kembali ke biliknya. Pria itu berjalan menuju singgasananya, melepas jas hitam yang ia pakai lalu menyampirkannya di tiang gantungan. Ia melipat kedua lengan kemeja hitamnya, lalu duduk di kursi dan mulai bekerja. Selama hampir seharian Biru berkutat dengan pekerjaan di dalam ruang kerjanya. Ia melirik dinding kaca di belakang kursi kerjanya, hujan tengah menyapa kota Malang. Padahal tadi pagi cuaca cerah menyambut awal kegiatannya. Biru mengklik gambar X pada layar komputer di hadapannya. Ia lalu mendial tombol interkom untuk memerintah asistennya. “Pras, suruh Tania membuatkan saya kopi,” perintah Biru kemudian. “Baik, Pak.” Terdengar sahutan dari Prasta. Tak lama kemudian Prasta membawakan kopi kedua hari ini untuk Biru. Pria itu pamit pergi setelah menyerahkan kopi pahit favorite atasannya itu. Biru memang pecinta kopi, ia jatuh cinta dengan kopi sejak lulus SMA. Menggilai cairan hitam pekat dan terkadang hanya dia yang bisa menikmatinya karena saking pahitnya. Saat kuliah, Biru bahkan pergi ke berbagai tempat untuk berburu pengalaman tentang kopi. Mulai mendaki gunung, pergi ke perkampungan kopi, ikut bertani kopi dan lain sebagainya. Kopi adalah pelarian paling ampuh untuk seorang Renggala Biru. Biru menyeduh kopi sembari menikmati guyuran hujan yang terlihat dari jendela ruangan kantornya. Pria itu menatap ke arah bawah, pada jalanan yang penuh dengan kendaraan yang lalu lalang. Pria yang memakai setelan kemeja warna hitam itu terlihat tampan dengan kaca mata baca yang menggantung di hidung mancungnya. Ia baru saja mengecek beberapa laporan data keuangan dan memutuskan istirahat sejenak sembari menikmati kopi dan hujan. Tring! Ponselnya berbunyi nyaring, ia melirik ponsel yang berada di atas meja. Helaan nafas lelah terdengar dari mulutnya saat melihat nama ID yang saat ini tengah menelfonnya. Biru tahu apa topik pembicaraan yang ingin dibicarakan oleh sang ibu. Pertanyaan seputar calon menantu yang berujung pada perjodohan keluarga. Ia sudah bosan mendengar ceramah ibunya tentang kapan ia akan menikah. Dering ponsel berhenti sejenak, lalu terdengar lagi. Biru mengambil langkah malasnya lalu berjalan ke arah meja. Ia meletakkan cangkir kopi di atas meja sebelum meraih ponsel dan menajwab panggilan ibunya. Ia sudah hafal jika ibunya tidak akan menyerah sebelum panggilannya dijawab oleh Biru. “Halo, Ma,” jawab Biru malas. “Nanti makan malam di rumah.” Suara ibunya Biru terdengar santai, namun mengandung unsur paksaan yang tidak dapat di ganggu gugat. “Hari ini aku lembur,” jawab Biru, mengulang alasan seperti yang sudah sudah. “Berapa kali lagi kamu menggunakan alasa lembur untuk menolak pulang ke rumah. Mama sudah bosan dengan semua alasan kamu. Pokoknya, mama tidak mau tahu. Hari ini mama tunggu di rumah.” Terdengar jeda sejenak. “Lagipula kamu ngapain sih tidur di apartemen sendiri, kamu kan di sini punya rumah,” dumel wanita paruh baya yang tak mengerti dengan sikap putranya. “Akan aku usahakan untuk makan malam di rumah,” jawab Biru pada akhirnya. “Harus datang, Ru. Mama mau ngenalin kamu ke anak teman mama,” ucap ibunya Biru memaksa. Biru memutar matanya malas setelah mendengar ucapan ibunya barusan. Read! Benarkan. Sang ibu menyuruh pria itu pulang ke rumah hanya untuk melancarkan aksi busuknya menjodohkan Biru dengan anak rekan bisnisnya. Padahal Biru sudah jelas jelas melakukan penolakan perjodohan apapun, tapi sang ibu tetap memaksanya untuk bertemu dengan banyak wanita berbeda. Mulai dari model, pembawa acara, pebisnis, dosen, guru les, PNS, Biru sudah bertemu banyak wanita dengan pekerjaan yang berbeda beda. “Sudah dulu ya, Ma. Aku ada rapat. Bye, Mom.” Biru langsung mematikan sambungan telfon. “Hah.” Pria itu menghela nafas untuk yang ke sekian kalinya. Biru duduk di singgasananya. Ia menopang dagu dengan kedua tangannya yang saling tertaut. Kedua mata tajamnya menatap cangkir kopi di hadapannya. “Sebelum aku membawakan mama calon menantu, aku yakin kalau mama tidak akan pernah menyerah menjodohkanku,” gumam Biru kemudian. “Apa ini saatnya aku mengusahakan calon menantu untuk mama?” imbuhnya kemudian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD