PROLOG
“Agatha Miyu Kouzuki!” jerit Kinara Yoevanka alias Nana, sahabat sejiwa dari seorang perempuan berambut blonde sepinggang yang sedang tertidur lelap di ranjangnya. “Bangun! Lo pengen dipecat lagi?!” jeritnya lagi namun dengan menghantamkan bantal kepada si blonde.
Agatha Miyu Kouzuki alias Miyu, langsung bangkit duduk sambil mengucek mata hijaunya. Bibirnya mendecak menatap Nana berdiri berkacak pinggang di sisi ranjangnya. “Apa, sih, Na? Berisik banget.”
“Ini udah jam setengah tujuh, pinter! Lo mau dibotakin sama bos lo?!” hardik Nana sebelum menarik tangan Miyu untuk bangkit dari ranjang.
Miyu menguap lebar. “Santai kali, Na. Pak Edgar masih dinas ke Surabaya.”
“Gue nggak mau jadi tempat pelampiasan curhatan lo lagi, ya, Agatha Miyu Kouzuki,” Nana menoleh, melirik tajam, “kalau lo bukan sahabat gue, udah gue biarin lo dibotakin bos lo.”
Miyu mendecak pelan, meraih handuk yang tergantung di gantungan depan kamar mandi. “Gue santai bukan gara-gara gue punya sahabat yang temenan sama bos gue, ya. Mohon maaf.”
“Udah, ah, buru mandi!”
Dengan mulut mencebik, Miyu masuk ke kamar mandi, memulai ritual mandinya. Sementara, Nana beringsut ke dapur berniat menyiap kan sepotong roti untuk sarapan Miyu. Wanita berpotongan classic pixie cut itu menghela napas berat, lagi-lagi rutinitas pagi yang menyebalkan bersama Miyu.
Tidak habis pikir mengapa sahabatnya itu masih saja bertingkah serba malas-malasan dan menganggapnya segalanya dengan remeh. Memang hal yang bagus, sih, melihat Miyu sama sekali tidak berubah perangainya meskipun usianya semakin bertambah. Namun, tetap saja Nana tidak memberi toleransi terhadap sisi-sisi buruk Miyu yang ikut tidak berubah.
Bukannya mengapa, Nana hanya mengkhawatirkan Miyu. Lima tahun sudah berlalu semenjak kepergian keluarga terakhir gadis blonde tersebut dan Nana ingin setidaknya Miyu bersikap lebih dewasa lagi. Setidaknya, satu dari sisi buruknya menghilang agar Nana bisa lebih tenang dan tidak mengkhawatirkannya terus-terusan.
“Project lo gimana? Sukses, ‘kan?” tanya Nana ketika Miyu sudah duduk di meja makan menyantap roti bakar buatannya.
Miyu mengangguk. “Semalam udah gue kirim ke Bu Ita buat ditinjau ulang. Kali ini gue sangat yakin bakal lancar.”
Nana menenggak air putih sejenak sebelum membalas, “Harus lancar, dong. Yang ini lo bukan main mikirin dan ngerjainnya. Penerbit-penerbit lain belum ada yang pake project semacam itu juga.”
“Memang sudah seharusnya dunia sastra itu lebih ditingkatkan, wahai anak muda,” ungkap Miyu berlagak seperti orang tua membuat Nana mendengus sebal.
“Dan lo sebagai wanita karir kepala dua seharusnya bisa bersikap lebih dewasa lagi,” dengus Nana kembali menyuarakan komplainnya membuat giliran Miyu yang mendengus, “wanita umur dua puluh lima bisa bangun pagi sendiri, you know. Hello? Gue bukan nyokap lo yang harus stand by jadi alarm pagi.”
“Angan-angan lo kali. Gue tahu perempuan-perempuan kepala dua yang masih aja nggak bisa bangun pagi, tuh,” balas Miyu sewot, “and thanks for being my alarm even without I asking for it.”
Alis Nana tertaut kesal. “Dan lo seharusnya bisa membedakan mana yang bisa ditiru dan tidak ditiru, woy pirang lokal. Ck, lo nggak pernah berubah, deh.”
Miyu tersenyum geli, meledek. “Bagus, dong, gue nggak pernah berubah.”
Bola mata Nana berputar jengah. “Whatever, habisin sarapan lo. Keburu macet.”
“Lo lagi senggang, ya? Bukannya sekarang lo seharusnya check up ke kantor buat ngurusin klien lo?”
Nana bersedekap seraya menyandarkan punggung ke kursi. “Senggang banget. Klien kali ini kasusnya enteng, kok. Biasa, cerai mencerai.”
Miyu geleng-geleng kepala sambil mendecak berulang kali. “Dunia pernikahan emang ribet, ya. Itulah makanya gue nggak mau punya urusan sama cowok.”
“Bukan hak gue buat beberin informasi pribadi klien gue, sih,” Nana mengerjap, menimang sejenak, “intinya, ada sengketa sama mertuanya. Menurut gue, cerai itu udah keputusan paling benar. Daripada saling terluka, apalagi bener-bener sudah mentok permasalahannya.”
Miyu manggut-manggut paham. “Ribet, ribet.”
Melihat Miyu selesai menyantap sarapannya, Nana bangkit berdiri bersiap pergi. “Omong-omong Aya pengen meet up.”
Pergerakan Miyu spontan terhenti, kepalanya menoleh kaku dengan wajah penuh ngeri. “Meet up? Duh, jangan-jangan….”
“Ya, gitu, deh,” gumam Nana pasrah dengan hembusan napas berat, “siap-siapin, deh, telinga lo ngilu dengerin bacotan dia.”
Dengan helaan napas panjang, Miyu bergerak meletakkan piring ke bak cuci piring. Memercepat langkahnya, gadis blonde itu melangkah menyusul Nana keluar dari rumah kontrakannya. Selesai mengunci pintu dan pagar, Miyu masuk ke dalam mobil Nana, bergerak menuju kantor.
Sudah menjadi hal biasa bagi Nana untuk menjemput Miyu dan mengantarkannya ke kantor. Selain jarak kantor mereka berdekatan, Nana mengambil peran besar dalam hidup Miyu sebagai alarm pagi gadis itu. Miyu benar-benar harus berterimakasih dan bersyukur memiliki sahabat sesabar Nana.
“Hari ini jadwalnya ziarah, ya?” tanya Nana kala mobil terjun ke jalan raya, keluar dari area komplek perumahan Miyu.
Miyu mengangguk tanpa menoleh, fokus mengecek ponselnya. “Iya. Gue bisa sendiri, kok.”
“Oke, hari ini juga kayaknya gue bakal sedikit lembur,” sahut Nana, “Aya bilangnya meet up di Anomali jam tujuh.”
Kepala Miyu spontan menoleh dengan mata membulat. “Menteng? Jauh amat. Pilih kafe yang deket Tanah Abang aja, dong.”
Nana terkekeh dengan kepala menggeleng. “Sekali Aya pilih, kita nggak bakal bisa minta ganti, you know that.”
Miyu mendecak. “Ah, tekor ongkos gojek, deh.”
“Yah, maklumin aja. Aya suka banget sama Anomali.”
“Soalnya dia pertama kali ketemu doinya di situ, ‘kan? Dasar bucin,” dengus Miyu sebal, bibirnya mengerucut, “denger-denger bentar lagi mereka bakal tunangan.”
“Gue denger juga begitu,” kekeh Nana, menoleh sekilas kepada Miyu sebelum kembali fokus ke jalanan, “siap-siap jadi bridemaids, nih.”
Miyu tersenyum geli, melirik Nana. “Lo kapan, nih?”
Kening Nana spontan mengernyit. Gadis tomboy itu sekilas menoleh ke Miyu untuk menunjukkan protesnya. “Gue nggak mau denger itu dari lo, jomblo.”
“Gue baru inget, apa kabar lo sama si jaksa muda?”
“Miyu, dia cuma temen sekantor, oke?”
Miyu terkekeh meledek. “Ah, masa? Temen apa yang rutin ngajak dinner?”
“Mind your own business, Miyu,” decak Nana sebal, “lo sendiri seharusnya lebih mikirin kehidupan asmara lo. Lo udah dua puluh lima tahu.”
Wajah jahil Miyu sirna tergantikan oleh cemberut. “Jangan bawelin hal semacam itu kayak tipikal nyokap-nyokap, deh. Gue masih pengen menikmati masa lajang gue tahu.”
“Gue tahu, gue paham,” sahut Nana seadanya, “nyokap gue mulai bawelin masalah nikah-nikahan dan gue nggak mau ngerasa sebel sendirian.”
Miyu langsung menoleh dan melayangkan pukulan ke pundak Nana. “Rese lo, ya!”
Nana tertawa puas. “Lagian ada benernya juga. Lo sejak jaman SMA nggak pernah pacaran sama sekali. Dideketin doang, jadiannya enggak. Bener-bener perawan tulen lo, mah!”
Miyu melotot kesal. “Gue cuma nggak mau punya urusan sama cowok-cowok yang salah.”
“Oke, oke, pirang lokal. Berhenti mukulin gue,” kekeh Nana merasa puas membeberkan kehidupan asmara Miyu yang sangat datar.
Setidaknya, Miyu bersyukur memiliki dua sahabat yang selalu menemani dan siap membantunya, Aya dan Nana.
***
Miyu bekerja sebagai penerjemah dan editor di sebuah penerbitan di Jakarta Pusat bernama Haru Media. Haru Media bukanlah penerbit seterkenal Gramedia, Grasindo, Republika dan sederet penerbit besar lainnya. Akan tetapi, impact dan kinerja Haru Media tidak dapat dianggap remeh. Meskipun masih jauh bila dibandingkan dengan sederet penerbit besar, Haru Media memiliki peminat yang cukup besar karena bergerak di bidang buku sastra terjemahan.
Miyu sudah bekerja di Haru Media selama tiga tahun. Reputasinya cukup mengagumkan di Haru Media sebagai penerjemah handal sekaligus editor yang cakap. Buku-buku terjemahan garapan Miyu selalu mendapat impact positif dan penjualan yang mengesankan. Tidak heran bila banyak rekan-rekannya yang selalu meminta pendapat Miyu lebih dahulu sebelum mengajukan buku selanjutnya untuk diterjemahkan kepada kepala direksi.
Pokoknya, Agatha Miyu Kouzuki benar-benar bahagia bekerja di Haru Media setelah mengalami dua kali kegagalan di dunia kerja. Akan tetapi, semua itu sirna kala CEO memanggil Miyu bersama enam rekan kerjanya ke ruangan beliau di sore hari selepas jam kerja.
Awalnya, Miyu mengira CEO berniat membahas project yang dia ajukan lebih lanjut lagi. Namun nyatanya, realita yang terjadi menghantam otak Miyu tanpa ampun.
“Jadi, maafkan saya, dengan penuh permohonan maaf, saya terpaksa memberhentikan kalian bekerja di Haru Media mulai hari ini,” ujar sang CEO dengan wajah serius namun masih menunjukkan rasa penyesalannya terhadap tujuh karyawan yang baru saja ia layangkan PHK.
Ruangan CEO Haru Media diselimuti keheningan yang mencekam selama beberapa menit sebelum terpecahkan oleh suara salah satu rekan terdekat Miyu, Emily. “Mohon maaf, Pak Ghani, mengapa tiba-tiba kami di-PHK? Sekiranya kami ada salah atau apa—“
“Bukan, bukan, kalian tidak punya salah sama sekali,” ralat Pak Ghani segera memotong sebelum karyawan-karyawannya terkena salah paham.
“Lalu, ada apa, Pak? Bagaimanapun juga, ini cukup keterlaluan bagi kami,” ujar Emily mulai tidak bisa menahan emosinya.
Pak Ghani mengembuskan napas berat, menunjukkan bahwa ia sendiri pun terpaksa melayangkan PHK. “Haru Media mengalami masalah keuangan internal sejak tiga bulan lalu sampai hari ini. Saya dan direksi lainnya sudah berupaya mengamankan posisi keuangan Haru Media, tapi tidak berujung membaik sama sekali. Kami tidak ingin membuat kalian bekerja tanpa mendapat gaji yang layak, terlebih masa-masa kritis ini tampaknya akan berlangsung lama. Jadi, kami terpaksa melakukan PHK.”
“Tapi, pak, melakukan PHK seperti ini membuat kami kehilangan pekerjaan dan nantinya akan menyusahkan kami dalam mencari pekerjaan lain,” protes Miyu akhirnya setelah mampu mengendalikan rasa syoknya, “terlebih, kenapa saya terpilih untuk kena PHK? Rekan-rekan saya ini juga memiliki kinerja yang bagus terhadap Haru Media. Dibanding memberi PHK, kami lebih memilih bekerja sangat keras untuk membantu kestabilan Haru Media meskipun tidak mendapat gaji selama beberapa bulan.”
Rei—salah satu karyawan yang mendapat PHK—mengangguk setuju. “Benar kata Miyu, pak. Tidak bisakah bapak mempertimbangkannya lagi? Kami pun akan berusaha menstabilkan keuangan Haru Media dengan meningkatkan penjualan dan mencari penyelesaian yang lebih efektif bersama-sama.”
Gelengan kepala Pak Ghani membuat tujuh karyawan yang telah di-PHK terpaku kaku di tempat. “Maafkan saya, saya dan direksi lain tidak ingin membuat kalian tergantung tidak jelas atas gaji bulanan kalian. Saya sangat menghargai niat baik kalian, Agatha, Rei. Tapi sekali lagi, maafkan saya.”
Sore itu, Agatha Miyu Kouzuki kembali jatuh dalam jurang gelap di dunia kerja. Tiga kali mengalami PHK, Miyu tidak tahu lagi apakah dia bisa bertahan lebih lama lagi di dunia kerja yang menyesakkan seperti ini. Bahkan setelah Miyu merasa kehidupan karirnya akan berjalan lancar, realita kembali menghantamnya keras-keras.
***
Bagi mayoritas orang, mereka akan segera pergi mencari perlindungan dan tempat bersandar kala tertimpa musibah. Begitu pula dengan Miyu. Wanita kepala dua yang hidupnya sudah berkali-kali tertimpa musibah itu akan selalu bergerak menuju tempat bersandarnya untuk melampiaskan segala kesedihannya. Tempat bersandar terbaiknya adalah peristirahatan terakhir kedua orang tuanya di TPU Tanah Abang.
Namun, untuk kali ini, pertama kalinya Miyu tidak ingin pergi menemui kedua orang tuanya. Dia merasa sangat malu dan kecewa pada dirinya sendiri. Dia malu menemui orang tuanya dalam kondisi terkena PHK untuk ketiga kalinya. Walau Miyu pun tahu orang tuanya selalu mengawasinya dari tempat yang tidak bisa dia jangkau, tetap saja Miyu tidak ingin berziarah ke makam mereka dalam kondisi sememalukan itu.
Maka, Miyu pergi ke kafe Anomali di daerah Menteng sesuai permintaan Aya. Biarlah dia duduk sendirian di sana selama tiga jam menunggu kedatangan kedua sahabatnya. Miyu tidak peduli. Dia merasa itu lebih baik daripada pergi mengunjungi orang tuanya di peristirahatan terakhir mereka. Untuk kali ini saja, Miyu menenangkan diri sendirian tanpa harus pergi menemui mereka.
Tidak memedulikan perut keroncongannya, Miyu duduk sendirian di meja terpojok ditemani segelas macchiato. Kebetulan pula, senja itu kafe Anomali belum dipenuhi oleh pengunjung sehingga menyisakan ruangan luas yang begitu hening.
Tatapan Miyu nanar menatap layar kaca ponselnya. Wanita itu merutuki hidupnya. Umur dua puluh lima sudah kena PHK tiga kali, apa yang akan perusahaan dan kantor-kantor lain pikirkan selain langsung menolak lamarannya? Miyu sungguh merutuki kehidupannya yang lagi-lagi jatuh terpuruk.
Seolah semesta tidak membiarkan Miyu hidup dengan tenang.
Di tengah kekacauan pikirannya, Miyu terinterupsi oleh suara feminin Aya. Kepalanya spontan mendongak, matanya membulat menemukan figur Aya berdiri di hadapannya dengan wajah khawatir. Penulis sekaligus sutradara film terkenal itu langsung mendudukkan diri di hadapan Miyu. Tanpa banyak tanya, ia mengelus lengan dan pundak Miyu agar sahabatnya merasa lebih tenang.
Berteman selama sembilan tahun dengan Miyu membuat Aya sudah memahami kebiasaannya bila tertimpa masalah. Aya bersyukur ia datang lebih cepat dari waktu janjian.
“It’s okay, Miyu. Gue di sini, ayo nangis yang kenceng,” ujar Aya menenangkan, tidak berhenti mengelus lengan dan pundak Miyu.
Miyu sangat lemah terhadap suara lembut Aya, jadi bola matanya secara spontan memanas dan mengeluarkan air mata yang sudah dia tahan sekuat tenaga. Sekali lagi, Miyu bersyukur memiliki sahabat sebaik Aya.
Aya menipiskan bibir menatap sahabatnya sudah meringkuk menyembunyikan wajah menangisnya di meja. Wanita berambut panjang itu menyingkirkan gelas macchiato menjauh dari Miyu, kemudian memindahkan elusan tangannya ke kepala pirang Miyu. Ia tidak menyangka akan menemukan Miyu sudah duduk di kafe Anomali dalam kondisi seperti itu. Aya sungguh lega memutuskan datang lebih awal dari waktu janjian.
“Lo udah berapa lama duduk di sini?” tanya Aya lembut tanpa berhenti mengelus kepala Miyu.
Miyu terbatuk kecil sebelum menjawab seadanya, “dua jam.”
Aya tidak bersuara lagi. Netranya mengerjap sedih bercampur cemas menatap keterpurukan Miyu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu kedatangan Nana dan memberi rasa nyaman berupa elusan sederhana di kepala Miyu. Bagi Aya, setidaknya Miyu harus mengeluarkan tangisannya daripada ditahan-tahan yang tentu akan membuat Miyu lebih tersakiti.
Nana datang lima belas menit melewati waktu janjian. Wanita tomboy itu berlari kecil menghampiri Aya dan Miyu sesaat setelah memasuki kafe. Netranya mengerjap cemas melihat kondisi Miyu dan tanpa perlu bertanya-tanya pun sudah bisa menebak masalah besar kembali menghampiri Miyu.
Nana duduk di samping Miyu, mengelus punggung sahabatnya seraya bertanya kepada Aya, “Udah berapa lama dia begini?”
“Empat puluh lima menit,” jawab Aya seadanya, “dia datang lebih awal tiga jam. Untung aja gue datang lebih awal.”
Nana melotot. “Tiga jam?”
Aya mengangguk. “Gue belum tahu permasalahannya apa. Pokoknya, dia tangisin dulu sebelum curhat biar lebih tenang. Dua jam sendirian di sini dia nahan air mata.”
“Berarti dia nggak ziarah,” bisik Nana sepelan mungkin kepada Aya.
Aya tersentak, baru menyadari tanggal hari ini. Tanpa memberi tanggapan, ia menatap Miyu yang masih menumpahkan tangisannya. Akan tetapi, sedetik kemudian punggung Miyu menegak memerlihatkan wajah sembabnya. Nana sigap memberikan tisu kepada Miyu seraya merapikan anak rambut pirang wanita itu yang berantakan. Sementara, Aya sudah siap memberikan telinganya untuk mendengarkan seluruh permasalahan Miyu.
Miyu membersihkan wajah sembabnya. Diam sejenak, menenangkan diri. Lalu, bersuara, “Temenin gue.”
“Ke mana?” tanya Aya sigap.
“Club.”
Tidak ada respon dari Aya dan Nana. Sama-sama terkejut bukan main dengan permintaan Miyu. Selama sembilan tahun persahabatan mereka, Miyu bukanlah tipe perempuan yang santai memasuki club malam. Miyu benar-benar bukan tipe perempuan semacam itu. Namun hari ini secara mengejutkan wanita itu minta pergi ke club. Mendeklarasikan bahwa dirinya juga bukan tipe perempuan sebaik itu.
Nana menggelengkan kepala tegas, memberikan protesnya lebih dulu. “Miyu, lo sadar lo lagi ngomongin apa?”
“Sadar,” jawab Miyu lirih, tampak semakin miris.
“Tunggu, pikirin baik-baik dulu. Gue tahu lo sedang terpuruk banget, tapi Miyu lo bukan tipe perempuan kayak gitu,” ujar Aya selembut mungkin agar Miyu tidak tersinggung, “first of all, lo belum pernah masuk ke club dan lo nggak perlu masuk—“
“Gue di-PHK.”
Aya dan Nana langsung melotot kaget.
“Gue di-PHK lagi,” ulang Miyu seraya menundukkan kepala, “Haru Media sedang krisis keuangan internalnya sejak tiga bulan lalu dan CEO mutusin buat PHK tujuh karyawan, termasuk gue. Padahal kami udah ngajuin diri buat kerja lebih keras bantu stabilin kantor tapi CEO nggak mau dengerin. Keputusan bulat.”
Nana mengerjap pelan, ikut merasa bingung memikirkan hidup Miyu ke depannya. “Miyu, lo nggak perlu pergi ke club—“
Leher Miyu menegak, iris hijau cerahnya menatap kedua sahabatnya serius. “Untuk kali ini saja, kabulin permintaan gue. Cuma sekali, gue nggak akan balik-balik lagi masuk club.”
Lidah Nana kelu menatap keseriusan bercampur stress terpampang di wajah Miyu. Ia melirik Aya meminta persetujuan. Keduanya sama-sama terdiam, saling melirik, seolah sedang berkomunikasi melalui telepati. Dua wanita itu menatap wajah serius Miyu lagi dan merasa tidak punya pilihan lain, mereka menyanggupi.
TO BE CONTINUED
[Hai! Ini work baruku yang akan daily update juga. Aku juga punya work lain yang berjudul The King's Lover yang bisa kalian baca secara gratis. Mampir-mampir, ya ^_^]