BAB 1

1548 Words
Berbeda dari Miyu yang tidak pernah merasakan kehidupan malam, Aya dan Nana cenderung sering merasakan kehidupan malam. Keduanya sering pergi clubbing tanpa mengajak Miyu karena Miyu termasuk tipikal anak rumahan yang tidak berminat clubbing. Kini melihat Miyu meminta ditemani clubbing, bagaikan mimpi yang mustahil terjadi.  Aya dan Nana masih tidak percaya melihat Miyu duduk di meja bar dengan pakaian minim sedang berbicara dengan bartender. “Kutebak, baru pertama kali masuk club, hm?” tanya bartender dengan senyum lebar penuh keramahan, memanfaatkan tampangnya yang terlalu tampan untuk ukuran seorang bartender. Miyu menipiskan bibir, mengangguk sedikit kaku. “Gue nggak mau yang kadar alkoholnya tinggi.” Bartender mengedipkan sebelah matanya. “Tentu. Anggur bakal cocok buat kamu.” Miyu hanya tersenyum singkat kepada bartender yang mulai bergerak memenuhi pesanan Miyu. Dia mengabaikan tatapan tidak percaya dua sahabat di sebelahnya dengan bersikap biasa saja. Padahal, jauh dalam lubuk hati Miyu dia merasa ini semua salah. Tidak seharusnya dia datang ke club dan memesan minuman beralkohol.  Gelas alkohol pertama Miyu membuatnya terpana sendiri. Setelah hidup selama dua puluh lima tahun, akhirnya lidah Miyu mencecap minuman beralkohol. Sementara, Aya dan Nana masih terjebak dalam rasa syok mereka melihat sahabat anak rumahan mereka itu akhirnya meminum anggur merah. “Miyu, lo baik-baik aja?” tanya Nana was-was melihat Miyu menenggak gelas ketiga. Miyu menoleh, sukses mengejutkan Aya dan Nana karena wajah memerahnya. “Huh? Gue baik, gue baik.” Aya beringsut maju, menghentikan tangan Miyu yang hendak menyodorkan gelas keempat ke bibirnya. “Miyu, stop. Lo udah mabuk.” Miyu menoleh, melayangkan protes. “Apaan, sih? Jangan ganggu… gue!” Aya bergerak mundur menghindari tebasan tangan Miyu. Matanya melotot melihat sahabatnya berhasil menenggak gelas keempat dalam sekali teguk. Setelah itu, pergerakan Miyu pun semakin tidak teratur. Kepala pirangnya bergerak sempoyongan diikuti cegukan keluar dari bibirnya. Nana geleng-geleng kepala melihat Miyu dilanda mabuk. “Begini kalau anak rumahan pertama kali minum-minum. Red wine empat gelas kecil udah mampu bikin teler berat begini.” Aya mengembuskan napas berat. “Seharusnya jangan diturutin.” “Di posisi begitu, kita mana bisa nolak, sih?” Nana mendecak sebelum menenggak tequilanya. “Selanjutnya, jangan biarin dia clubbing lagi. Bahaya.” Aya mengangguk setuju, menelan brandy sebelum menyahut, “Ayo pulang. Nggak lucu kalau dia muntah—“ Ucapan terputus Aya membuat Nana menoleh bingung. “Kenapa, Ya?” Aya mengerjap cepat, sedikit membulatkan mata menatap belakang Nana. “Miyu nggak ada!” serunya panik. “Lah?!” sembur Nana ikut panik menoleh ke belakang dan mendapati figur Miyu sirna. Aya mendecak keras. “Begini, nih, yang gue takutin!” *** Di sudut terpojok club yang sesak, Miyu berdiri bersandar di dinding. Iris hijaunya kosong menatap keramaian club dengan tangan menyentuh pelipisnya. Kepalanya sangat pusing dan butuh duduk. Keinginannya untuk pergi ke toilet terhalang oleh rasa pusing mengerikan yang melanda kepalanya. Wanita itu menoleh kanan-kiri memerhatikan club semakin ramai. Bibirnya mendecak jengkel. “Ah, f**k,” umpat Miyu pelan merasakan kepalanya semakin pusing. Ketika Miyu hendak melanjutkan langkahnya lagi, tiba-tiba tubuhnya bertabrakan dengan figur jangkung. Wanita itu mendecak jengkel lagi dan melayangkan u*****n kasar kepada si penabrak. Di tengah pusing dan kesadarannya yang sudah sangat tipis, iris hijau Miyu bertemu tatap dengan iris cokelat muda yang memabukkan.  Miyu terpaku di tempat, bertukar pandang dengan iris cokelat muda tersebut. Tidak lama, dia merasakan sepasang lengan memenjara tubuhnya. Memeluk pinggangnya posesif seiring iris cokelat muda beringsut maju mendekat. Miyu tenggelam ke dalam iris menakjubkan itu dan tanpa protes apa-apa membiarkan pria pemilik iris mendaratkan ciuman panas di bibirnya. Seolah dikomando, lengan Miyu memeluk leher sang pria. Memperdalam ciuman panas mereka tanpa peduli sekitar. Yang Miyu inginkan adalah menuntaskan rasa panas yang tiba-tiba bergejolak dalam dirinya. Dan merasakan sentuhan pria tersebut entah mengapa membuat Miyu sangat terbuai.  “Hei, gorgeous, it seems that we need a room, huh?” bisik suara maskulin sang pria tepat di telinga Miyu, membuat wanita itu semakin terbuai. Miyu yang sudah tenggelam dalam situasi panas itu pun terkekeh manis. “Do I look gorgeous?” “Of course, babe.” jawab pria itu langsung tanpa ragu seraya mendaratkan ciuman-ciuman kecil di bibir merah muda Miyu. “I want you.” “Me too,” jawab Miyu sangat manis, membalas godaan si pria jangkung. Miyu sungguh tenggelam dalam kehidupan malam yang telah lama dia hindari. *** Miyu bergerak kecil sambil merapatkan selimut membungkus tubuhnya. Tidak lama, kelopak mata wanita itu bergerak. Rasa pusing yang mengerikan langsung menerjang kepalanya. Membuat Miyu tidak bisa langsung membuka kedua matanya karena menahan ngilu. Setelah lima menit menahan pusing, kelopak mata Miyu terbuka sepenuhnya. Hal pertama yang Miyu lihat adalah pemandangan sebuah kamar minimalis. Beberapa sekon kemudian, iris hijaunya membulat sempurna menyadari apa yang sudah terjadi. Dengan gerakan kaku, kepalanya menunduk perlahan. Mendapati tubuhnya benar-benar tidak terbungkus sehelai pakaian, kepala Miyu semakin terhantam rasa pusing. “f**k, apa yang gue lakuin,” umpat Miyu syok. Kepala Miyu segera menoleh kanan-kiri, mengamati seisi kamar. Hanya ada pakaiannya terkulai mengenaskan di lantai, tidak ada pakaian laki-laki. Miyu segera menyambar ponselnya yang tergeletak di nakas untuk menengok jam. Pukul delapan pagi. Laki-laki yang sudah melakukan one night stand dengannya pasti sudah pergi meninggalkannya begitu saja.  Ponsel Miyu terjatuh begitu saja di kasur. Kedua tangan Miyu menutupi wajahnya, menunduk dalam-dalam. Bukan seperti ini yang dia harapkan ketika meminta Aya dan Nana membawanya clubbing. Astaga, bagaimana jika dia hamil? Air mata menetes dari iris hijau Miyu seiring dia berusaha bangkit untuk segera berpakaian dan pergi dari kamar laknat yang menjadi saksi bisu keperawanannya direnggut. Rasa perih di area intimnya membuat Miyu semakin sadar bahwa ini semua bukan mimpi semata. Dia benar-benar melakukan one night stand dengan pria tidak dikenal dan memiliki kemungkinan besar mengalami kehamilan. “Kenapa, sih,” gumam Miyu tertekan, “biarin gue hidup lebih tenang memangnya sesusah itu?” Tidak mau merutuk lama-lama di kamar, Miyu mengambil ponselnya di ranjang. Tubuhnya berhenti bergerak kala ekor matanya menangkap sesuatu tergeletak tidak jauh dari lampu tidur di nakas. Dia bergerak mengambilnya, sebuah kartu nama. Saionji Phantom Co. Group, Saionji Kanata. “Huh?” gumam Miyu dalam rasa tertekannya membaca nama dan nama sebuah perusahaan tercantum di kartu tersebut. Miyu menoleh menatap ranjang yang berantakan. Hatinya meraung penuh amarah dan ketidakikhlasan. Kemudian, tidak mau merasa semakin menderita, Miyu pergi keluar dari kamar dengan membawa kartu nama tersebut. Dan kembali merutuk, mengapa hidupnya selalu penuh masalah. *** Miyu terkulai lemas di ranjang kamar tidurnya. Sejak kakinya menginjakkan diri di rumah kontrakannya hingga jarum jam menunjuk pukul satu siang, Miyu hanya membaringkan diri di kasur. Mata hijaunya menatap kosong pada langit-langit kamar. Seluruh sudut dalam tubuhnya terasa pegal dan Miyu tidak sudi menatapnya di kaca lemari. Tak ingin melihat bukti-bukti nyata atas kejadian laknat semalam.  Miyu tidak berani beranjak. Tidak mau melihat bekas-bekas yang tercetak jelas di sekujur tubuhnya. Dering telpon pun kembali ia abaikan entah untuk keberapa kalinya. Miyu tidak pernah siap untuk menceritakan masalah ini ke Aya dan Nana. Tanpa perlu menebak pun, Miyu yakin reaksi keduanya sama persis seperti dugaan Miyu. Kena PHK, nggak punya kerjaan, nggak ada pemasukan. Sekarang mau gimana lagi hidup gue? batin Miyu merutuk stress seraya bergerak berbaring ke samping. Tanpa sengaja, matanya menangkap salah satu bercak kemerahan di lengan putihnya. Bercak yang sangat mencolok sehingga mudah tertangkap oleh mata telanjang. Miyu menggigit bibir keras-keras sebelum bangkit dan membuang semua bantal beserta selimut ke lantai. Kakinya bergerak tidak teratur, tangannya mengacak rambut pirangnya. Lalu, jerit tangis Miyu pecah begitu saja.  Setelah menjambak rambutnya sendiri, tangan Miyu berpindah ke perut. Tanpa pikir panjang, tangan itu memukul perutnya berulang kali. Hatinya meraung berdoa tidak akan ada satu nyawa pun hadir di dalam sana.  “f**k!!” jerit Miyu frustasi bertepatan dengan pintu kamarnya dibuka secara tiba-tiba oleh Nana.  Nana melotot kaget melihat kondisi kamar Miyu bak kapal pecah. Sementara pemilik kamarnya terduduk dengan kondisi acak-acakan dan menangis menjerit. Buru-buru, Nana menghampiri Miyu, duduk di sebelahnya. Ia memindai penampilan Miyu dalam sepersekian detik sebelum memeluk sahabatnya tersebut. Nana tidak mengira hal seperti inilah yang ia dapatkan setelah seharian dibuat cemas karena Miyu tidak kunjung menjawab telpon maupun membalas pesan.  Miyu yang merasakan pelukan Nana justru semakin menangis. Ia tidak membalas pelukan, namun juga tidak menunjukkan protes atas perlakuan Nana. Gadis berambut pirang itu membiarkan sahabatnya memeluk. “Are you okay?” tanya Nana hati-hati dengan nada berbisik tanpa melepas rengkuhannya pada Miyu.  Miyu menarik napas dalam-dalam, membuatnya sampai tersendat karena tangisan besarnya. “I’m not.”  Ketika Nana akan bersuara lagi, suaranya tercekat seiring matanya kembali membulat karena menemukan bercak-bercak merah di leher Miyu. Sedikit bergetar, tangan Nana menyingkap rambut pirang Miyu untuk memastikan penglihatannya lagi. Berharap itu hanya tipuan mata semata, namun tidak. Nana terpaku kaku di tempat melihat bercak tersebut bukanlah sekedar tipuan mata.  “Mi—Miyu…,” panggil Nana tercekat, masih tidak mampu mengendalikan pikirannya yang mulai berkelana kemana-mana karena bercak merah di leher sahabatnya sendiri.   Secara tiba-tiba, Miyu menoleh menatap Nana. Tatapannya menajam, rautnya mengeruh penuh amarah. “Apa? Iya, gue p*****r! Gue jadi p*****r! Gue udah nggak perawan!!” jeritnya tepat di muka Nana.  Belum sempat Nana memberi tanggapan, Miyu kembali bersuara. “Gue kotor. Nggak ada otak emang. Udah kena PHK, malah kejebak one night stand sama cowok random. Siapa yang tahu kalau ternyata bukan cowok, tapi om-om, huh? Gue kotor, Na!”  Miyu kembali menunduk menumpahkan seluruh air mata. Membuat rasa frustasi semakin menguasai dirinya. Tidak mau Miyu semakin tenggelam dalam kubangan stres, Nana kembali memeluknya dengan lebih lembut. Nana memang terkejut, sangat terkejut. Tapi, semua kejadian itu tidak akan menimpa Miyu jika saja ia dan Aya bisa menjaga Miyu dengan lebih becus. Perlahan, Nana ikut tenggelam dalam kubangan rasa bersalah. TO BE CONTINUED [Hai! Jangan lupa tab love untuk menambahkan Koishiteru ke dalam library kalian!]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD