BAB 2

1435 Words
Aya meletakkan tiga mug berisi teh s**u di meja, lalu duduk di samping Nana, berhadapan dengan Miyu. Berwajah muram, Miyu meraih satu mug untuk menyesap teh buatan Aya tersebut. Tidak ada suara selain suara seruputan dari bibir Miyu dan dedaunan di luar bergesekan dengan angin. Nana pun tidak berani bersuara seolah ada perintah mutlak yang melarangnya, begitu pula dengan Aya. Aya dan Nana menunggu bom waktu meledak. Tidak ada yang berani meledakkannya duluan. Baik Aya maupun Nana sama-sama berpikir untuk tidak menanyakan apa pun kepada Miyu. Kurang lebih mereka sudah bisa menebak dengan jelas apa yang sudah terjadi. Keduanya sudah akrab dengan sisi-sisi buruk club. Sudah sering mereka mendengar curhatan teman-teman yang ‘tertimpa’ one night stand. Kini situasinya yang lebih tegang membuat Aya dan Nana tidak bisa bersikap biasa-biasa saja. Lagipula, Miyu tidak akan terjebak dalam one night stand jika saja Aya dan Nana menjaganya dengan baik. Miyu mengembuskan napas berat, berhenti menyesap teh s**u. Kepalanya menunduk lesu menatap mug. Untuk pertama kalinya, Miyu menyuarakan sesuatu dengan sikap yang lebih tenang. “Gue harus cari kerja.” katanya. Terlonjak kaget melihat Miyu bersuara, Aya dan Nana segera memberi sahutan sebelum Miyu kembali diam berkubang dalam gejolak frustasinya. “Kita udah nyari banyak lowongan yang cocok sama lo,” sahut Nana seriang mungkin, “mulai dari pegawai kantoran, pegawai magang, dan jenis-jenis lain yang mungkin melenceng dari ijazah lo tapi bisa jadi lo tertarik.” Aya mengangguk antusias, berekspresi sama seperti Nana. Ia menyerahkan iPad yang menampilkan selebaran lowongan kerja kepada Miyu. “Coba lo pilih-pilih dulu.” Miyu menerimanya, mulai bergerak mengamati sekian selebaran yang dipilihkan oleh Aya dan Nana. Cukup banyak lowongan kerja yang sesuai dengan gelar sarjana Miyu. Rata-rata diarahkan untuk menjadi editor, jurnalis, dan leksikografer. Tidak jauh berbeda dengan pekerjaan Miyu sebelumnya di Haru Media. Dengan pengalaman kerja tiga tahun di Haru Media, Miyu tidak akan kesulitan untuk mengisi CV baru. Namun yang jadi masalah adalah riwayat tiga kali PHK yang Miyu miliki menjadi faktor utama kegagalan di tahap wawancara. Bagi seorang wanita berusia 25 tahun, mengalami tiga kali PHK benar-benar keterlaluan. Tidak peduli alasan dibaliknya, pandangan dunia kerja secara otomatis memberi label karyawan bermasalah pada diri Miyu. Miyu tidak ingin berharap terlalu banyak lagi pada dunia perkantoran. Tiga kali PHK di bidang perkantoran sudah cukup membuat Miyu muak. Maka, ia menghapus selebaran lowongan kerja perkantoran. Kemudian, fokus pada bidang kerja di luar perkantoran yang kebanyakan di bidang kuliner. Pekerjaan yang mudah bagi Miyu. Meski benci, mau tidak mau Miyu juga harus memikirkan kemungkinan terjadi kehamilan pada dirinya. Pekerjaan di bidang kuliner seperti pelayan restoran maupun kasir memiliki tingkat stress lebih rendah dibanding pekerja kantoran. Maka, Miyu berhenti mengecek seleberan lowongan kerja lainnya. Ia memilih satu lowongan kerja di sebuah café di Jakarta Pusat. Miyu menunjukkan lowongan kerja pilihannya kepada Aya dan Nana yang setia menunggu. “Gue daftar ini.” Aya mencondongkan tubuh ke depan agar bisa membaca lowongan kerja pilihan Miyu dengan lebih jelas. “Waiter atau waitress, Dapoer Roti Bakar?” Miyu hanya mengangguk seadanya. “Em…, lo nggak mau nyari kerjaan kantoran?” tanya Nana dibuat heran dengan pilihan Miyu. Nana tahu betapa sukanya Miyu terhadap dunia sastra. Melihat Miyu memilih lowongan kerja pelayan café membuat keningnya mengernyit dalam-dalam. “Sudah cukup gue kena sial kerja kantoran. Kayaknya gue ditakdirkan nggak cocok sama kantoran,” dengus Miyu lelah seraya meletakkan iPad Aya di meja. Punggungnya bersandar di sofa, matanya pun memejam. “Tapi ini di Jakarta Selatan,” celetuk Aya bernada ragu-ragu membuat Miyu membuka kelopak mata untuk menatapnya, “dari sini jaraknya jauh banget.” Nana mengangguk setuju. “Lewat Sudirman yang macetnya nggak perlu dijelasin lagi. Belum lagi ongkos transportnya.” “Gue bisa naik MRT. Turun di Setiabudi terus naik gojek,” jawab Miyu simpel, namun masih belum cukup untuk meyakinkan kedua sahabatnya. Aya geleng-geleng tidak setuju. “Miyu, setiap hari naik MRT nggak masalah. Tapi ditambah ongkos gojek, lama-lama tekor.” “Gue bisa naik transport umum lain. Nggak mungkin juga gue naik gojek tiap hari.” “Still nope. Terlalu jauh. Pilih yang di pusat aja,” tolak Nana tegas membuat Miyu menghela napas pendek. “Yang kalian pilihkan itu semuanya dari luar pusat, for your information,” tandas Miyu sedikit kesal, “padahal gue bukan anak kecil. I’m twenty freaking five years old.” Aya menipiskan bibir, mulai sama lelahnya. “But, pardon me, kita juga harus memikirkan kemungkinan yang bakal terjadi nanti. You know what I mean, right?” “Sekarang kalian berpikir gue bakal gampang dapetnya,” dengus Miyu kesal diikuti raut tidak terima membuat Aya dan Nana spontan was-was, “oh, right. Gue kan anak rumahan yang baru aja clubbing dan langsung jebol karena one night stand. Kepolosan gue yang mudah banget terjerumus, bisa jadi gue langsung isi. Maafkan ketololan gue yang nggak kepikiran hal semacam itu.” Spontan Aya melambaikan tangan tanda bukan. “Gue nggak bermaksud begitu, maksud gue—“ “Nggak perlu kata-kata kiasan yang cuma berguna buat nggak nyinggung perasaan gue,” tukas Miyu sedikit sinis, “gue sedang coba ikhlasin semua yang udah terjadi. Nggak perlu jagain perasaan gue.” “Oke, gue paham. Jangan marah,” desah Nana lega diikuti hembusan napas panjang. “Gimana kalau lo daftar ke Anomali aja?” celetuk Aya membuat Miyu dan Nana menoleh padanya. “Jaraknya deket terus langganan kita sejak lama. Gue kenal sama manajernya, mungkin lo bisa gabung.” Belum sempat Miyu memberi tanggapan, Nana menyerobot semangat empat lima. Sangat menyetujui. “Bener-bener deket. Lo tiap hari ngegojek pun nggak masalah. Bandingin sama ongkos MRT plus gojek ke Jaksel cukup buat biaya makan sebulan.” “Ya emang bagus, sih, kalau bisa gabung di Anomali. Tapi—“ “Oke, Aya hubungi manajer kenalan lo itu. Dapetin posisi pelayan atau kasir buat Miyu,” tandas Nana langsung memotong tanggapan Miyu. Miyu mengerjap pelan. “Tapi—“ “Kita bakal lebih tenang kalau lo kerja di Anomali dan gue yakin manajernya bakal terima lo tanpa perlu wawancara atau segala t***k bengeknya itu,” tukas Aya ikut memotong ucapan Miyu, kini sibuk pada layar ponselnya hendak menghubungi manajer café Anomali, “jarak kantor Nana ke Anomali cuma tiga kilometer, gampang buat Nana nganter jemput lo tiap hari dan kalau ada hal urgent lainnya.” Bila sudah begini, Miyu tidak punya pilihan lain selain menurut. Menjadi anak rumahan yang hidupnya lurus-lurus saja membuat Aya dan Nana sedikit over protektif kepadanya. Walaupun Miyu cukup berterimakasih, tapi ada kalanya dia sedikit kesal diperlakukan seperti anak kecil. Tapi, mau bagaimana lagi bila sudah menjadi kebiasaan, bukan? *** Hari ini, Nana menginap di rumah Miyu karena hujan turun sangat deras. Berbahaya bagi Nana untuk menyetir di malam hari dalam kondisi hujan. Sementara, Aya sudah pulang jauh sebelum hujan mengguyur karena memiliki tuntutan pekerjaan yang membuatnya tidak bisa berlama-lama di rumah Miyu. Miyu tidak masalah. Menjadi sutradara terkenal membuat Aya memiliki jam terbang yang cukup tinggi. Selagi hujan mengguyur di luar, Nana dan Miyu memfokuskan diri menonton salah satu serial drama Korea kesukaan Nana. Ditemani semangkuk pop corn dan coke, mereka tenggelam dalam jalannya alur drama tersebut. “Nggak ngerti lagi sama pinggangnya Seo Yeji, sumpah,” celetuk Nana berdecak kagum untuk kesekian kalinya tiap sosok Seo Yeji tampil. Miyu mengangguk setuju. “Dia makannya nasi, ‘kan?” Nana meringis kagum. “Nggak tahu, deh. Gue bayanginnya bingung sendiri. Bisa dibuat melahirkan, ‘kan?" “Lo tuh ya mikirnya sekarang hal-hal semacam itu,” decak Miyu sedikit terkejut, “kemarin bawa-bawa nikah, sekarang bawa-bawa anak. Ngebet lo?” Tuduhan Miyu membuat Nana melirik sinis tak terima. “Semua perempuan langsung mikirnya ke sana kali. Hal yang lumrah. Gue yakin lo sendiri juga bayangin Kim Soo Hyun jadi suami lo, ‘kan.” Miyu mendengus cemberut. “Hal yang wajar kali. Seenggaknya gue belum mikir sampe ke anak-anaknya.” “Tiap malam sebelum tidur lo pasti pernah ngehalu. Nggak usah ditutup-tutupin, deh.” “Dih,” Miyu melahap segenggam pop corn, “lo juga pasti pernah ngehalu kayak gitu. Gue ingetin lagi, nih, mama lo udah kasih kode buat cepet-cepet nikah. Tuh, si jaksa muda ajakin taaruf biar berkah.” Nana langsung menoleh, rautnya tidak terima seolah menolak namun semburat merah tipis di pipinya tidak bisa membohongi mata Miyu. “Kenapa sekarang jadi bahas begituan, sih?!” “Lo yang pertama.” Nana mendecak. “Lo sendiri gimana, huh? Umur dua puluh lima itu mateng-matengnya buat nikah, for your information.” “Nggak ada waktu buat mikirin cowok,” decak Miyu sebal, “belum selesai masalah gue soal biaya hidup. Nggak usah ditambahin masalah cowok.” Nana mengerjap, raut emosinya langsung berganti menjadi simpatik. “Miyu, pardon me for asking this, kalau misalnya beneran ngisi…, gimana?” Miyu tahu cepat atau lambat dia harus menjawab pertanyaan semacam itu. Kedua sahabatnya pasti menanyakannya karena murni dari perasaan khawatir. Mereka peduli pada Miyu. Sudah sepantasnya mereka bertanya. Terlebih sejak Miyu tidak punya siapa-siapa lagi di sisinya, Aya dan Nana berusaha mengisi posisi keluarga dalam hidup Miyu. Miyu benar-benar bersyukur memiliki sahabat sebaik Aya dan Nana. “Kalau dia hadir,” jeda, Miyu meletakkan tangan kanannya tepat di rahimnya, “gue sambut dengan suka cita.” TO BE CONTINUED [Jangan lupa tap ikon love untuk menambahkan Koishiteru ke library]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD