BAB 3

1600 Words
Hal simpel jadi jobless; tabungan menipis tanpa diminta. Hal menyebalkan setelah jobless sepuluh hari; dapat kerja tapi bukan passion. Kadang hidup memang sebercanda itu. Miyu menekan kuat-kuat kedua paha dengan satu tangan, berusaha terlihat menyimak Pak Rudi—atasan barunya—menjelaskan tata kerja dan tugas Miyu di café Anomali yang tiada satu pun masuk ke otak Miyu. Hatinya mengerang. Kesal bukan main, tetapi tidak punya pilihan selain mengikuti arus. Lagipula ini pilihan Miyu sendiri untuk menggeluti bidang yang memang bukan passion-nya. Syukur-syukur Pak Rudi yang juga kenalan Aya itu mau menerima Miyu tanpa melalui proses yang rumit. Tidak seharusnya sekarang Miyu merasa tidak terima hanya karena ketidakcocokan passion. Kalau terus menganggur, Miyu bakal sulit bertahan di Jakarta. Miyu juga harus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi ke depannya. Jika saja memang akan hadir makhluk kecil di rahimnya, Miyu harus segera mendapatkan kerja apa pun itu asalkan uangnya berkah. Setelah bicara panjang lebar, Pak Rudi berdiri dan menyalami Miyu. “Selamat bergabung di Anomali, Agatha.” Miyu tersenyum simpul, ikut berdiri dan menyalami Pak Rudi. Kemudian mengambil napas panjang tiga kali setelah Pak Rudi pamit undur diri meninggalkan café. Ira, salah satu pegawai muda yang bertugas di kasir, berlari menghampiri Miyu. Dia menyunggingkan senyum ramah dan menjulurkan tangannya untuk menyalami Miyu. “Halo. Selamat bergabung di Anomali, gue Ira, pelayan.” ujarnya ramah. Miyu membalas jabat tangan Ira, tersenyum. “Halo, Ira. Gue Agatha, kasir. Mohon bantuan dan kerja sama untuk ke depannya.” “Nggak perlu formal-formal, ah. Gue juga masih anak bawang di sini,” kekeh Ira seraya melambaikan tangan. Sedetik kemudian, Ira menunjuk seorang pria yang sedang merapikan gelas di dapur dalam membuat Miyu mengikuti arah telunjuk tersebut, “dia namanya Reno. Senior di sini. Baristanya Anomali.” Seolah mendapatkan sinyal, Reno menoleh menatap Ira dan Miyu. Spontan membuat Miyu sedikit terlonjak karena pergerakan tiba-tiba Reno. Padahal jarak mereka cukup jauh namun pria itu benar-benar menoleh setelah Ira memperkenalkannya. Buru-buru Miyu melempar senyuman ramah kepada Reno, memberi kesan bagus sebagai rekan kerja baru. “Serem banget langsung noleh,” bisik Miyu ngeri sendiri membuat Ira tertawa. “Gue juga kaget pas baru gabung di sini,” kekeh Ira dengan sisa-sisa tawa ringannya, “waktu itu Pak Edo ngenalin Reno ke gue dengan situasi sama kayak tadi. Langsung noleh kayak peka aja namanya disebutin.” Miyu mengerjap bingung. “Pak Edo?” “Chef dapur. Setahu gue Pak Edo hari ini shift malam jadi gue nggak bisa kenalin langsung. Pak Edo yang tertua di sini, senior dan baik banget. Biasanya pas café mau tutup, Pak Edo bikinin dessert gitu buat kita—“ mendadak kalimat Ira menggantung, mata perempuan itu melirik jauh di balik punggung Miyu, bahkan kepalanya bergerak lambat ke sisi kiri. “Ira? Kenapa?” Bibir Ira terbuka, tapi tidak mengeluarkan satu kata pun. Didorong rasa penasaran, Miyu berbalik dan berdiri sejajar dengan Ira. Ada dua pria bersneli melewati pintu kaca café. “Halo, Ira. Tumben nih sepi, kayak biasanya, ya,” seru satu dari dua pria tersebut yang memakai kacamata dengan gaya rambut acak-acakan dan berkulit putih layaknya artis Korea. Miyu melirik Ira yang masih mematung kaku tak bersuara. Bahkan saat posisi dua dokter itu tinggal selangkah dua langkah lagi, Ira masih mematung. “Ra…, Ira…,” desis Miyu dengan terpaksa memberanikan diri mencubit pinggang Ira tanpa mengalihkan fokus dari dokter yang sebentar lagi sampai di bagian kasir. Dan lagi-lagi Ira masih terpaku kaku di tempat ketika dua dokter itu sudah berhenti di bagian kasir. Antara malu dan tidak enak hati, Miyu tersenyum kaku menghampiri bagian kasir untuk segera melayani dua dokter muda tersebut. “Maaf, kayaknya temen saya ini kesambet setan gagu. Silahkan pesanannya.” Dokter yang tadi menyapa Ira—Anggara—tertawa kecil, sementara temannya—Devan—menaikkan satu alis seolah terganggu membuat Miyu jadi sedikit was-was. “Dokter Anggara, Dokter Devan, kayak biasa, ya?” Suara bariton di belakang membuat Miyu menoleh. Rekan kerja yang mendapatkan kesan seram di mata Miyu—Reno—sudah berdiri di depan mesin dan toples-toples biji kopi. Tidak sengaja Miyu menangkap tatapan kesal Reno terlempar ke punggung Ira. “Iya, No,” sahut Anggara si mata empat, lalu berjalan menuju meja barista. Sementara Devan, pria yang sepertinya berada di awal usia 30 dengan kulit sedikit lebih cokelat daripada Anggara, bertubuh atletis, dan tulang rahang tajam, mendekati Miyu dan membungkuk tepat di depannya. “Ira nggak kesambet, dia emang nggak bisa bicara,” ujar Devan membuat Miyu spontan mengernyit bingung, “kamu anak baru, ya? Baik-baik sama Ira, jangan gitu lagi. Kalau dia nggak jawab saat kamu ajak bicara, kasih note aja suruh jawab lewat tulisan. Iya, ‘kan, Ira?” Miyu mengerjap kaget saat Ira sungguh mengangguk mengiyakan ucapan si dokter.  Tidak bisa bicara dari mananya? Tiga menit yang lalu jelas-jelas Ira berceloteh memperkenalkan Pak Edo si chef Anomali yang baik hati dan menceritakan betapa seramnya Reno. Ira yang bekerja di Anomali ada berapa memangnya? Jangan-jangan tadi Miyu sedang bicara sama Ira yang lain? Devan bergabung dengan Anggara. Miyu sempat melirik Reno yang memberi isyarat; gue nggak tahu, tanya saja ke temen lo yang kesambet setan gagu itu. Ira memasang wajah memelas dan Miyu menggeleng sambil memutar bola mata malas. Belum dua puluh empat jam Miyu bekerja di Anomali, dia sudah menemukan karakter-karakter ketidaknormalan pada rekan-rekan kerjanya. “Dokter Devan mau teh panas biasa atau latte?” teriakan Reno membuyarkan segala lamunan keluhan Miyu. Miyu menggeleng pelan. Tampaknya efek mendapat pekerjaan yang tidak sesuai passion memang seburuk cerita orang-orang. *** Miyu mengamati Ira dengan serius, sementara yang diamati pura-pura sibuk melakukan hal-hal yang dia yakin tidak dipahami pula oleh Ira. “Kata Pak Rudi, tugas gue itu kasir sama pembukuan keluar-masuk. Kenapa sekarang lo yang jadi sibuk banget sama catatan keluar-masuk?” celetuk Miyu membuat Ira melirik tanpa berhenti memainkan jemarinya di atas kalkulator. Sedetik kemudian, Miyu tepuk jidat sendiri. “Oh iya, lo kan spesial! Sori, sori, lupa mulu gue. Jawabannya silahkan ditulis di note depan lo.” Terdengar Reno terbatuk di ujung area barista. Lelaki berumur 28 itu jelas mendengar sindiran demi sindiran Miyu untuk Ira meski memunggungi mereka. Menyimak tiap sindiran yang dilemparkan kepada Ira sejak dua atau tiga jam lalu, sejak dua dokter muda itu pergi. Sesekali Miyu menangkap basah Reno melirik dan tersenyum puas melihat Ira panik menanggapi sindiran Miyu. “Ih! Jangan ngata-ngatain gue terus, dong!” seru Ira memprotes dengan bibir sedikit manyun. Tangannya terangkat sambil berteriak, “Reno nggak usah ikut-ikutan, deh!” Miyu bersandar di tepian meja panjang barista, bersedekap berdiri menengahi Ira dan Reno. Sedangkan Reno langsung berbalik, menatap Ira sambil mengangkat kedua tangan selayaknya penjahat yang menyerah kala tertangkap polisi. “Nggak, Ra. Semua yang mau gue omongin udah dibabat habis sama Agatha,” sahut Reno kalem, sedikit membuat Miyu terkejut tidak menyangka. Miyu berjuang menahan senyum ketika mendapati Reno tersenyum usil. Sedetik kemudian, Reno bersiul riang selagi menyingkir undur diri berpindah ke office. “Reno!” amuk Ira. “Jangan khawatir, Ira. Gue bakal terus bahas itu sampai lo mau bersuara di depan si dokter. Em…, siapa namanya, deh? Reno, namanya siapa?!” seru Miyu. “Anggara!” Miyu mengangguk mantap, menyeringai puas menatap wajah Ira semakin mengeruh kesal. “Yap, Anggara.” Ira menghela napas kasar, menarik kursi bar kayu dan duduk sambil bertopang dagu. “Gue nggak niat bohong, Tha. Sumpah. Iya, gue diam di awal pertemuan gue sama dokter-dokter itu empat bulan lalu. Tapi, itu karena gue…” Ira mengambil jeda membuat Miyu menarik kursi lainnya untuk duduk di sebelah Ira. Tidak sengaja mata hijau Miyu menangkap rona menghiasi pipi bulat Ira. Tanpa perlu Ira jelaskan lagi Miyu sudah benar-benar paham maksud dari sikap abnormalnya beberapa jam lalu. Meski Miyu tidak punya banyak teman bicara sejak dulu, urusan begini sih Miyu langsung paham sebagai sesama perempuan. “Gue juga nggak tahu kenapa, Tha. Waktu pertama kali gue tatap muka sama dokter-dokter itu, lebih tepatnya Dokter Anggara, gue panik banget. Tiap dia tanya, gue gagu,” lanjut Ira, “besok, besoknya lagi, gue nggak pernah berhasil bersuara sama sekali.” “Tapi, lo nggak bisa selamanya diam saat temennya Dokter Anggara mengklaim lo bisu beneran. Nih, seandainya suatu hari nanti Dokter Anggara nggak sengaja lihat lo ngomong, gimana?” Ira manyun. “Menurut gue, Dokter Devan itu lagi sarkastis ke gue. Beda dari Dokter Anggara, Dokter Devan itu lebih pendiam dan banyak memperhatikan. Tipikal cowok-cowok cool gitu, deh. Gue yakin dia sebenernya sarkas makanya gue diemin aja.” “Ya, tapi tetep aja—“ Tiba-tiba saja Ira berdiri, kemudian sibuk memberi isyarat berdiri kepada Miyu. Meski bingung, Miyu menurut. Mata hijaunya langsung mendapati pintu café terayun, memersilahkan sosok pria tinggi melewatinya dan melangkah begitu saja ke bagian kasir. Bukan pria bersneli, kini tipikal pria berjas licin dengan tidak terkancing memperlihatkan kemeja putih slim fit dan dasi merah bergaris hitam di baliknya. Kaki jenjangnya terbalut celana hitam licin yang satu setelan dengan jas dan Heiden Heritage mahal menghiasi kakinya sebagai penampilan final luar biasa tampannya. Ira tersenyum kaku di samping Miyu. “Selamat sore, silahkan pesanannya.” Miyu diam. Benar-benar diam. Napasnya saja terasa putus-putus. “Hmmm,” pria itu menggumam terdengar tidak minat menyahut Ira. Tiba-tiba saja mata cokelat amber pria itu berpindah fokus ke mata hijau Miyu, menguncinya. “I want to order.” Ira dan Miyu sedikit tersentak menyadari pria berpenampilan luar biasa tampan di hadapan mereka adalah warga asing. Miyu yang tadi damai-damai saja berdiri di pojok meja barista tiba-tiba ditarik oleh Ira untuk berdiri di depan meja kasir. Membuat gadis berambut pirang itu bertatapan satu arah dengan pria warga asing secara lebih dekat. Sementara Ira menjauh, memberi isyarat kepada Miyu untuk melayaninya karena ia tidak pandai berbahasa Inggris. “Can I order now?” tanya pria berambut cokelat itu memastikan, memaksa Miyu untuk bereaksi memberi tanggapan sesuai profesinya sebagai kasir café. Miyu mengerjap cepat seraya mengiyakan dan menyodorkan lembaran menu dan terkejut sendiri merasakan tangannya menabrak buku-buku tangan pria itu. Kemudian hal aneh itu terjadi, jantungnya berhenti sepersekian detik. Ketika matanya bertubruk pandang dengan mata cokelat amber itu lagi, gelombang panas mengaliri tubuh Miyu. Sekali lagi membuatnya terpaku bagaikan habis kesambet setan gagu. Ternyata karma datangnya sebercanda itu. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD