“Demikian hasil laporan saya terkait kinerja cabang SAIO dan SEIO. Silahkan untuk memberikan masukan mau pun pertanyaan.”
Hari masih pagi. Jarum pendek belum meninggalkan angka sepuluh. Jam yang tepat untuk mengadakan rapat ringan sebelum dihempas oleh rapat-rapat berikutnya yang lebih menguras otak. Oleh sebab ini termasuk rapat ringan yang tidak terlalu berbobot, seharusnya semua pegawai dapat mengikutinya dengan santai, bukan?
Lantas, bagaimana bisa Direktur Utama terjebak angan-angannya sendiri di hadapan sekian karyawannya?
Kurosu Santa, sekretaris pribadi sang Direktur Utama, berdehem keras guna memecah keheningan sekaligus menyadarkan atasannya yang tidak kunjung kembali ke kesadarannya. Terpaksalah ia kembali berdehem di sebelah telinga sang Direktur Utama. Darisitu barulah beliau tersadar.
Direktur Utama muda itu menoleh ke Santa dengan lirikan sedikit sinis, meminta penjelasan. Dengan tenang Santa mengarahkan matanya ke meja rapat. Mengirimkan sinyal bahwa Direktur Pengembangan sudah selesai menyampaikan laporan. Mata sang Dirut jadi menurut pada gerakan sinyal mata sekretarisnya. Detik itu juga ia menyadari kebodohannya.
Buru-buru Direktur Utama membenarkan posisi tubuh serta memerbaiki raut wajahnya. Menebalkan muka atas kesalahannya melamun di tengah rapat. “Terima kasih atas laporannya, Pak Dali. Melihat pencapaian memuaskan ini, saya sangat berterimakasih atas kinerja divisi anda.”
Pak Dali tersenyum lebar. “Anda terlalu memuji, Tuan Saionji. Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab saya sebagai Direktur Pengembangan untuk melebarkan sayap Saionji Phantom.”
Suasana meja rapat yang sebelumnya sedikit tegang karena Dirut terpergok melamun, kini meluruh menjadi lebih santai seperti sedia kala. Dalam meja itu, mereka tahu ini bukanlah pertama kalinya mereka memergoki sang Dirut muda itu terjebak angan. Ditambah hari ini, maka sudah terjadi enam kali dalam empat hari belakangan.
Bukan sikap profesional, tentu saja. Tidak peduli jabatan, tidak peduli seberapa berbobotnya rapat, melamun atau mengabaikan sama saja berani mempertaruhkan kelancaran perusahaan. Semua orang dalam perusahaan Saionji Phantom tahu itu, terutama sang Dirut. Sayangnya, siapa yang berani menegur Direktur Utama? Alhasil beginilah akhirnya, mulai menjadi hal yang biasa bila melihat Dirut muda itu terpergok melamun.
“SAIO dan SEIO sudah resmi menancapkan benderanya di Indonesia selama lima tahun. Saya sangat terkesan melihat laporan pencapaian dua brand itu sangat bagus dan responsif di konsumen Indonesia. Melihat laporan Pak Dali hari ini, tampaknya sudah saatnya bagi kita untuk membawa Seiko Sai ke Indonesia,” ujar Saionji Kanata, sang Direktur Utama Saionji Phantom Co. Group.
Pernyataan Kanata disambut tarikan napas tegang CEO dan para Direktur.
Pak Indra selaku Direktur Administrasi & Keuangan menjadi orang pertama yang memberi tanggapan. “Tidakkah terlalu cepat untuk membawa Seiko Sai ke Indonesia, Tuan Saionji?”
Alis Kanata naik sebelah seraya tubuhnya mundur, hendak menyandarkan punggungnya. “Apa landasannya?”
“Pasar konsumen Indonesia terhadap produk kecantikan luar negeri memang sangat tinggi, tidak perlu diragukan lagi. Namun, kita tidak bisa terlalu memercayainya karena konsumen Indonesia masih sangat menggemari produk kecantikan dari Korea Selatan,” jawab Pak Indra, “saya tidak meragukan kualitas Seiko Sai, hanya saja bagi saya masih sedikit terlalu cepat untuk membawanya ke pasar Indonesia. Terlebih sejak produk Innisfree dan Nature Republic semakin menancapkan pengaruhnya.”
“Untuk tiga tahun belakangan, penjualan Seiko Sai di Indonesia mulai meroket, Pak Indra. Gap-nya sangat stabil dan terus meningkat walau tidak tampak signifikan, jelas termasuk kondisi yang sangat baik,” tanggap Revindo, CEO cabang perusahaan Saionji Phantom di Indonesia, “datanya tercatat di jurnal Pak Dali. Penjualan online Seiko Sai perlu diperhitungkan timbal baiknya.”
Kanata tersenyum miring. “Benar. Penjualan online Seiko Sai sangat perlu dipertimbangkan. Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam daftar konsumen online tertinggi di website resmi.”
Walaupun argumen yang dilontarkan sudah sangat meyakinkan, raut ragu-ragu di wajah Pak Indra tidak sirna. Hal yang wajar terjadi pada diri Direktur Keuangan. Selalu memikirkan segalanya secara mendetail dan dalam jangka panjang ke depan.
“Sejujurnya menurut saya, sudah tiba waktunya untuk membawa Seiko Sai secara resmi di Indonesia. Data penjualan online Seiko Sai benar-benar bukan main,” tandas Pak Dali menambah argumen pendukung pembukaan cabang brand kecantikan yang dimiliki oleh Saionji Phantom tersebut.
“Saionji Phantom sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Brand kuliner seperti Sowsoo dan Kumirawa Resto pun dengan cepat berkembang di Indonesia. Kita tidak perlu mengkhawatirkan Seiko Sai yang sudah memiliki track record sebagus itu dalam penjualan online worldwide,” Kanata sedikit mengembuskan napas, “bila anda masih meragukannya, kita bisa mulai dengan membuka pop-up store.”
Penawaran Kanata disambut gayung oleh Pak Indra. “Benar. Kita harus memulainya dengan pop-up store terlebih dahulu. Secara pribadi saya ingin mendapatkan gambaran yang jelas atas daya beli konsumen Indonesia. Mohon pengertiannya, Tuan Saionji, saya sangat memikirkan hal-hal berjangka panjang.”
Kanata manggut-manggut pelan. “Tentu, tidak masalah, Pak Indra. Seperti biasa pembukaan pop-up store Seiko Sai menjadi tanggung jawab Pak Dali, Pak Indra, dan Pak Seno. Saya nantikan rapat perencanaannya empat hari lagi. Demikian rapat pagi ini, terima kasih.”
Rapat pertama pada hari ini selesai tepat pukul sepuluh pagi. Masih ada waktu dua jam sebelum tiba jam istirahat makan siang. Jam yang selalu Kanata nantikan karena dia cenderung mudah lapar. Selain mudah lapar, Kanata sedikit menantikan pertemuannya dengan gadis pirang Anomali. Sudah empat hari Kanata tidak berjumpa dengannya. Kanata asumsikan gadis itu meminta izin tidak bekerja karena beberapa hal.
Beberapa hal yang awalnya tidak begitu mengganggu Kanata, akan tetapi lama-kelamaan mulai mengganjal perasaannya. Sebab gadis pirang itu tidak masuk bekerja lebih lama dari perkiraan Kanata. Hal itu menyebabkan beragam spekulasi mulai menghantui angan Kanata. Mengantarkan perasaan khawatir hinggap dalam diri Kanata.
Jika saja Kanata bukan Direktur Utama perusahaan besar, dia tidak akan mudah mengendalikan rasa khawatir itu. Keseharian super sibuknya dengan mudah berhasil mengalihkan perhatiannya. Namun, tentu, tidak sepenuhnya menghilangkan perasaan itu hingga sesekali Kanata terjebak angan memikirkan gadis itu.
Entahlah, padahal Kanata tidak memiliki hubungan apa-apa dengan gadis pirang café Anomali bernama Agatha itu.
“Hari ini kau akan makan siang di luar lagi, huh?” celetuk Santa berbahasa Jepang sesaat setelah Kanata menduduki kursi kerja di ruangannya. “Sekarang aku mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya kau makan tiap jam makan siang sampai-sampai rela keluar dari kantor.”
Kanata mendengus kecil, mulai berkutat pada layar PC. “Apa perlunya sampai kau menanyakan itu?”
“Kau selalu kembali dalam waktu cukup lama. Lebih spesifiknya, melewati jam makan siang,” tandas Santa dengan nada sedikit ditekankan, “apa yang akan dipikirkan para karyawan bila melihat Direktur Utama mereka gemar tidak mentaati aturan waktu, huh?”
“Kau berlebihan. Mana ada karyawan biasa berada di jalur basement VVIP,” sahut Kanata datar terkesan tidak peduli, membuat Santa mendelik. “Secara teknis, selama aku dinas di sini, mereka tidak akan pernah melihatku. Mereka hanya tahu aku ada di sini tanpa menjadi saksi mata.”
Santa mendengus kasar. “Itu mungkin benar. Tapi, tetap saja kau tidak bisa seenaknya melanggar aturan waktumu, Tuan Saionji yang Terhormat. Setidaknya para Direktur dan CEO mudah mengetahui keberadaanmu. Mereka juga karyawanmu, jika kau lupa.”
Kanata menoleh dengan raut sedikit kesal. “Berhenti mengoceh, Santa. Bukankah kau punya pekerjaan lebih banyak hari ini?”
Santa tidak membalas. Pria berambut hitam itu bersedekap, matanya terpancang pada Kanata yang langsung kembali fokus ke layar PC setelah melontarkan usiran. Menurut pandangan Santa, tidak ada yang aneh pada diri Kanata. Sahabatnya sejak SD itu masih seorang Kanata yang irit bicara dan pekerja keras yang lebih gemar pada pekerjaan dibandingkan kehidupan asmara.
Tunggu.
Asmara?
Oh, jadi seperti itu, Saionji Kanata yang gemar menolak perempuan sejak SMP, batin Santa dengan kepercayaan diri tinggi pada spekulasi sepelenya.
Santa berdehem, memulai perdebatan. “Aku paham, akhirnya tiba juga waktu bagimu untuk mulai mempertimbangkannya.”
Celetukan Santa memicu kernyitan tercipta pada kening Kanata. “Huh?”
“Kau tidak perlu mengelak. Aku sepenuhnya paham, tapi hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk dicampurkan ke dalam urusan pekerjaan. Pisahkan urusan pekerjaan dan kehidupan pribadi, kau tahu itu, bukan?”
Raut wajah Kanata semakin menunjukkan kebingungan. “Apa maksudmu, bodoh?”
Menjalin persahabatan sejak masih menjadi bocah ingusan tidak membuat Kanata dapat benar-benar mengenal karakter dan jalan pikiran Santa. Bila diibaratkan Kanata dan Santa bagaikan bulan dan matahari, berbeda dari segala sisi. Jadi, melihat tingkah random Santa tiba-tiba muncul bukanlah hal aneh lagi bagi Kanata. Tapi, Kanata tidak pernah bilang dia bisa menolerir tingkah random Santa.
“Dengar, bung, aku turut senang melihatmu mulai memiliki niat untuk mempertimbangkan hal itu. Tapi bersikaplah profesional, kau ini Direktur Utama,” ujar Santa berwajah sangat serius membuat Kanata semakin tidak bisa memikirkan apa yang dimaksud olehnya.
“Kita sedang membicarakan jam makan siang, bukan?” sahut Kanata bingung sendiri.
Santa mendaratkan kedua lengannya di meja kerja Kanata, bersandar menopang tubuhnya. Dalam jarak yang sedikit terkikis itu, tatapan mata Santa semakin menegas pada mata amber Kanata. “Ya, jam makan siang. Kau harus mengendalikan dirimu sendiri dan berhenti menyalahgunakan jabatan dengan seenaknya sendiri menambah jam makan siang.”
“Mengendalikan diri? Apa, huh?”
Dasar kau bahkan tidak mau mengakui dan berusaha menyembunyikannya, umpat Santa dalam hati.
“Kau suka memperpanjang jam makan siangmu sendiri karena kau bertemu wanita di luar sana, bukan?!” tuduh Santa menggelegar dengan nada penuh kedramatisan membuat Kanata melongo kaget, benar-benar tidak menyangka itulah yang dimaksud oleh Santa. “Kau harus lebih mementingkan harga dirimu sebagai Direktur Utama, Kanata! Memiliki jabatan tertinggi bukan berarti kau bisa bebas bertingkah, kau paham itu, bukan?!”
“Wanita siapa, huh?! Aku tidak bertemu siapa pun selain makan siang!” bantah Kanata memprotes, mulai dirundung emosi karena tuduhan random Santa.
Santa mendelik. “Makan siang macam apa yang memakan waktu satu setengah jam?! Memangnya kau makan di luar kota?!”
Kanata mendengus pelan. Tiba-tiba nadanya sedikit memelan. “Ya, aku makan di luar kota.”
Pernyataan Kanata membuat Santa melotot syok. “Kau gila?!”
“Tidak.”
“Kau makan siang di mana, huh?”
Ah, wajah gadis pirang kembali terpampang dalam benak Kanata hanya dengan mengingat tempat kerja gadis itu, café Anomali. Pikirannya yang berhasil dialihkan selama enam jam berakhir sia-sia. Gadis itu selalu berhasil memporak-porandakan benaknya hanya dengan tiba-tiba memunculkan diri di ingatan Kanata.
“Café Anomali,” jawab Kanata dengan hembusan napas panjang setelah sekian detik diam.
Santa mengernyit heran. “Kau bercanda? Café Anomali ada di dekat sini.”
Kanata kembali mengembuskan napas panjang. “Cabangnya yang ada di Jakarta Pusat. Aku pergi ke sana.”
Santa kembali melotot. “Kau gila?! Kenapa kau pergi ke sana ketika ada gerai café Anomali berjarak sembilan ratus meter yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dari kantor!”
Kanata pun mempertanyakannya. Kenapa pada akhirnya Kanata memilih café Anomali di Menteng, padahal ada café Anomali di Sudirman yang sangat dekat dengan kantor. Padahal saat itu Kanata hanya iseng ingin menghabiskan jam makan siang dengan berkeliling Jakarta. Entah kenapa dia berhenti di café Anomali daerah Menteng, lagi-lagi memesan makan siang. Anehnya, esok-esok harinya Kanata kembali datang, bahkan memutuskan berlangganan setiap hari.
“Entahlah, mungkin.”
Bahkan Kanata pun tak tahu apakah dia gila atau tidak.
TO BE CONTINUED