“Nggak, kalian gila.”
“Itu masih dugaan doang. Gue bilang ‘mungkin’, astaga.”
Miyu menggeleng cepat sebelum menyangga pelipisnya, mulai merasa terserang sakit kepala lagi. “Gue cuma masuk angin, oke? Masuk angin biasa.”
“Well, kita harap begitu,” desah Aya menghela napas panjang. Ikut menyangga pelipis dengan wajah lelah bercampur cemas, “kalau saja lo jawab dengan jelas bahwa waktu itu kalian have s*x use condom.”
Miyu berdecak kasar, menoleh kepada Aya dengan wajah mengeruh emosi. “Gue harus bilang berapa kali bahwa gue nggak hamil.”
“Kita berharap begitu,” sahut Nana dengan anggukan takzim membuat bola mata Miyu memutar jengah disertai decakan kasar.
Seharusnya kemungkinan terburuk ini sudah diantisipasi akan terjadi oleh Miyu sejak awal. Miyu tahu itu. Miyu juga sangat tahu betapa besar kemungkinan dirinya mengandung karena saat itu tidak ada bekas bungkus k****m di kamar hotel club. Tiadanya ingatan apa-apa tentang malam one night stand itu membuat Miyu tidak bisa berbuat banyak. Mau bagaimana lagi, bukan? Segalanya sudah terjadi.
Hanya saja Miyu tidak menyangka kemungkinan terburuk itu akan terjadi. Dia memang mengantisipasinya, tapi bertaruh pada kemungkinan berpeluang kecil bahwa dia tidak akan hamil. Ini terlalu cepat. Sangat-sangat cepat. Miyu sama sekali tidak siap.
“Lo harus check up ke dokter,” perintah Aya sesaat setelah berhasil mencoba menenangkan diri membuat dirinya kembali ditoleh oleh Miyu, “check up ke dokter lebih baik, hasilnya jelas.”
Miyu mengembuskan napas pelan. “Aya—“
“Aya bener, lo harus check up,” sahut Nana setuju, memotong suara Miyu, dan membuat Miyu kembali menghela napas panjang, “bukannya gue nggak percaya sama lo, gue mengantisipasi kemungkinan terburuk aja. Seenggaknya gue udah siap kalau memang terjadi. Dan tentu saja lo juga, Miyu, jangan coba lari.”
Miyu menoleh ke Nana. “Gue nggak lari. Gue—“
“Miyu, berpikir positif dan lari dari kenyataan itu beda tipis,” tukas Aya tegas membuat Miyu tersentak kecil karena perubahan nada yang kentara.
Nana mengangguk setuju. “Lagian dari awal ini salah gue sama Aya yang waktu itu nggak bisa jagain lo. Dari sejak lo cerita lo kejebak one night stand, gue sama Aya sudah sangat siap ngadepin kemungkinan terburuk yang bakal terjadi.”
Kening Miyu otomatis mengerut tidak suka. “Kenapa jadi salah kalian? Kalian nggak perlu ngerasa bersalah apalagi bertanggungjawab. Emang gue yang udah tahu belum bisa kontrol diri tapi sok mabok-mabokan.”
“Tapi gue yang kasih statement di awal sebelum masuk ke club bahwa gue bakal jagain lo, ‘kan,” Nana menghela napas lelah, menyandarkan punggung di sofa seraya mulai memejamkan kelopak mata, “besok gue temenin check up, minta cuti sementara ke bos lo.”
“Terus kerjaan lo gimana?” tanya Miyu dengan nada sedikit naik, pertanda emosi mulai merundungnya.
“Gampanglah tinggal minta cuti, beres,” jawab Nana santai.
Miyu mendecak kasar. “Yang gue maksud adalah lo nggak perlu bantuin gue karena gue nggak hamil!”
Nada tinggi Miyu membuat Aya dan Nana serempak membulatkan mata tak percaya. Keduanya menoleh dengan wajah syok. Raut marah di wajah Miyu membuat mereka spontan was-was.
“Miyu, denger—“
“Kalian yang harusnya dengerin gue!” bentak Miyu langsung memotong suara Nana. “Kalian yang dengerin gue!”
Tidak ingin membuat situasi semakin runyam, Aya mengangguk setuju. “Oke, we got it. Kita dengerin. Go ahead.”
Persetujuan Aya mendapat penolakan dari Nana. Kepala Nana langsung menoleh pada Aya dengan raut tidak setuju, akan tetapi Aya langsung mencubit pinggang Nana dari belakang. Menyuruh Nana untuk diam dan menuruti Miyu. Sementara, Miyu yang telah dikuasai oleh amarah pun menarik napas dalam-dalam sebelum melontarkan banyak hal.
“Pertama, gue nggak hamil,” klaim Miyu dengan sejuta penekanan nada pertanda tidak mau menerima bantahan apa-apa, “kedua, gue nggak akan check up ke dokter karena gue nggak kenapa-napa. Terakhir, gue harap kalian nggak ungkit-ungkit ini lagi.”
“Oke, gue paham maksud lo,” tanggap Aya disambut pelototan protes Nana dan hela napas lega Miyu. Miyu pikir Aya akan mengikuti permintaannya, tapi tidak, “but sorry, I’m not gonna take that.”
Penolakan Aya disambut lega oleh Nana. “Me too. Kita nggak bisa biarin itu gitu aja.”
Miyu spontan bangkit berdiri membuat Aya dan Nana kembali kaget. “Kalian tuh kenapa selalu—“
“Miyu, tenang dulu, oke? Ayo balik duduk,” balas Aya seraya ikut berdiri dan memberi arahan kepada Miyu agar mau kembali duduk.
Tubuh Miyu jatuh ke sofa, sama sekali tidak santai. Wanita itu menunduk dengan kedua tangan menyangga dua sisi pelipisnya. Menyembunyikan wajah frustasi dari kedua sahabatnya. Tak dapat Miyu pungkiri betapa malunya ia sekarang. Miyu menyangkal dan mengklaim tidak terjadi apa-apa pada dirinya dengan lantangnya, padahal jauh dalam dirinya ia sudah hancur tak bersisa bercampur malu.
Miyu sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk ini, tapi dia tidak siap sama sekali.
Nana menjadi orang pertama yang menyadari air mata menetes dari mata Miyu. Sebagai sahabat selama sekian tahun, Nana sudah memahami karakter Miyu luar-dalam. Melihat Miyu tadinya sangat tegar dan sepersekian detik berikutnya tiba-tiba meneteskan air mata bukanlah hal aneh lagi.
“Hei, it’s okay,” ujar Nana dengan nada selembut mungkin, “everything’s gonna be okay.”
Aya mengangguk. “Ayo dong jangan nangis.”
Miyu menarik napas dalam-dalam menimbulkan suara hidung tersumbat khas orang menangis. “Gue belum siap.”
Nana tersenyum simpul, menyembunyikan perasaan perih yang tiba-tiba melukai satu sisi dalam dirinya. Tidak tahan melihat sahabatnya tertimpa musibah sebesar itu, terlebih semua ini terjadi karena kecerobohannya. Nana merasa menjadi pihak paling bertanggungjawab atas masalah Miyu. Jadi, sudah seharusnya Nana melakukan segalanya untuk menebus kesalahannya.
Nana berpindah duduk, kini duduk di sebelah Miyu. Lengannya merangkul pundak wanita berambut pirang itu, menariknya ke dalam pelukannya. “Gue minta maaf. Kalau saja gue nggak lalai jagain lo.”
Mengikuti insting, Aya ikut berpindah duduk. Produser terkenal itu duduk di sebelah kiri Miyu. Lengannya memeluk Miyu menjadikan Miyu sebagai center. “Gue minta maaf, sangat-sangat minta maaf.”
Cepat atau lambat Miyu harus menerima apa adanya. Mau bagaimana lagi, bukan? Segalanya sudah terjadi. Sudah bukan usianya lagi untuk merengek dan mengeluh kala menghadapi sebuah masalah.
“Kalian… nggak salah,” cicit Miyu pelan sebelum mengusap wajahnya, “emang gue aja yang t***l. Sok-sokan clubbing, ngerepotin kalian. Gue nggak bakal bikin pembelaan apa-apa. Ini murni salah gue.”
Nana mengembuskan napas pelan. “Just keep move on, okay. Besok gue bikin appointment sama obgyn kenalan gue. In case lo butuh obgyn profesional yang nggak bakal mandang background.”
Miyu mengangguk pelan. “Yeah, thanks a lot.”
“Miyu, lo sudah di fase bisa nyeritain cowok one night stand itu, nggak?” celetuk Aya bertanya saat menyudahi pelukannya pada Miyu. Sukses kembali memancing pelototan Nana ke arahnya.
“Apa-apaan sih lo?” sembur Nana emosi. “Udah bagus Miyu mulai terima keadaannya sekarang, ngapain bawa-bawa cowok b******k itu?”
Aya menipiskan bibir, takut-takut. “Mungkin kita bisa coba buat minta dia bertanggungjawab. Kita memang nggak tahu karakternya gimana, but, why not, right?”
Miyu menghela napas berat, melambaikan tangan tak bertenaga. “Lupakan aja dia. Gue nggak mau inget-inget semua yang terjadi di malam laknat itu. Gue bisa jaga diri gue sendiri, of course with the baby too. Gue nggak butuh pertanggungjawaban apa-apa dari siapa pun, okay.”
***
Sesuai ucapannya, Saionji datang setiap hari ke café Anomali. Pria keturunan Jepang itu selalu datang saat jam makan siang. Telat-telatnya pasti pukul empat sore. Seolah mengunjungi café menjadi hal wajib yang terdaftar dalam jadwal kesehariannya, Saionji tidak pernah mengingkari ucapannya pada Miyu.
Kini, Saionji kembali datang tepat pada jam makan siang. Masih dengan setelan jas dan celana licin serta visual luar biasa tampan, Saionji memasuki café. Dalam kepalanya Saionji sudah menebak akan kembali berhadapan dengan petugas kasir perempuan berpenampilan bak bule. Satu-satunya karyawan Anomali yang Saionji sukai karena kelancaran berbahasa dan pelayanannya yang maksimal.
Akan tetapi, untuk hari ini Saionji tidak menemukan figur Miyu di balik meja kasir, melainkan menemukan rekan kerja Miyu, Ira. Tentu saja ini cukup mengejutkan. Saionji belum pernah memperkirakan sewaktu-waktu Miyu tidak hadir bekerja. Dirinya terlalu fokus pada pelayan Anomali yang hebat dalam menerima pengunjung warga negara asing.
Nah, ketidakhadiran Miyu tidak berpengaruh apa-apa bagi Saionji. Dia hanya sedikit terkejut.
“Go—good afternoon and welcome to Anomali café, Mr. Saionji—“
Saionji melambaikan tangan pelan, menginterupsi. “Kau tidak perlu berbahasa Inggris. Saya akan mencoba berbahasa Indonesia.”
Penuturan Saionji disambut gayung oleh Ira. Rekan kerja Miyu itu segera menyunggingkan senyum lebar pertanda rasa terima kasihnya. “Baiklah, sesuai permintaan anda. Silahkan menyebutkan pesanan anda, Tuan Saionji.”
“Carbonara, french fries, dan large lemon tea.”
Ira mengangguk, lantas beralih tatap ke mesin kasir. “Baiklah, mohon tunggu sebentar untuk struk pemesanannya.”
Ah, membosankan… dan Saionji tidak tahu-menahu kenapa dirinya tiba-tiba merasa bosan. Padahal tidak ada yang salah dalam diri Ira maupun suasana café pada siang hari ini. Segalanya berjalan normal seperti biasa, lebih tepatnya selama Saionji datang setiap hari.
Satu-satunya yang tidak normal adalah kehadiran perempuan petugas kasir yang berhasil membuat Saionji nyaman karena pelayanan maksimalnya. Di seluruh Jakarta Pusat, tidak ada yang menandingi kinerja perempuan pirang tersebut. Tapi, Saionji juga sadar bahwa dirinya dan si pirang tidak memiliki hubungan apa-apa. Yang gadis itu lakukan setiap Saionji datang hanya mendata pesanan dan sedikit berbincang riang selama menunggu struk pemesanan selesai dicetak.
Benar-benar tidak ada yang spesial.
Tapi, kenapa sekarang rasanya berbeda? Apa yang salah?
TO BE CONTINUED[Selama Bulan September, Koishiteru daily update, ya]