“Oke, jadi gimana kerja lo di Anomali? Everything’s alright?” tanya Aya menjadi pembuka obrolan pada malam hari ini di rumah Miyu.
Bola mata hijau Miyu berputar jengah. Tercubit rasa muak dalam hati karena lagi-lagi Aya melontarkan pertanyaan itu selama satu minggu sejak Miyu resmi bekerja di café Anomali. Dalam sambungan telepon, chatting pribadi, chatting group Whatsapps, dan obrolan tatap muka, pertanyaan itu tetap saja keluar dari mulut Aya.
“Aya, please, pertanyaan itu udah lo tanyain satu minggu penuh,” keluh Nana dengan helaan napas panjang, duduk di samping Miyu yang juga mengembuskan napas panjang.
Tentu saja Aya dengan kepribadian melakonlisnya tidak akan berhenti begitu saja hanya karena mendapat keluhan kecil dari Nana. “Ya, terus? Gue hanya mau memastikan Miyu nyaman kerja di sana. Nggak ada drama sikut-sikutan, musuh dalam selimut, jadi korbannya pegawai cari muka—“
“Nggak ada begituan di Anomali. Mau sampe kapan Miyu harus jawabin pertanyaan itu lagi, itu lagi, huh?” tanya Nana sewot memotong suara Aya membuat keduanya langsung terlibat adu lirikan sinis.
“Oh gitu, ya, mantan anak bawang kantor Tony & Partners?” sahut Aya penuh nada sindiran lengkap dengan wajah menghujat. Dia sedikit menyeringai melihat wajah Nana langsung mengeruh, teringat segala masa-masa kelamnya menjadi anak bawang. “See? I told you, period.”
Nana mendecih cukup keras. “Tetap nggak bisa disama-samain dengan kondisi lapangan pekerjaan Miyu. Hellooo otak drama, café sama kantor perbandingannya kayak kampus sama TK.”
“Nggak ada yang tahu apa yang bakal terjadi, gue sebagai sahabat hanya pengen—“
Miyu merentangkan kedua lengan, masing-masing menghadap Aya dan Nana, menyuruh mereka berhenti sebelum kepalanya kembali pusing seperti tempo hari. “Gue ngerti, gue paham, oke?” tukas Miyu sekalem mungkin seraya menoleh ke kedua sahabatnya.
Nana memasukkan sekepal berondong jagung ke mulutnya sambil mengganti channel televisi. “Kita emang perlu ruqyah Aya biar dia nggak selek mulu. Mentang-mentang bentar lagi tie the knot sama dia-yang-gue-nggak-mau-tahu.”
Aya yang barusan hendak memfokuskan diri ke layar televisi pun kembali melempar lirik sinis kepada Nana. “Lo cium bau-bau gosong gitu nggak, sih, Miyu?”
Miyu menghela napas pelan. “Diem kali—“
“Ya ampun, lupa. Nana masih jomlo, aduh, I’m so sorry. Gue nggak bermaksud buka-bukaan soal perkara itu. Jangan khawatir Nana, bentar lagi lo bakal ketemu pangeran pujaan lo sendiri,” tukas Nana kembali memancing keributan dengan Nana yang disambut gayung pula oleh Nana.
Nana menyeringai diikuti dengus geli kecil. “Yak, denger-denger mitosnya kalau calon pengantin baru ngata-ngatain orang jomlo nanti kena apes berat, loh.”
Ucapan Nana disambut tolehan kepala bingung bercampur kaget dari Aya dan Miyu, bersangsi.
“Na, jangan ngadi-ngadi, deh.” decak Aya tegas tanpa dapat sepenuhnya menyembunyikan ketakutan dan kekhawatirannya. Membuat Nana otomatis tersenyum penuh kemenangan. “Balik ke topik awal. Miyu, answer me.”
“Everything’s fine. Nggak terlalu hectic, rekan-rekan gue solid, nggak ada drama apa-apa. Nothing much,” sahut Miyu kasual di sela mengunyah berondong jagung bersama Nana.
Aya manggut-manggut pelan. “Gimana rekan-rekan lo? Setahu gue, karyawannya anak milenial semua.”
Miyu mengangguk satu kali. “They’re fine and exactly they’re all millennial. Gue cukup bersyukur mereka bukan tipikal ambisius banget sampe makan temen kerja sendiri.”
“Ada yang hottie man, nggak?” celetuk Nana setelah menoleh kepada Miyu dengan alis naik-turun dan seringai jahil membuatnya menjadi sasaran lempar berondong jagung dari Aya dan Miyu.
“Nana oh Nana, gimana rasa ludah lo sendiri?” hujat Aya geleng-geleng kepala.
“Please, deh, itu pertanyaan normal,” dengus Nana sebelum kembali menancapkan fokus ke layar kaca televisi sambil berkata, “Miyu, jawab.”
Tanpa Aya dan Nana ketahui pertanyaan “normal” itu berefek besar bagi Miyu. Dalam dunia psikologi, sudah menjadi hal yang sangat wajar bila sebuah pertanyaan kecil dapat memancing jutaan ingatan yang tersimpan di otak dan alam bawah sadar. Menarik seluruh ingatan yang sedikit berkaitan hingga ingatan yang tidak ada kaitannya karena terpancing oleh sebuah pertanyaan sepele.
Kondisi psikologis itu tentu saja terjadi pada diri Miyu. Pertanyaan “normal” dari Nana memancing seluruh ingatannya tentang lelaki bernama Saionji. Seorang lelaki berketurunan Jepang yang memutuskan mulai berlangganan di café Anomali sejak satu minggu lalu. Satu minggu yang sangat panjang bagi Miyu, penuh dengan cerita konyolnya.
Miyu jadi teringat dia belum menceritakan segala hal tentang Saionji kepada dua sahabatnya. Bukannya mengapa, Miyu merasa hal itu tidak cukup penting dan berpengaruh dalam hidupnya. Tidak perlu dibicarakan, toh tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Tapi pertanyaan “normal” Nana justru mengingatkan Miyu dengan figur Saionji.
“Miyu?” panggil Nana mengembalikan Miyu dari lamunannya. “Kesambet lo?”
Miyu berdehem kecil, tampak sekali kecanggungannya. Pergerakan tangannya yang spontan mengambil sekepal berondong jagung pun membuatnya semakin menunjukkan rasa canggungnya bagi mata Aya. Tentu saja Aya langsung heboh sendiri.
“Kok lo salting? Beneran ada hottie man-nya? Wait, atau jangan-jangan bukan hottie man tapi berondong ganteng. Gitu?” sembur Aya berwajah super berbinar menatap Miyu.
Tuduhan Aya menarik perhatian Nana hingga rela menolehkan kepala ke Miyu. “Ha? Lo salting? Seriusan ada, woy?” tanyanya ikut bersangsi, tidak menyangka reaksi Miyu semacam itu.
“Astaga, enggak. Apa-apaan, sih,” kilah Miyu berusaha menahan raut datarnya yang biasa, “memang ada yang lumayan ganteng, tapi biasa aja. Bukan tipe gue.”
Nana menyeringai lebar. “Gue saranin jangan terlalu pemilih. Asal mapan dan berakhlak, langsung sikat.”
“Tapi jangan terlalu gampang nerima juga,” ralat Aya bernada lantang seolah sedikit menyentil Nana, “nanti hasilnya kayak dia-yang-kita-semua-tau-dan-nggak-perlu-disebutin-namanya-ntar-ngamuk.”
Nana melotot murka, melempari Aya dengan bantal sofa. “HE ELO TUH, YA!!”
Miyu hanya bisa menghela napas lelah melihat Aya dan Nana kembali membuat keributan. Hal yang wajar terjadi di antara mereka sejak masa-masa SMA tapi Miyu tidak pernah bisa tahan melihatnya.
Bila dipikirkan ulang, Miyu sangat berbeda dibandingkan Aya dan Nana. Keduanya termasuk murid pintar selama SMA. Prestasi mereka merata di bidang akademik, seni, atletik, dan organisasi. Benar-benar tipikal murid yang sempurna. Ditunjang pula oleh penampilan fisik mereka yang memukau. Sudah jago Miyu menjadi pendengar segala curhat mereka tentang beragam jenis laki-laki.
Bila dibandingkan dengan Miyu. Tampak seperti langit dan bumi.
Miyu yang termasuk golongan anak rumahan tidak memiliki kelebihan apa-apa di sekolah. Biasa-biasa saja, justru sedikit cenderung di bawah rata-rata. Miyu bisa lulus SMA sepenuhnya berkat bantuan Aya dan Nana yang selalu giat membantunya belajar. Kehidupan asmara? Nihil, padahal penampilan fisik Miyu nggak buruk-buruk amat.
Sampai detik ini Miyu heran bagaimana bisa dia berteman dengan Aya dan Nana si kaum dari langit.
Hidup Miyu yang selalu berjalan datar dan penuh masalah—ah, sialan, ingatan malam sialan itu muncul di kepala Miyu. Malam yang menjadi aib terbesar paling memalukan sepanjang hidup Miyu.
One night stand yang tidak diinginkan.
“Sudah gue bilang jangan ngeledekin kaum jomlo nanti lo kena apes!”
“Gue nggak ngatain elo, ya!”
“Jelas-jelas lo tadi—“
BRAK!
Aya dan Nana terlonjak kaget mendengar suara berdebum mangkuk popcorn jatuh mencium lantai. Kepala mereka segera menoleh ke arah Miyu yang tiba-tiba saja berlari kencang menuju kamar mandi. Tidak memedulikan popcorn yang berhamburan di lantai, Aya dan Nana sigap menyusul Miyu. Kernyitan jelas tercipta di kening mereka karena melihat kondisi Miyu tiba-tiba jatuh sakit.
Aya menempelkan telinga ke pintu kamar mandi seiring keningnya semakin mengerut karena tak mendengar suara apa-apa dari dalam. “Miyu? Lo kenapa? Sakit?” tanyanya sambil mengetuk pintu, tidak mendapat sahutan.
Mulai khawatir, Nana ikut mengetuk. “Miyu? Gue pikir lo bilang sudah nggak pusing lagi.”
Tidak ada sahutan dari Miyu membuat situasi menegang dalam sekejap. Sensasi dingin menjalar di tubuh Aya dan Nana seiring ketuk demi ketuk dan panggilan tidak mendapat respon. Kemungkinan-kemungkinan buruk mulai menghantui kepala mereka hingga memicu mereka untuk mengetuk dan memanggil lebih keras lagi.
“Miyu, sumpah nggak lucu,” ujar Nana, kini berubah dari mengetuk menjadi menggedor pintu.
Aya mendecak seraya menoleh menatap Nana. “Stay calm, dong, Na.”
Bola mata Nana berputar jengah membalas tatapan protes Aya. “Gimana bisa gue stay calm lihat dia nggak kasih sahutan—“
HOEK! HOEK!
Secara kompak bola mata Aya dan Nana membulat mendengar Miyu bersuara setelah sekian menit tidak memberi sahutan. Dengan cepat Aya kembali menempelkan telinga ke pintu sembari mengetuknya, sedangkan Nana memilih berdiri tenang dengan tangan bersedekap. Mereka tidak memanggil Miyu lagi karena kini hanya terdengar suara Miyu sedang muntah.
Bingung melanda kepala Aya dan Nana. Seharian ini Miyu baik-baik saja, tak ada masalah. Miyu makan-makanan bergizi tiga kali. Miyu pun tidak melakukan aktivitas berat apa-apa berhubung hari ini adalah hari Minggu. Miyu benar-benar sehat dan normal-normal saja. Lantas, kenapa Miyu tiba-tiba jatuh sakit hingga muntah-muntah seperti itu?
“Na, gue pikir lo bilangnya kemarin Miyu cuma kecapekan dan udah sembuh,” celetuk Aya seraya berhenti menempelkan telinga ke pintu kamar mandi.
“Dia memang sudah sembuh. Toh, gue yang ngerawat dia,” decak Nana, kepalanya menggeleng kecil, “ini jelas bukan Miyu yang biasanya. Tubuhnya nggak selemah ini.”
Aya bersedekap, bersandar pada dinding. “Exactly. Lima hari lalu dia pusing, hampir pingsan di pinggir jalan. Hari ini dia tiba-tiba muntah-muntah padahal awalnya semua berjalan normal-normal aja.”
Nana menyimpulkan, “Masuk angin?”
“Kayaknya bukan,” tolak Aya bersamaan dengan suara Miyu kembali terdengar dari dalam, “ada masuk angin yang muntah-muntahnya sampe selevel ini?”
Ketika terdengar suara air keran mengalir, bom waktu meledak, menyadarkan Aya dan Nana dengan kemungkinan paling buruk yang tidak terlintas dalam benak mereka.
“Miyu, kapan tanggal terakhir lo menstruasi?”
TO BE CONTINUED