“Agatha, denger-denger lusa kemarin lo hampir pingsan di pinggir jalan? Seriusan?” tanya Ira setelah mengantarkan pesanan salah satu pengunjung.
Miyu yang sedang mengecek pembukuan keuangan langsung berwajah masam melirik Ira di sampingnya. Miyu menghela napas berat, berusaha menahan diri untuk tidak menyumpahi Ira sekarang juga karena telah mengingatkan Miyu atas prasangka terburuknya. Padahal Miyu sudah bersyukur setelah setengah hari berlalu tanpa ada yang menanyakan kepastian kabar tersebut.
Ira tetaplah Ira yang terlalu enerjik dan suka ingin tahu.
Miyu berhenti melirik Ira, kembali menatap buku laporan di tangannya. “Lo denger kabarnya dari mana? Ada yang jadiin gue konten Tik Tok?”
Ira langsung tertawa renyah. “Konten Tik Tok? Emang apa faedahnya dan bakal jadi konten semacam apa, woy? Orang pinggiran?”
“Lihatlah dan bukalah mata hatimu, melihat orang yang terluka,” nyanyi Miyu bernada sumbang, semakin mengundang tawa receh Ira.
“Stop, stop, serius,” kekeh Ira berusaha meredakan tawa, “gue denger dari temen-temen. Ada yang kebetulan lihat lo mau pingsan. Dia niatnya nolongin, eh temen lo datang tepat waktu.”
Miyu manggut-manggut. “Siapa, deh?”
“Reno.”
Alis Miyu spontan naik sebelah diikuti jemarinya berhenti memindai tiap angka pada buku laporan keuangan. Cukup terkejut mengetahui ada rekan kerja yang memergokinya, terlebih orang itu adalah Reno. Si laki-laki misterius yang hingga kini tidak bisa benar-benar dikenali oleh Miyu.
Tidak menyadari perubahan raut muka Miyu, Ira kembali melanjutkan celotehnya. “Seandainya saat itu temen lo nggak datang tepat waktu, lo udah di ujung tanduk, pasti bakal ditolongin sama Reno. Simsalabim! Jadilah konten uwu ala-ala. Sayang banget, ya.”
“Uwu uwu, ew,” cibir Miyu datar membuat Ira sedikit mencebik, “sekarang gue semakin bersyukur Nana datang tepat waktu. Nana emang pahlawan abadi di hidup gue.”
“Agatha, seenggaknya sekali dalam seumur hidup lo harus ngerasain gimana rasanya hidup uwu-uwu ala drakor, novel dan komik picisan,” Ira memutar bola mata jengah melihat raut datar Miyu masih saja terfokus pada pembukuan keuangan, “sebagai cewek normal, lo pasti pernah ngehalu, ‘kan? Gue tahu lo normal.”
Miyu menoleh syok. “Sembarangan, kata siapa gue nggak normal.”
“Tadi lo nggak tergoda sama Reno. Padahal nih, Reno tuh termasuk visual di atas rata-rata. Emang sih dia ada sedikit keganjilannya, tapi masih bisalah ditolerir,” Ira mendecak berulang kali seraya beringsut maju menempel pada Miyu hingga Miyu melempar pelototan kesal padanya, “jangan-jangan lo nggak mau dibayangin bareng Reno, tapi bareng cowok bule lusa kemarin?”
Mulut Miyu langsung ternganga mendengar tuduhan Ira. Seluruh saraf otaknya yang terfokus pada pembukuan seketika ambyar dalam sekejap. Tidak ada lagi deretan angka nominal uang, melainkan kini terbayang penuh oleh figur pria berkewarganegaraan asing lusa kemarin. Pria dengan ketampanan dan kekayaan luar biasa bagaikan tokoh fiksi yang langsung keluar dari drama dan novel picisan. Pria yang sampai detik ini masih betah mendekam dalam kepala Miyu.
Tanpa sadar, Miyu mengumpat dalam hati. u*****n untuk Ira yang sedari tadi ditahan-tahan, kini tidak terbendung lagi. Berkat Ira, sekarang kepala Miyu hanya terisi oleh ingatan pria luar biasa tersebut. Tidak lagi pada pekerjaannya sebagai petugas kasir yang senantiasa mengecek pembukuan pendapatan dan pengeluaran.
“Kalau lo sendiri gimana? Pasti lancar, dong,” celetuk Miyu setelah menoleh dengan senyum lebar kepada Ira, spontan membuat gadis pelayan itu mengerjap bingung menatapnya.
“Lancar apaan?”
“Halunya.”
Ira ternganga makin bingung. “Halu?”
Miyu mendorong kening Ira menggunakan jari telunjuknya. “Cukup haluin aja konten uwu antara lo dan Dokter Anggara. Jangan bawa-bawa gue.”
Giliran Ira yang melotot syok. “Kenapa jadi bawa-bawa Dokter Anggara?!”
“Impas,” tandas Miyu bernada sarkastis sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya dalam mengecek pembukuan.
Semua jadi sia-sia karena ujung-ujungnya kepala Miyu hanya terpampang figur pria warga asing luar biasa tampan. Semakin Miyu berusaha untuk kembali fokus bekerja, semakin jelas dan penuh ingatan figur itu memenuhi kepalanya. Padahal 48 jam sudah berlalu sejak pertemuan itu, tapi sosoknya tidak beranjak dari kepala Miyu. Bagaikan kutukan, tak akan terlepas begitu saja.
Untuk pertama kali sejak bekerja di café, Miyu sangat berharap café mendadak ramai agar Ira sibuk sendiri. Tentu saja bukan itu alasan utamanya, lebih tepatnya agar Miyu disibukkan pada pekerjaan. Dengan begitu pikirannya tidak akan mengingat pria itu lagi. Sayang sekali hari masih siang, belum memasuki waktu-waktu teramai café. Tidak ada karyawan yang sibuk.
“Agatha, lo nggak kenapa-napa?” tanya Reno sesaat setelah selesai membuatkan kopi pesanan salah satu pelanggan.
Miyu menoleh, mengerjap pelan sebelum buru-buru menyunggingkan senyum tipis. “Nggak papa, kok.”
Reno mengembuskan napas. “Bagus, deh.”
Tiba-tiba, Ira datang dengan wajah jahilnya. Mengantarkan sinyal bahaya pada Miyu karena sudah pasti gadis itu berniat menggodanya lagi. “Harusnya langsung lo tolongin, No. Gimana sih lo.”
Reno mendecak pelan seraya melirik Ira sinis. “Temennya dateng tepat saat dia mau pingsan.”
“Udah deh, No, jangan dengerin Ira. Diusilin lo ntar,” tukas Miyu jutek membuat Ira menyeringai usil.
“Ah, gue tahu, gue tahu, kok, Agatha,” sahut Ira bernada usil pertanda hendak melontarkan ledekannya lagi, “lo kesambet cowok chinese kemarin, ‘kan?”
Alis Reno naik sebelah. “Cowok chinese?”
Miyu hanya menghela napas berat, lelah meladeni ledekan Ira.
“Iya, lusa kemarin ada pelanggan cowok chinese gitu, deh. Ganteng banget, auranya shining shimmering splendid seolah-olah dia cowok yang keluar dari film Crazy Rich Asian. Agatha ngelayaninnya gagu banget, lho,” celoteh Ira lengkap dengan tawa ngakaknya yang benar-benar meledek Miyu.
Reno bersiul. “Pelanggan baru?”
Bola mata Ira berputar ke atas, mengingat-ingat. “Kayaknya begitu. Baru pertama kali ini gue lihatnya.”
“Lo sendiri gimana? Nggak kesambet juga?” tanya Reno usil membuat Ira cemberut. Sebelum Ira membalas, Reno bersuara lagi. “Oh iya, lo udah kesambet Dokter Anggara.”
Spontan Miyu tertawa puas melihat wajah cemberut Ira berubah memerah dan beraut syok bercampur kesal. Mengapresiasi Reno, Miyu melempar kedip dan mengacungkan jempol padanya yang dibalas acungan pula oleh Reno. Tingkah mereka membuat Ira mengomel protes karena bersekutu untuk meledeknya.
Di sela mendengarkan omelan protes Ira, lonceng pintu café berdentang menandakan kedatangan pelanggan. Dengan segera Ira, Miyu dan Reno berhenti berbicara, siap melayani. Ketiganya dibuat diam melihat pelanggan yang datang merupakan satu pria berjas licin dengan penampilan luar biasa tampan. Dalam satu detik, Reno menyadari pria inilah yang dimaksud Ira. Ia langsung melirik Ira dan Miyu yang terpaku kaku di tempat menatap pelanggan super kece tersebut.
Buru-buru Reno menusuk pinggang Ira untuk menyadarkannya. Ira mengerjap cepat, tersadarkan. Gadis itu sempat melempar pelototan kepada Reno sebelum bergerak menusuk pinggang Miyu. Gadis berambut pirang itu segera mengerjap, lebih mempersiapkan diri dengan benar agar kejadian gagu tempo hari tidak terulang kembali.
Serius, deh. Padahal udah sering liat cowok ganteng, tapi kenapa yang ini bikin begini banget efeknya, sih, rutuk Miyu dalam hati.
“Daijoubu, sore dakedesu. Arigatou gozaimasu, Hendra-san, jaa.” ujar pria tampan tersebut pada sambungan telepon sebagai penutup pembicaraan.
Di tempat kasir, Miyu mendengar kalimat berbahasa Jepang itu dengan jelas. Sempat membuatnya tertegun, mengetahui pria tampan itu merupakan keturunan Jepang, sama sepertinya.
Ira di samping Miyu menyikut pinggang Miyu. “Japanese, tuh. Sama kayak lo.”
Miyu mendesis menyuruh Ira diam karena pria tampan itu sudah sangat dekat dengan kasir, hendak memesan.
Miyu kembali berhadapan dengan pria super tampan itu lagi, seperti tempo hari. Bedanya, kali ini Miyu tidak akan membiarkan dirinya kesambet setan gagu. Miyu akan bersikap profesional agar Ira berhenti menjodoh-jodohkan Miyu dengan pria Jepang itu.
“Good afternoon, welcome to Anomali café, sir. Please, feel free to order,” sapa Miyu sesaat setelah si pria Jepang berdiri di hadapannya.
“Do you have any recommendations menu for lunch?”
Miyu sedikit menggigit bibir bawahnya, gugup. “We have the best fried rice in the city named Nasi Goreng Kampung. For the drink, loose leaf tea is the best pair for Nasi Goreng Kampung. Would you like to try them?”
“Okay, I’ll take them then.”
Miyu mengangguk, tangannya sibuk memasukkan pesanan pelanggan tampannya ke mesin kasir. “How do you want your fried rice, sir?”
Sang pelanggan yang tadi menatap buku menu langsung menoleh ke Miyu. Bertukar pandang. “Not too spicy and please add more vegetable than meat.”
Miyu mengangguk. “Will do, sir. And for your loose leaf tea?”
“Less sugar.”
“Okay, is there anything else that you want to order?”
“No, that’s all.”
Diam-diam Miyu bernapas lega. “That’ll be ninety five thousand rupiah including restaurant tax, sir.”
Pria itu menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah seraya berkata. “Keep the change.”
Miyu berusaha tersenyum lebar demi menutupi kegugupannya karena jemarinya sempat bersentuhan dengan jemari pria tersebut. Buru-buru Miyu menyerahkan papan kecil berisi nomor pesanan. “Thank you. Please be seated, we will deliver your lunch, si—”
“Saionji.”
Miyu tersentak kecil, mata hijaunya mengerjap pelan. “Pardon?”
“My name. Saionji,” pria bernama Saionji itu tersenyum simpul, tak tahu-menahu senyumannya membuat Miyu kaku seketika di tempat, “I like this café. Maybe from now on I’ll start coming over every day since it’s just Anomali café that have great service for foreigner. I’ll grant you my gratitude, Miss Agatha.”
Ira dan Reno yang sedari tadi menyimak dibuat melongo dengan mata membulat. Mereka langsung menolehkan kepala pada Miyu yang kedua kakinya sudah bergemetar tak karuan. Kondisi yang berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya yang tetap mempertahankan senyum lebar dan tenang.
Anjir, anjir, anjir! umpat Miyu dalam hati menahan sebuah perasaan yang seolah ingin meledak dalam dadanya karena Saionji menyebutkan namanya.
“Thank you very much. Please feel free to coming over every day, we’re happy to serve you, Sir Saionji.” ujar Miyu dengan lancarnya padahal kedua kakinya sudah terasa lemas untuk menopang tubuhnya.
Ketika Saionji sudah beranjak pergi mencari meja, tubuh Miyu terhuyung jatuh ke lantai. Seluruh tubuhnya terasa ringan dalam sekejap seolah sedari tadi sedang berusaha menahan beban di pundaknya. Miyu sungguh tidak menyangka pria Jepang itu akan bersikap demikian kepadanya. Hal yang wajar, tapi Miyu tidak siap sama sekali.
Tidak memedulikan kondisi lemas Miyu, Ira menerjang Miyu dengan hebohnya. “Agatha, Agatha, Agatha! Gila banget, gila!” serunya.
“Apa sih, Ra,” decak Miyu sebal karena pundaknya digoncangkan oleh Ira.
“Gila banget akhirnya lo dapet namanya dia! Tadi dia ngomong apaan, deh?!”
Miyu menghela napas. “Dia bakal mulai berlangganan di sini. Datang setiap hari.”
Ira ternganga lebar. “Anjir nggak tuh!”
Miyu mengangguk-angguk setuju. “Anjir banget.”
TO BE CONTINUED