BAB 11

1475 Words
“Nah, I’m okay. Aku akan segera kembali ke Jepang setelah urusanku di Indonesia selesai,” ujar Kanata kasual, terhubung sambungan telepon dengan Mikan, sepupu tertuanya. “Aish, cepatlah pulang, anak bodoh. Sudah tidak terhitung berapa bungkus obat sakit kepala yang kuhabiskan. Para orang tua laknat itu sedang mencoba membunuhku setiap hari, kau tahu!” Kanata tertawa cukup puas. “Sekarang kau memahami posisiku, huh?” “Eits, jangan lancang padaku, bocah. Aku sangat mampu mengambil alih Saionji Phantom dan menggelindingkan tahtamu dalam sekejap.” “Kau tidak akan bisa melakukannya. Kau perlu menghadapi Wanya terlebih dahulu, kita semua tahu kau dan Wanya adalah musuh abadi.” Terdengar decakan dan u*****n kasar dari seberang telepon. “Cih, aku mulai bertanya-tanya kapan pria tua itu menemui ajalnya.” “Untuk apa, huh? Kau sudah memiliki segalanya. Bisa-bisanya kau masih serakah dengan berniat mengkhianati sepupumu sendiri.” “Hei, hei, segalanya, katamu? Aku masih belum menikah! Aku tidak punya pacar, apalagi suami!” Kanata tertawa. “Easy, woman, easy. Kau masih saja sensitif terkait hal-hal semacam itu.” “Aku sudah berumur di atas tiga puluh. Sudah sewajarnya aku sensitif! Aku jadi mengingat segala celotehan ibuku soal pernikahan dan segala hal bodoh lainnya. Argh, kau benar-benar perusak mood.” Kanata mengangguk kecil, mengecek arlojinya. “Yep, karena aku sudah berhasil merusak mood, sudah saatnya aku pergi.” “Sudah kuduga, kau sengaja!” “Baik-baik di sana, wanita tua. Jaa!” “HEY, TUNGGU, SIAL—“ TUT. Kanata menyeringai puas menatap layar ponselnya menampilkan sambungan telepon telah terputus. Pria itu mengecek agenda yang tercatat di salah satu aplikasi sebelum memasukkan benda canggih itu ke saku celana. Urusannya di rooftop gedung selesai, tapi Kanata tidak langsung kembali. Dia bersandar di pagar, memerhatikan pemandangan kota di bawah yang menyenangkan. Jakarta memiliki pemandangan mirip Tokyo. Area gedung perusahaannya ini kebetulan berdiri di wilayah perkantoran yang memiliki struktur mirip di Tokyo. Menatap pemandangannya dari rooftop sudah menjadi kebiasaan yang mulai dibangun oleh Kanata. Baginya, mengobati rindu tanah air. “Kanata, kau sudah selesai menelpon Mikan-san?” tanya Santa menyeletuk dari pintu akses rooftop. “Jika sudah selesai, seharusnya kau segera kembali ke dalam. Asal kau tahu, ada banyak hal yang harus kau urus hari ini.” Kanata mendecak pelan, tidak menoleh, masih mengamati pemandangan kota. “Tidak bisakah satu hari saja kau membiarkanku bersantai.” Sebuah pertanyaan retoris bagi seorang pengusaha besar. “Jangan bercanda, Tuan Saionji. Sudah jelas sisa hidupmu dihabiskan untuk memutar uang,” sahut Santa berkacak pinggang di samping Kanata. Dia mulai merasa sedikit heran karena pertanyaan aneh Kanata. “Apa masalahmu, sobat? Aneh sekali kau menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.” Kanata melirik Santa sekilas. “Memangnya seaneh itu bagiku untuk menanyakan pertanyaan semacam itu? Aku hanya bersikap manusiawi.” “Aneh sekali, aneh,” tandas Santa, mendecak berulang kali sebelum bersuara, “mengenal karaktermu, kau bukan tipe manusia yang mudah mengeluh.” “Ya, aku memang jarang mengeluh.” “Kau mengeluh hanya saat mendengarkan omong kosong para buyut keluargamu.” Kanata menoleh, mengernyit tidak setuju. “Tetua, bukan buyut.” Santa memutar mata tak peduli. “Terserah apa namanya. Yang jelas kau hanya akan mengeluh setelah mendengarkan omong kosong mereka tentang pernikahan dan garis keturunan keluarga. Tentu saja, yang tidak akan pernah kupahami.” “Kenapa kau menyebutnya lagi,” keluh Kanata sedikit emosi, “bagus, sekarang aku kembali mengingat seluruh omong kosong mereka lagi.” Santa tertawa, menepuk pundak Kanata penuh simpati. “Soal pernikahan, hari ini kau tidak pergi makan siang di luar.” Ah, s**t, hujat Kanata terkuasai oleh amarah terdalam yang berusaha dia tahan sedari pagi. “Tumben sekali. Kau ada masalah dengan café itu?” tanya Santa tiba-tiba berubah menjadi introgasi dadakan. Sepenuhnya tidak menyadari suasana hati Kanata telah berubah. “Kau bertengkar dengan wanita pujaanmu di sana?” Mata cokelat Kanata spontan melotot. “Huh?” “Ah, aku mengerti, kawan. Terkadang hal semacam itu terjadi dalam hidupmu. Keputusanmu tepat untuk memberi jarak di antara kalian untuk sementara waktu. Kalian perlu saling mendinginkan kepala. Tenang saja, aku yakin dia tidak akan pergi ke mana-mana.” Apa yang dibicarakan manusia ini, hujat Kanata tidak habis pikir. “Aku turut bahagia denganmu, kawan. Tidak kusangka kau menemukan wanita pujaanmu di Indonesia. Setelah sekian lama kau tidak ingin berurusan dengan wanita, ternyata seleramu sedikit eksotis—“ “Apa yang kau bicarakan, bodoh?” sela Kanata sewot, tidak sanggup lagi mendengar tuduhan ngawur Santa. Santa menoleh, mengerjap polos. “Tiga hari belakangan kau tidak pergi ke café Anomali karena kau bertengkar dengan wanita pujaanmu di sana, bukan?” Tidak mampu ditahan lagi, tangan Kanata meninju pinggang Santa, membuat sahabat kecilnya itu meronta ngilu. “Tidak ada hal bodoh semacam itu terjadi.” “Huh?!” sahut Santa protes, penuh sangsi. Dia maju sambil menahan nyeri kecil di pinggangnya. “Kau tidak perlu berbohong padaku. Kau selalu pergi ke sana. Merepotkan dirimu sendiri dengan pergi jauh-jauh ke sana, apa lagi kalau bukan untuk menemui orang penting?!” “Aku selalu pergi ke sana karena pelayanan dan makanannya berkualitas,” geram Kanata penuh penekanan nada, “dan aku berlangganan resmi di sana. Jika aku bilang makan siang, maka memang makan siang.” Diam-diam Kanata sedikit resah. Hatinya tidak menyangkal apa yang diucapkan Santa. Tepat ketika Santa menuduh, tanpa alasan yang jelas, wajah Miyu muncul dalam benak Kanata. Kanata jadi bingung sendiri sehingga menanggapi Santa dengan sedikit tidak santai. Santa seharusnya menyadari keanehan Kanata yang tidak santai tersebut, syukurlah Santa tipe telat mikir. “Cih, padahal kau seharusnya ingat para tetua keluargamu itu selalu memaksamu segera menikah. Bukankah bagus jika menemukan seleramu di sini? Pulang dinas membawa calon menantu,” oceh Santa diikuti cengengesan bodoh seperti anak remaja membuat Kanata ingin meninjunya lagi. Kanata mendecak kesal. “Aku tidak habis pikir, kenapa aku menjadikanmu asistenku.” “Sudah jelas karena kau tidak ingin memiliki asisten perempuan. Dan sudah jelas juga karena tidak ada orang yang lebih berkompeten dariku,” sahut Santa super percaya diri. “Omong-omong, kapan-kapan ajaklah aku ke sana. Aku ingin tahu café semacam apa yang berhasil membuat orang sepertimu betah datang.” Wajah Kanata langsung mengeruh tidak setuju. “What? No.” “Hei, apa masalahnya? Aku hanya ingin tahu.” “Kau tidak perlu tahu.” Santa mengernyit bingung. “Huh?” “Aku bukan tipe orang seperti itu.” Bola mata Santa memutar jengah. “Baik, baik, aku paham. Terserah kau saja.” Jika saja Kanata bukan tipe orang yang tenang, sudah sejak tiga hari lalu dia sedikit stress. Dia tidak mengira, tidak pergi ke café Anomali dapat membuatnya sedikit terganggu. Mungkin lebih tepatnya, tidak menemui gadis pirang si petugas kasir di café tersebut. Kanata tidak ingin mengakuinya, namun tampaknya seperti itu fakta yang sedang menimpanya sekarang. Sesuai kata Santa, Kanata tidak pergi ke café Anomali selama tiga hari. Diakibatkan oleh padatnya jadwal pekerjaan yang dia miliki. Mau tidak mau, jadwal makan Kanata terpotong drastis termakan padatnya tugas. Dia tidak bisa pergi ke café sampai tiga hari. Awalnya, Kanata tetap tenang dan bersikap biasa saja. Lama-lama benak Kanata mulai terdistorsi oleh bayang-bayang wajah Miyu. Tampaknya, Kanata akan menggila. *** Miyu sangat bersyukur. Miyu tidak pernah setenang ini sebelumnya. Setiap hari, tepat di jam makan siang, Miyu selalu menderita gugup karena selalu bertemu dan melayani Kanata. Sebagai petugas kasir dan satu-satunya yang bisa melayani Kanata, Miyu sudah bekerja sangat keras menahan diri. Seluruh rekan kerjanya yang selayaknya setan, selalu menggoda Miyu dengan menjodoh-jodohkannya dengan Kanata. Dan Miyu sangat kesal, tentu saja. Kini tiga hari telah berlalu, Kanata tidak datang. Absennya pria Jepang itu membuat rekan-rekan Miyu bertanya-tanya. Menduga alasan ketidakhadiran pria itu secara tiba-tiba. Pada hari pertama dan kedua, topik Kanata masih diperbincangkan hingga membuat Miyu muak sendiri. Sekarang topik itu mereda setelah Kanata tidak datang untuk ketigakalinya. Miyu sangat bersyukur. “Kira-kira kenapa, ya?” celetuk Ira tiba-tiba membawa topik itu kembali menguji kesabaran Miyu. “Jangan-jangan dia mulai sadar kalau pelayanan restoran berbintang itu lebih baik.” Miyu memilih tidak membalas. Lebih baik dia mengabaikan Ira dengan fokus menghitung uang. Bagaimanapun juga, kesehatan janinnya adalah hal utama, dia tidak boleh gampang terbakar amarah. “Ah, padahal café ini mulai kerasa bahagia setelah Tuan Jepang berlangganan di sini. Suasana jam makan siang jadi lebih indah gitu, deh,” keluh Ira mulai menjadi-jadi. Gadis itu menoleh ke Miyu yang mengabaikannya. “Ya, ‘kan, Tha? Anak-anak juga langsung pada semangat tiap jam makan siang. Gercep banget siap-siap ketemu Tuan Jepang.” “Jujur aja, gue nggak peduli,” sahut Miyu seadanya. Ira cemberut. “Jangan gitu, deh. Lo udah ngelayanin dia tiga minggu, cuma lo satu-satunya yang bisa ngobrol sama dia. Lo nggak ngerasa something gitu ke dia?” “Ra, dia emang ganteng, gue kagum. Udah, gitu doang,” tandas Miyu tegas tanpa mengalihkan fokusnya dari lembaran uang di mesin kasir, “perasaan gue sebatas kagum. Nggak sejauh yang lo punya ke Dokter Anggara.” Ira melotot. “Kenapa, sih, kenapa? Demen banget lo bawa-bawa Dokter Anggara tiap kali gue nyebutin Tuan Jepang.” “Biar impas,” Miyu menoleh ke Ira, “gue mulai capek lo jodoh-jodohin sama Pak Saionji.” Please, berhenti ngomongin dia. Lo nggak tahu apa yang gue lalui dan ternyata dialah orangnya, rutuk Miyu sesaat setelah kembali fokus ke mesin kasir. Ya, takdir memang selucu itu dalam hidup Miyu. Ketika Miyu sudah berpikir semuanya akan berlalu dengan mudah, selalu saja takdir menertawakannya keras-keras. TO BE CONTINUED[Mohon maaf sekali ya, rencana Koishiteru daily update ternyata masih belum bisa terlaksana karena beberapa kendala. Untuk mulai ke depannya akan kuusahakan daily update seperti lapak sebelah. Terima kasih untuk kalian yang sudah setia menunggu Koishiteru]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD