BAB 12

1979 Words
Satu hal yang Miyu sadari terlalu terlambat adalah kehamilan menguras energi lebih cepat. Dibandingkan dengan saat dirinya tidak hamil, tubuh Miyu saat ini sangat mudah lelah. Awalnya, Miyu tidak cepat jatuh lelah. Semuanya berjalan aman-aman saja setelah dokter kandungan mengonfirmasi kehamilannya. Miyu melakukan aktivitas seperti biasa tanpa masalah signifikan. Akan tetapi, ketika usia kandungannya menginjak usia satu bulan inilah kondisi tubuhnya menurun drastis. Sangat drastis hingga Miyu sempat takut terjadi apa-apa pada kandungannya. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Bu Agatha. Kondisi fisik tiap ibu hamil berbeda-beda, ada yang kuat dan lemah. Ada yang di usia hamil muda sangat enerjik, tapi melemah di usia hamil tua. Begitu pula sebaliknya,” ujar Dokter Raina, dokter kandungan kenalan Nana yang menangani kehamilan Miyu. Miyu bernapas lega. “Syukurlah. Tidak ada masalah pada kandungan saya, ‘kan, Dok?” Dokter Raina tersenyum hangat. “Tidak ada, Bu. Kandungan Anda sangat sehat. Sesuai di USG tadi, janin Anda berkembang dengan baik.” “Dia kecil sekali, Dok.” “Itu wajar, Bu. Usia kandungan Anda masih satu bulan, tentu saja janin Anda masih sangat kecil,” Dokter Raina tersenyum sebelum menuliskan hasil konsultasi pemeriksaan Miyu pada buku kesehatan Miyu, “nah, karena kandungan Anda sudah menginjak usia 1 bulan, beberapa masalah akan datang seperti morning sickness, kram, p******a sakit, kelelahan, perubahan suasana hati, bercak darah dan kembung. “Tips untuk Anda selama melalui usia kandungan bulan pertama ini adalah banyak-banyak konsumsi asam folat, saya rekomendasikan jeruk karena asam folatnya tinggi. Lalu, sudah pasti Anda harus selalu menjaga pola makan makanan bergizi berhubung Anda juga bekerja, asupan gizi harus selalu terpenuhi ya, Bu. Jangan lupa minum air putih dan jangan ragu berkonsultasi pada saya jika ada masalah.” Miyu mengangguk mengerti mendengarkan seluruh nasihat Dokter Raina. Raut wajahnya cukup kaku akibat selalu merasa gugup sendiri setiap kali melakukan konsultasi kehamilan. Bukan karena Dokter Raina, ini hanya karena Miyu yang tidak terbiasa. Semua t***k-bengek kehamilan ini adalah momen pertama dalam hidupnya, siapa pun pasti akan gugup jika berada dalam posisi Miyu. Miyu juga tidak pernah mengira dia akan melalui segala momen kehamilan ini sebagai wanita single yang tidak didampingi suami. Fakta itu membuatnya semakin gugup dan sering berpikir berlebihan. Ibu hamil yang didampingi suami saja ada yang tidak selamat, apalagi yang tidak didampingi suami. Buru-buru Miyu menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran negatifnya. No, no, no, jangan mulai, Miyu. Ini adalah bayi pertamamu, sudah jelas kau harus berjuang demi dirinya. Stay up and don’t look down on yourself, Agatha Miyu Kouzuki. “Agatha, anterin orderan ke meja tujuh belas!” Miyu menoleh, melangkah mendekati sisi meja etalase yang menjadi area tempur para pelayan. “Oke!” Secara cekatan, Miyu membawa nampan berisi pesanan pengunjung yang menduduki meja nomor tujuh belas. Tidak lupa memasang senyum dan sikap ramah, Miyu memberikan pelayanan sepenuh hati. Pengunjung yang dilayaninya pun membalas keramahannya membuat Miyu berbunga-bunga. Bagi pegawai yang menggeluti bidang kuliner, pengunjung ramah adalah kebahagian kecil yang patut disyukuri. Miyu sangat merasakannya setelah dua setengah bulan bekerja di café Anomali. Suka duka bekerja di bidang kuliner telah dia rasakan dengan baik. Kini, satu-satunya harapan Miyu setiap kali bekerja adalah tidak berurusan dengan pengunjung merepotkan demi menjaga mental dan fisiknya. Beruntunglah sejauh ini Miyu belum menemukan pengunjung semacam itu di café Anomali. Miyu harap suasana lancar itu berlangsung selamanya. “Hari ini rame banget,” celetuk Miyu sesaat setelah mengantarkan pesanan. Dia berdiri di dekat kasir, bercengkrama bersama Ira. “Namanya juga lagi weekend. Ini masih belum seberapa, tunggu aja nanti malam. Berasa diterjang badai,” sahut Ira sambil merapikan uang di mesin kasir. Miyu menghela napas pendek, teringat hari-hari weekend di café Anomali yang selalu luar biasa sibuk. “Apalagi sekarang lagi adain diskon tanggal muda.” Ira manggut-manggut setuju. “Anak muda Jakarta mah mana ada yang nyia-nyiain diskon, ‘kan? Siapin tenaga badak lo buat nanti malam, deh.” Miyu hanya tertawa, terbiasa dengan sebutan hiperbola Ira. Awal-awalnya saat Ira pertama kali menyebutkan tenaga badak kepada Miyu, Miyu tidak mengerti sama sekali. Setelah dijelaskan, Miyu menganggap Ira terlalu berlebihan. Namun kemudian Miyu merasakannya sendiri ketika café Anomali melalui jam-jam tersibuknya setiap malam di akhir pekan. Terbukti bahwa Ira tidak melebih-lebihkan. “Wah, keren banget. Itu kan model terbaru SAIO.” Angan Miyu buyar ketika mendengar celetukan Ira. Miyu menoleh ke Ira. “Huh? Apa lo bilang tadi?” Ira menoleh sejenak ke Miyu sebelum mengarahkan dagunya ke seseorang yang sempat menarik perhatiannya. Miyu menoleh ke arah dagu Ira menunjuk, menemukan segerombol remaja sedang bercengkrama di salah satu meja yang bersebelahan dengan dinding kaca. “Tuh, yang rambutnya diikat satu. Lo lihat outer dan celananya. My God, itu desain terbaru SAIO yang baru launching lusa kemarin!” seru Ira sedikit heboh membuat Miyu ikut memerhatikan remaja yang dimaksud oleh Ira. Miyu sedikit mengerutkan kening. “SAIO? Maksud lo brand pakaian dari Jepang yang lagi ngetrend itu?” Ira menoleh ke Miyu, matanya berbinar diiringi anggukan semangat. “Iya, itu! Lo pasti tahu atau seenggaknya pernah denger, ‘kan? Please, orang paling kudet pun pasti pernah denger nama SAIO seenggaknya satu kali!” Benar, mana mungkin Miyu tidak tahu. SAIO merupakan salah satu brand pakaian terkenal dari Jepang. Reputasi dan kualitasnya sangat gemilang. Digadang-gadang sebagai brand yang sedang bersaing sengit dengan Uniqlo—saking tingginya pencapaian yang SAIO dapatkan. Itu tidak dilebih-lebihkan, semua orang menggandrungi pakaian-pakaian SAIO. Tidak terkecuali Miyu. “Gue tahu. Gue juga punya beberapa pakaiannya,” sahut Miyu menoleh ke Ira. Ira menepuk tangan, matanya semakin berbinar. “Sayang banget kemarin gue gagal dapetin promo launching desain terbaru mereka. Ah! Kapan lagi coba SAIO launching sepaket model terbaru dengan harga diskon!”  “Ah,” Miyu menoleh sekilas ke remaja yang mengenakan desain terbaru SAIO lalu kembali menatap Ira, “iya, sih. Knitwear, celana, dan outer-nya gemes banget.” Ira langsung meraung penuh kepedihan secara berlebihan membuat Miyu segera memelototinya. “Berhenti nyiram garam di atas luka gue! Lo nggak ngerti betapa excited-nya gue berminggu-minggu nyiapin diri untuk antre rebutan sama ribuan orang lain demi promo launching SAIO!” Miyu hampir menampar wajah menyedihkan Ira jika saja wanita itu tidak kunjung berhenti meraung. “Lo sedih tuh lihat tempat, kek! Lo mau dipergoki sama anak-anak abege yang pakai produk terbaru SAIO incaran lo?” “Suara lo jangan keras-keras, anjir! Sama aja lo ngelempar gue ke mereka!” “Lo sendiri ngapain pake ngeraung segala tadi? Dasar emang lo—“ “Agatha, Ira, udah kelar kerjaan kalian?” tegur Reno tiba-tiba muncul di belakang Ira membuat Ira dan Miyu nyaris terserang serangan jantung. Dibalas gelengan kepala oleh dua wanita itu membuat Reno kembali bersuara, “dah, jangan ribut di sini. Tuh, Tha, lo daritadi dipanggil buat anter orderan tapi nggak nyahut. Masih untung gue yang negur, bukan Pak Rudi.” Miyu mengerjap panik. Buru-buru dia menyingkir dari Ira dan Reno menuju area tempur pelayan. Dalam satu gerakan cepat, Miyu melangkah mengantarkan pesanan. Reno melengos lelah melihat Miyu, sementara Ira kembali mengatur uang di mesin kasir dengan wajah cemberut. Ketika Reno hendak kembali ke area barista, suara Ira menyeletuk menghalangi niatnya membuat langkah Reno tidak jadi tercipta. “Kira-kira, kenapa ya Tuan Jepang itu nggak datang lagi?” celetuk Ira. “Mana gue tahu,” sahut Reno seadanya tanpa minat membuat Ira melengos sedih. “Ketika gue dan anak-anak berpikir Anomali membawa berkah karena menarik para manusia blasteran surga, eh harapan kami langsung pecah berserakan di lantai.” Bola mata Reno berputar jengah sebelum kemudian memilih untuk benar-benar angkat kaki dari dekat Ira. Tidak mau mendengar ungkapan-ungkapan berlebihan Ira. “Namanya juga WNA. Dia sudah balik kali ke Jepang.” “Kasihan Agatha, dong!” Reno langsung mengernyit. “Kenapa jadi gitu?” “No, mereka tuh punya chemistry, chemistry! Gue yakin itu! Kalau mereka pisah tanpa salam-salam terakhir begini, kasihan Agatha, dong!” Reno tepuk jidat, menggeleng pelan tak habis pikir. “Lo nggak pernah ada kapoknya nyomblang-nyomblangin dia.” Ira bersedekap bangga. “Gue nggak nyomblangin, gue tahu apa yang bener-bener terjadi di antara mereka. Tolong bedakan dua perkara itu.” “Gini nih kurang asupan wajah Dokter Anggara, jadi makin miring otak lo.” Ira bersemu padam dan frontal memukul Reno sekuat tenaga. “Apaan sih lo?!” Reno menjulurkan lidah, meledek Ira sepuas hati sebelum buru-buru langkah seribu menjauh dari wanita itu yang telah siap mencakar wajahnya. Ira menggeram melihat Reno kembali ke wilayah kekuasaannya, area barista. Ira tidak bisa apa-apa berhubung sekarang masih dalam jam kerja. Jika Ira membuat kerusuhan dengan Reno, Pak Rudi tidak akan tinggal diam. Jadi pada akhirnya Ira mendelik tajam ke arah Reno. Mengumandangkan ancaman melalui sorot tajam matanya. Miyu hanya bisa menghela napas melihat seluruh kerusuhan dua rekan kerjanya. *** Café Anomali resmi ditutup pukul sebelas malam. Satu jam lebih lama daripada jam buka di hari-hari kerja. Seperti yang dikatakan oleh Ira, café penuh sesak oleh para pelanggan remaja yang mengincar diskon. Volume kehadiran mereka bertambah dua kali lipat dibandingkan biasanya sehingga menimbulkan jam kerja yang sangat padat bagi seluruh pekerja café. Miyu tidak akan heran. Café di akhir pekan memang selalu ramai, terutama pada malam hari. Untuk hari ini saja café lebih ramai dari biasanya karena sedang mengadakan beragam promo potongan harga. Miyu seharusnya turut senang karena pendapatan café pada hari ini sesuai ekspektasi Pak Rudi. Akan tetapi, Miyu tidak bisa merasa senang, berbanding terbalik dari rekan-rekannya. Entah mengapa, Miyu terasa sangat kehabisan tenaga. Beruntunglah dirinya mampu bertahan sampai Reno resmi mengunci café. Masalah selanjutnya adalah bagaimana cara Miyu pulang. Hari ini, Nana tidak bisa menjemputnya. Begitu juga dengan Aya. Keduanya sama-sama disibukkan oleh pekerjaan dan Miyu tidak masalah. Miyu sudah berniat akan menggunakan jasa ojek online. Rumah Miyu hanya berjarak dua kilometer dari café Anomali. Sangat dekat, namun kondisi fisik Miyu tidak membiarkannya pulang dengan mudah. Kepala wanita itu terasa sangat pening seiring energi tubuhnya terkuras habis tak bersisa. Jika Miyu memaksakan menaiki ojek online, entah apa yang akan terjadi selama di perjalanan. Sama bila dia memesan taksi online. Dia tidak bisa memaksakan diri sejauh itu untuk memesan taksi online yang memiliki beberapa trauma bagi dirinya.   Tidak ada pilihan lain, Miyu akan mengistirahatkan diri sejenak sebelum memesan ojek online. Mata hijau Miyu menatap Jalan Teuku Cik Ditiro yang ramai dilalui kendaraan. Tidak pernah sepi, tidak pernah ada kata istirahat selayaknya Jakarta. Untuk malam ini tidak berbeda dari malam-malam sebelumnya, hanya lebih ramai lagi karena sedang akhir pekan. Miyu menghela napas panjang, mulai terpikir betapa indahnya masa-masa muda dahulu ketika segala hal masih berjalan lancar. Saat sang kakek masih berada di samping Miyu, menemani hari-harinya yang melelahkan dengan sebuah senyuman hangat. Semua itu sangat indah membekas dalam hati Miyu. Miyu berharap sang kakek akan selalu berada di sisinya, harapan yang kekanakan karena dia tahu cepat atau lambat kakeknya pun akan pergi meninggalkannya. Mata Miyu berair seiring kenangannya bersama sang kakek berputar dalam kepalanya bagaikan film lama. Tangan kiri Miyu menyentuh perut datarnya sementara tangan kanannya menutup mulut. Setetes demi setetes air mata mengalir membasahi pipinya tanpa bisa dicegah. Apa karena gue sedang hamil makanya jadi lebih gampang sensitif? batin Miyu bingung seiring air mata masih gencar membasahi pipi-pipinya. Tidak berselang lama, pening kembali menyerang kepala Miyu membuat wanita hamil itu segera mendongak tinggi ke atas. Berusaha menghalau pening yang terus-menerus menyerangnya sekaligus menahan air mata yang ingin terus mengalir. Miyu mendecak pelan, cukup kesal merasakan beberapa perubahan kondisi fisik yang menimpanya. “Coba saja kalau gue nggak hamil…,” gumam Miyu masih menatap langit malam. Miyu mendesis tajam merasakan sebuah hantaman dari dalam kepalanya. Dia spontan menutup matanya saking terasa sangat menyakitkan. Hantaman itu seolah menusuk kepala Miyu dan memaksa kesadarannya jatuh. Tidak memberi ampun, rasa sakit itu menusuk kepala Miyu hingga dia harus berusaha sekuat tenaga untuk menahan kesadarannya. “Nona Agatha?” Miyu tersentak mendengar seseorang memanggil namanya. Miyu tidak bisa menoleh karena kesadarannya semakin ditarik paksa darinya. “Nona Agatha? Hei, Anda baik-baik saja?” Ugh, siapa itu? Suaranya nggak asing, batin Miyu sambil mendesis kecil. Tiba-tiba saja, sepasang tangan menyentuh kedua pundak Miyu. Miyu kaget hingga menurunkan kepalanya. Dia hendak membuka matanya untuk mengetahui siapa yang menghampirinya. Akan tetapi, saat itu juga kesadarannya berhasil direbut. Miyu gagal memertahankan kesadarannya dan kini tertarik jatuh ke dalam kegelapan tanpa berhasil mengetahui siapa yang berdiri di hadapannya. Sebelum Miyu benar-benar tertarik ke dalam kegelapan, telinganya menangkap suara orang tersebut yang memanggilnya. “Nona Agatha!” Dan begitulah Miyu menutup mata. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD