Miyu merasakan sekujur tubuhnya remuk. Lelah yang luar biasa pun menyerangnya tanpa ampun. Rasa lelah semacam itu tidak pernah dirasakan oleh Miyu. Ini adalah pertama kalinya dan Miyu tahu persis penyebabnya. Jika dia tidak sedang mengandung, maka kondisi fisiknya tidak akan selemah ini. Apa boleh buat? Semuanya telah terjadi, tidak ada yang bisa Miyu lakukan selain menerima situasi dengan lapang d**a.
“Nona Agatha.”
Batin Miyu sedikit tertegun mendengar suara seorang pria memasuki gendang telinganya. Dalam kegelapan akibat belum membuka kelopak mata, Miyu teringat suara tersebut juga terngiang sebelum dirinya menutup mata.
“Nona Agatha, Anda sudah sadar?”
Terusik oleh suara yang tidak asing dan aroma obat-obatan yang khas, Miyu berusaha membuka kelopak mata yang terasa berat. Miyu mulai berusaha meraih kesadarannya seiring merasakan pegal pada sekujur tubuhnya.
“Pelan-pelan.”
Ugh, siapa itu? Dia juga yang memanggil sebelum pingsan, batin Miyu seraya masih berusaha membuka mata.
Hal pertama yang Miyu lihat adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Sinar matahari langsung menusuk matanya yang masih buram. Miyu segera mengerjap cepat agar dapat beradaptasi dengan cahaya dan penglihatannya membaik. Setelah beberapa detik beradaptasi, kepala Miyu menoleh ke kanan dan langsung menemukan figur seorang pria duduk di sampingnya. Sontak mata hijau Miyu membulat sempurna melihat iris cokelat madu milik pria yang tidak asing baginya.
Saionji Kanata membalas tatapan iris hijau Miyu. Terdapat sorot khawatir sekaligus senang dalam mata cokelat madunya. Tidak hanya pada mata, namun juga seluruh sisi wajah tampannya. Ini membuat Miyu dilanda gugup dengan kepala diputar kebingungan. Miyu tidak menyangka sama sekali bahwa si pemilik suara berat tersebut adalah Kanata, pelanggan café Anomali yang selama ini membuat kehidupan bekerja Miyu uring-uringan.
“T—Tuan Saionji? Kenapa Anda—”
Belum sempat Miyu menyelesaikan suaranya, Kanata bersuara, “Tenangkan diri Anda, Nona Agatha. Jangan terlalu banyak bergerak.”
Tanpa disadari, bibir Miyu spontan mengatup sesuai teguran Kanata. Tidak tahan menatap wajah Kanata, Miyu mengedarkan pandangan ke sekitar. Dari wewangiannya, Miyu sadar dirinya berada di rumah sakit. Ruangan yang ditempati Miyu bernuansa cokelat dan krem dengan fasilitas televisi, lemari, dan lemari pendingin. Miyu menelan ludah, dari kondisi ruangan, dia dapat menebak dirinya menempati ruang inap dengan kelas tinggi.
Bagaimana bisa Miyu berada di ruang inap rumah sakit ditemani Kanata?
Otak Miyu segera mengingat detik-detik terakhir sebelum kehilangan kesadaran. Dirinya sedang berdiri di trotoar depan café. Aya dan Nana tidak bisa menjemputnya karena memiliki urusan penting, jadi Miyu hendak memesan ojek online. Akan tetapi, tiba-tiba saja pening dan lemas yang hebat menyerang kepalanya hingga kesadaran Miyu direbut oleh kegelapan.
Miyu juga ingat, sebelum dia benar-benar pingsan, seseorang menghampirinya sambil memanggil namanya. Miyu kembali menoleh ke kanan, bersinggungan dengan Kanata yang setia duduk dan menatapnya. Miyu simpulkan Kanata-lah yang menghampirinya dan membawanya ke rumah sakit.
“Terima kasih banyak, Tuan Saionji,” ujar Miyu bersuara serak membuat Kanata sigap menuangkan air dari teko ke gelas.
“Ada yang sakit? Saya akan memanggilkan dokter untuk memeriksa keadaan Anda.”
Kanata membantu Miyu berdiri lalu memberikan segelas air. Tidak perlu menunggu jawaban Miyu, Kanata memencet tombol nurse call. Selagi menunggu Miyu selesai minum, Kanata mengamati keadaan wanita itu lebih seksama, memastikan tidak ada masalah yang menimpanya.
Miyu mengembuskan napas pendek usai menghabiskan segelas air. Dia bergerak hendak meletakkan gelas di nakas, namun dicegah oleh tangan Kanata yang sigap mengambil alih gelas dari tangannya. Perhatian kecil itu membuat Miyu sedikit kaget dan buru-buru mengucapkan terima kasih. Lantas, sesudahnya situasi mereka jatuh dalam kecanggungan.
Wajar saja. Miyu tidak begitu mengenal Kanata. Hubungan yang terjalin di antara mereka hanya sekedar pelayan dan pelanggan di café. Mana mungkin Miyu bisa bersikap santai kepada Kanata.
“Sebaiknya, Anda kembali merebahkan diri, Nona Agatha. Sebentar lagi dokter akan datang untuk memeriksa keadaan Anda,” ujar Kanata memecah keheningan.
Penuh kikuk, Miyu menoleh ke Kanata dan sedikit membungkuk membuat Kanata mengerjap kaget. “Sekali lagi, terima kasih banyak dan mohon maaf atas segala masalah yang saya berikan kepada Anda, Tuan Saionji. Saya… saya benar-benar merepotkan Anda.”
“Tidak perlu, sudah sewajarnya bagi saya untuk menolong Anda dalam situasi semacam itu. Anda tidak merepotkan.”
Miyu mendongak, penyesalan memenuhi wajahnya. “Tapi, Anda sampai repot-repot menunggu di sini—”
TOK TOK
“Permisi, Tuan Saionji, kami memenuhi panggilan nurse call.”
Mendengar kedatangan perawat, Kanata bangkit berdiri. “Mereka datang. Rebahkan diri Anda, Nona Agatha.”
Usai berucap demikian, Kanata menghampiri pintu untuk memersilahkan dokter dan suster memasuki ruang inap Miyu. Masih dipenuhi kecanggungan dan kegugupan, Miyu menidurkan diri di ranjang seiring mendengar beberapa suara tapak sepatu memenuhi ruangan.
Seorang dokter wanita muda beserta dua suster menghampiri ranjang Miyu dengan wajah ramah. Dari name tag yang tersemat di snelli, dokter tersebut bernama Merry Amelya dengan gelar Spesialis Obstetri dan Ginekologi alias Kebidanan dan Kandungan. Miyu cukup kaget melihat dokter yang datang memenuhi nurse call bukanlah dokter umum. Dengan begini, Miyu dapat menyimpulkan Kanata telah mengetahui dirinya seorang wanita hamil. Dan entah mengapa, Miyu merasa tidak nyaman.
“Selamat pagi, Nyonya Agatha. Syukurlah Anda telah membuka mata dengan kondisi lebih baik, tidak sepucat semalam. Apakah ada keluhan? Saya akan memeriksa Anda,” ujar Dokter Merry ramah.
“Selamat pagi, dokter. Saya baik-baik saja, terima kasih banyak,” sahut Miyu sedikit gugup.
“Baiklah. Kalau begitu, saya akan memeriksa perkembangan tubuh Anda. Semalam kondisi Anda sangat lemah akibat kelelahan dan serangan demam yang cukup tinggi. Syukurlah Anda mendapatkan penanganan yang tepat waktu.”
Miyu tersentak. “Demam tinggi?”
Dokter Merry mengangguk. “Benar. Suhu Anda menyentuh angka 39,5 derajat celsius dengan kondisi fisik yang sangat lemah.”
Miyu tidak mengira kondisi fisiknya separah itu. Dia telah menyadari kondisi tubuhnya menurun sangat drastis sejak memasuki usia kandungan satu bulan. Dari tubuh yang tidak mudah lelah tiba-tiba menjadi mudah lelah. Miyu menyadari itu sehingga dia berusaha meminimalisir pergerakannya selama bekerja di café. Akan tetapi, usaha Miyu berakhir sia-sia setelah melalui situasi super sibuk café semalam. Hanya satu hari, namun sudah mampu menjatuhkan fisik Miyu.
“Baik, detak jantung normal, tekanan darah juga normal,” ujar Dokter Merry usai salah satu suster memberitahunya.
Miyu menyerahkan termometer yang terapit di ketiaknya saat alarmnya telah berbunyi kepada suster lainnya. Suster itu mengumumkan suhu tubuh Miyu yang hanya turun lima derajat. Kemudian bergerak cepat untuk mengganti kantong infus yang telah kosong.
“Oleh karena kondisi Anda masih sangat lemah, Anda harus benar-benar bed rest selama kurang lebih tiga sampai empat hari tanpa melewatkan jam makan dan obat. Untuk pemeriksaan kandungan, kita lakukan pukul sepuluh. Suster akan datang untuk menjemput dan mengantarkan Anda,” ujar Dokter Merry usai pemeriksaan.
“Baik, terima kasih banyak, dok,” sahut Miyu seadanya, masih cukup kaget mengetahui kandungannya nyaris terancam semalam.
Dokter Merry tersenyum ramah lalu melangkah mundur dari ranjang membuatnya bersinggungan dengan Kanata yang duduk di sofa bed dekat jendela. “Baik, pemeriksaan sudah selesai. Jika butuh sesuatu, silahkan tekan nurse call. Kami permisi, Tuan Saionji, Nyonya Agatha.”
Kanata hanya mengangguk kecil kepada dokter dan suster. Setelah kepergian dokter dan suster, Kanata bangkit dari sofa bed dengan membawakan nampan sarapan yang diantarkan beberapa saat lalu. Melihat Kanata membawakan sarapan membuat Miyu sigap mendudukkan diri, berusaha tidak merepotkan pria itu lebih jauh lagi.
Dalam keheningan, Kanata meletakkan nampan di meja ranjang lalu menggeser meja itu ke hadapan Miyu. Kanata kembali menuangkan air ke gelas dan meletakkannya di samping gelas s**u. Tak elak tindakan cekatan penuh perhatiannya membuat Miyu terbius sekaligus gugup. Miyu benar-benar tidak bisa tenang melihat perlakuan Kanata.
Kanata duduk di samping ranjang, tidak bersuara. Merasa sungkan, Miyu bertanya, “Apakah Anda sudah sarapan, Tuan Saionji?”
“Jam sarapan saya masih satu jam lagi.”
Miyu melirik jam dinding yang menempel di atas televisi dinding, pukul delapan. Dia mengangguk kecil. “Ah, saya mengerti.”
“Makanlah, tidak perlu memikirkan saya. Anda harus segera memulihkan diri.”
Miyu kembali mengangguk diiringi senyuman tipis. “Terima kasih banyak, Tuan Saionji.”
Dengan begitu, Miyu mulai melahap sarapan yang terdiri dari nasi merah, sup, ayam goreng, telur dadar, dan semangkuk potongan aneka buah segar. Walau sedikit sungkan makan di hadapan Kanata yang tidak sedang makan, Miyu berusaha mengesampingkannya demi memulihkan diri. Dia akan menahan segala pertanyaan yang ingin ditanyakan kepada Kanata.
Dalam benak Kanata, pria itu pasti juga memiliki banyak hal untuk dibicarakan dengan Miyu. Sebagai orang yang menolong Miyu, Kanata jadi mengetahui kondisi aslinya sebagai wanita hamil dan situasi yang dihadapinya semalam pasti tidak begitu mudah.
Di sisi lain, Kanata diam menatap Miyu. Pria bersurai kecokelatan itu memiliki banyak pertanyaan dalam kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan seputar Miyu yang baginya bersifat privasi namun sangat ingin dia tanyakan. Jujur saja, Kanata masih dilanda kaget sejak mengetahui wanita bersurai keemasan itu merupakan seorang wanita hamil. Kanata tidak menyangka sama sekali. Dia pikir, Miyu pingsan karena kelelahan dan demam akibat dari sibuknya pekerjaan di café. Nyatanya, hal-hal itu memiliki pemicu tambahan yang lebih ekstrem, kandungan.
Perasaan Kanata berkecamuk sejak semalam. Padahal Miyu bukan siapa-siapa, tetapi d**a Kanata terisi oleh perasaan-perasaan aneh yang tidak dapat dijelaskan, entah apa. Miyu hanyalah kenalan di café yang selalu melayaninya, tidak lebih dari itu. Maka seharusnya Kanata tidak perlu merasakan hal seaneh itu. Tetapi, kenapa? Kenapa perasaan Kanata berkecamuk?
“Tuan Saionji,” panggil Miyu tiba-tiba, membuyarkan lamunan Kanata.
“Ya? Ada apa?” sahut Kanata senormal mungkin.
“Bisakah Anda menjelaskan ini rumah sakit mana dan… ruang inap kelas berapa yang saya tempati?”
Bukan mengapa, batin Miyu tercengang melihat keseluruhan sudut ruang inap yang ternyata lebih mewah dari dugaannya. Sebelumnya dia tidak dapat melihatnya secara detail karena terhalangi oleh tubuh Kanata. Kini, Miyu dapat mengedarkan pandangannya dan menemukan adanya satu sofa bed dan satu meja makan di sebelahnya.
Miyu kira bukan hanya dirinya yang menempati ruang inap, ternyata salah besar, dia menempati ruangan itu sendirian. Tidak ada ranjang lain. Artinya, ruang inap yang ditempati Miyu merupakan ruang inap kelas atas yang hanya ditempati satu pasien. Artinya lagi, biayanya mahal!
“Anda berada dalam perawatan RSU Bunda Jakarta daerah Menteng. Hanya sekitar empat ratus meter dari café Anomali,” tutur Kanata menjelaskan, “hanya rumah sakit inilah yang terdekat dari café Anomali, jadi saya membawa Anda ke sini. Untuk ruang inapnya, ini ruangan Perdana.”
Miyu mengerjap cepat, wajahnya mengeruh. “Perdana?”
Kanata mengangguk kecil. “Tidak ada kelasnya. Ini ruang VIP.”
Tangan Miyu spontan meletakkan sendok di nampan. Wajah mengeruhnya berubah menjadi melongo penuh kekagetan terhadap Kanata. Sementara, Kanata masih berwajah datar dengan kedipan polos tak berdosa. Berbanding terbalik dari wajah syok Miyu.
“V—VIP? A—Anda menempatkan saya di ruang inap VIP?”
“Begitulah. Dokter UGD berkata kondisi Anda sangat lemah dan perlu menjalani perawatan inap yang intensif, jadi saya menempatkan Anda di ruang Perdana. Sebelumnya, saya memilih ruang Mitra Suite yang lebih nyaman, tetapi sedang tidak tersedia. Maka, beginilah, Anda ditempatkan di ruang Perdana.”
Rahang Miyu jatuh. “Mitra Suite?”
“Ruang VVIP yang memiliki fasilitas lebih lengkap dari ruangan ini.”
“Tunggu sebentar, Tuan Saionji,” Miyu mengambil napas panjang lalu mengembuskannya perlahan guna menetralkan diri dari segala guncangan syok. Tidak mungkin baginya untuk memarahi Kanata yang telah menolongnya, jadi dia harus tetap tenang. “Saya sangat berterimakasih atas segala bantuan Anda, Tuan Saionji. Tetapi, saya akan lebih berterimakasih jika saja Anda menempatkan saya di ruang inap biasa, alih-alih ruang VVIP dan VIP.”
Alis tebal Kanata naik sebelah. “Kenapa?”
“Biayanya tinggi, sangat tinggi. Saya tidak tahu bagaimana—”
“Saya penanggungnya.”
Mata Miyu melotot kecil. “A—Apa?”
“Anda tidak perlu mengkhawatirkan biaya rumah sakit, saya penanggungnya. Sudah menjadi pilihan saya untuk menempatkan Anda di ruang inap berfasilitas sebaik mungkin, jadi Anda tidak perlu memikirkannya.”
“Tidak bisa begitu, Tuan Saionji. Bagaimana bisa saya membiarkan Anda yang menanggung seluruh biaya rumah sakit saya? Anda tidak perlu bertindak sejauh itu.”
“Tidak masalah bagi saya. Karena semalam kejadiannya sangat mendadak, saya terpaksa menjadi wali Anda di sini. Segala perawatan yang Anda dapatkan secara otomatis ditanggungkan ke nama saya.”
Miyu bergerak maju. “Tuan Saionji, Anda tidak perlu—”
“Itu juga karena saya tidak mengetahui suami Anda, begitulah akhirnya.”
Bibir Miyu bungkam. Dalam sekejap, segala protesnya sirna dari kepala. Otak Miyu jadi berpikir rasional. Keputusan yang dibuat oleh Kanata bukanlah keputusan sembarangan. Pria itu terjebak dalam situasi darurat yang tidak ia inginkan, terlebih terlibat dengan wanita hamil yang tidak sadarkan diri. Ia pasti melalui situasi yang membingungkan dan satu-satunya cara adalah memilih jalan keluar darurat yang paling aman.
Keputusan Kanata untuk menceburkan diri mengurus Miyu tidak patut disalahkan. Salah Miyu yang tidak bisa menjaga kondisi tubuhnya.
TO BE CONTINUED