BAB 14

1875 Words
“Hei, Kanata, kau di mana? Aku mengunjungi apartemen, tapi kau tidak ada di sana. Kau pergi ke gym?” Ketika Kanata menceburkan diri untuk membantu Miyu, dia sudah mengantisipasi beberapa hal. Pertama; keluarga dan kekasih Miyu, kedua; situasi di rumah sakit, ketiga; Santa. Ya, Santa. Kanata belum menceritakan apa pun tentang Miyu kepada Santa sehingga ketika pria itu mencari Kanata—seperti saat ini—Kanata sudah menyiapkan beberapa alibi. Tidak, Kanata tidak akan berbohong. Hanya sedikit beralibi dengan bumbu kebohongan kurang dari lima persen. Mengapa demikian? Sebab Santa termasuk tipe mulut bocor alias tidak bisa diam, terlebih jika menyangkut kehidupan asmara Kanata. “Tidak, aku tidak pergi ke gym,” sahut Kanata setelah jeda beberapa menit. “Huh? Lalu? Kau sedang jogging?” “Tidak.” “Huh? Apa yang kau lakukan di pagi hari Minggu begini?” Jika aku menjawab sejujurnya, apakah dia akan heboh? Bagaimana penyusunan kalimatnya? “Di rumah sakit, membantu kenalanku yang sedang hamil”? batin Kanata mulai bingung, padahal dia sudah menyiapkan sekian alibi untuk Santa. “Oi, Kanata? Kau masih hidup?” Kanata menghela napas panjang. Persetan dengan mulut bocor Santa. “Di rumah sakit, mengunjungi salah satu kenalanku. Aku akan kembali jam setengah sebelas.” Terdengar suara Santa sedang tersedak tepat setelah Kanata melontarkan jawaban membuat Kanata melengos. Kanata yakin pria berisik itu sedang heboh sendiri di sana, lengkap dengan prasangka-prasangka konyolnya. Kanata tidak akan peduli, lebih tepatnya, berusaha untuk tidak peduli. Apa pun yang Santa ocehkan, Kanata harus bodo amat demi menjaga kewarasannya di rumah sakit. “Ru—rumah sakit?! Kau bilang rumah sakit?! Siapa yang sedang sakit?! Kau?! Apa yang telah terjadi?!” “Bukan aku, bodoh. Kenalanku.” “Kenalan yang mana, huh?! Sejak kapan kau punya kenalan di Indonesia?! Di rumah sakit mana kau?!!” Kening Kanata spontan mengernyit. “Apa yang ingin kau lakukan, huh?” “Tentu saja menemuimu, bodoh. Kau tega sekali menyembunyikan sesuatu dariku! Setelah kupikir kau hanya menyembunyikan perkara café langganan makan siangmu, ternyata ada lagi!” Kanata mendecak kesal. “Kau hanya sahabat sekaligus asistenku, bukan kekasihku.” “Tidak, tidak, tidak bisa begitu prosedurnya, mata karatan! Aku jelas harus tahu apa saja yang kau lakukan selaku sahabat sekaligus asistenmu! Kau pikir, jika terjadi apa-apa padamu, Saionji Phantom memiliki pengganti?!” “Berlebihan sekali.” “Hentikan perdebatan konyol ini, Tuan Saionji. Beritahu aku di mana kau berada sekarang!” Kanata mengembuskan napas pendek. “Kau tidak perlu datang. Aku akan kembali ke apartemen jam setengah sebelas tepat. Tunggu saja di sana. Akan kujelaskan nanti.” “A—Apa?! Hei, beritahu aku, sialan—” “Jaa.”   Tanpa belas kasih, Kanata memutus sambungan telepon secara sepihak, menggantungkan Santa dalam kungkungan syok sekaligus penasaran. Apa boleh buat? Kanata tidak ingin Santa membuat kericuhan di rumah sakit. Dia tidak bisa memercayai mulut bocor dan tingkah berisik pria itu yang di luar batas. “Tujuh juta enam ratus rupiah, sekitar lima puluh lima ribu yen,” gumam Kanata seraya bangkit berdiri dan memasukkan ponsel ke saku celana, “murah sekali.” Bertepatan dengan selesainya gumaman Kanata, pintu ruang pemeriksaan dokter obgyn terbuka, memersilahkan Miyu keluar didampingi suster. Kanata segera menghampiri Miyu. Dia bernapas lega melihat raut wajah Miyu berseri-seri, pertanda kandungannya baik-baik saja. “Bagaimana?” tanya Kanata sesaat setelah sampai di hadapan Miyu yang duduk di kursi roda. Miyu tersenyum hangat. “Syukurlah, tidak ada masalah. Semua baik-baik saja.” Kanata ikut tersenyum. “Baguslah.” Kanata mengambil alih Miyu dari suster yang mengantarkan Miyu keluar dari ruang pemeriksaan. Keduanya berpamitan singkat lantas melangkah kembali ke kamar inap Miyu di lantai tujuh. Miyu tidak membuka suara, begitu pula Kanata. Wajar-wajar saja. Mereka tidak memiliki hubungan sedekat teman, hanya sekedar kenalan semata. Keadaanlah yang memaksa mereka mendekat sedemikian rupa melampaui batas kenalan. Miyu jadi bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan bersama Kanata. Tentu saja Kanata tidak pantas mendapatkan sikap dingin berhubung dialah penyelamat Miyu. Akan tetapi, Miyu benar-benar bingung untuk sekedar memikirkan apa yang harus dia lakukan dengan Kanata. Siapa pula yang tidak bingung jika menghadapi situasi Miyu sekarang? “Nona Agatha,” panggil Kanata sesaat setelah pintu lift tertutup, sedikit mengagetkan Miyu. “Ya, Tuan Saionji? Ada apa?” “Saya akan kembali setelah mengantarkan Anda.” Miyu mengangguk. “Baiklah. Terima kasih banyak atas segala bantuan Anda, Tuan Saionji. Saya telah merepotkan Anda semalam penuh.” “Apakah Anda akan baik-baik saja setelah saya tinggal? Anda harus menghubungi keluarga Anda.” “Saya baik-baik saja, tidak perlu khawatir, Tuan Saionji. Saya akan menghubungi mereka.” Pintu lift terbuka di lantai tujuh. Kanata segera mendorong kursi roda Miyu, membawanya menuju kamar inap yang terletak di ujung koridor pertama. Hening kembali menyelimuti mereka setelah percakapan kecil tersebut. Ya, tidak ada yang bisa dilakukan, keduanya tidak terikat hubungan selayaknya teman, hanya kenalan. Gue nggak tahu harus bilang gimana ke Aya sama Nana, astaga. Apa yang bakal mereka pikirin soal ini nantinya, batin Miyu sedikit tersiksa oleh prasangka-prasangka buruk tentang respon kedua sahabat protektifnya. Memasuki kamar inap, Kanata mendorong kursi roda Miyu sampai ke pinggir ranjang. Pria itu menyibak selimut agar tidak terduduki oleh Miyu. Kemudian ia bergerak secara kasual menyelipkan tangannya ke belakang bahu dan lutut Miyu. Benar-benar kasual seolah tiada masalah berdekatan dengan Miyu. Berbanding terbalik dari Miyu yang mati-matian mengendalikan raut wajahnya agar tidak memerah dan jantungnya agar tidak berdetak terlalu kencang. Dalam sekali gerakan, Kanata mendudukkan Miyu di ranjang. Tidak terlihat keberatan sama sekali selama mengurus Miyu hingga Miyu kian dirundung oleh rasa sungkan. Kanata menatap arloji di pergelangan kirinya sebelum memerbaiki lengan kemeja putihnya yang tergulung sampai siku. “Baik, saya akan kembali. Saya meletakkan kartu nama saya di nakas. Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungi saya berhubung saya jugalah yang akan menanggung tagihan rumah sakit.” Kanata dan Miyu sempat mendebatkan permasalahan tagihan rumah sakit sebelum Miyu melakukan pemeriksaan kandungan. Sewajarnya yang terjadi, Miyu tidak ingin Kanata menanggung semua beban tagihan. Miyu sendiri merasa tidak yakin dia mampu membayar seluruh tagihan yang sudah pasti mahal karena ditempatkan di ruang VIP. Jadi, Miyu mengajukan diri untuk membayar sebagian. Tetapi, Kanata menolak. Perdebatan itu berakhir setelah seorang suster datang menjemput Miyu untuk mengantarkannya menjalani pemeriksaan kandungan. Oleh sebab interupsi tersebut, argumen Kanata menang telak. Miyu tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain mengikuti keputusan pria berdarah Jepang tersebut. “Hati-hati di jalan, Tuan Saionji.” Kanata melempar senyum tipis kepada Miyu sebelum kemudian melangkah keluar dari kamar inap Miyu. Setelah semalaman penuh berada di rumah sakit, akhirnya Kanata bisa keluar dengan tenang. Kalau ada yang bertanya apakah terasa melelahkan, Kanata akan menganggukan kepala. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Kanata melalui situasi semendesak dan sepanik itu meski Miyu hanya sekedar kenalannya. Miyu membaringan tubuhnya usai meraih kartu nama Kanata yang tergeletak di nakas. Wanita hamil itu menyamankan posisi agar tidak menyakiti buah hati kecilnya. Dengan wajah hangat penuh aura keibuan, Miyu mengelus perut datarnya. Masih merasa senang sekaligus bersyukur karena buah hatinya baik-baik saja. Sepertinya, bayi kecil Miyu sangat kuat lebih dari yang dia duga. “Ya, kau orang yang sama, Tuan Saionji,” gumam Miyu seraya mengamati kartu nama Kanata. Dalam benaknya, dia membandingkan kartu nama itu dengan kartu nama di rumahnya. Lantas, tersenyum miris. “Kalian orang yang sama.” *** “Jelaskan padaku apa yang sebenarnya telah terjadi, bodoh?! Setelah sekian lama aku menunggu penjelasan yang kau ulur-ulur, kau masih berniat mengulur lebih lama lagi?!” Saionji Kanata berusaha tidak memedulikan mulut bocor Santa yang sangat sigap mengoceh. Baru saja memasuki kamar apartemen Kanata, Santa sudah gencar mengocehkan segala keluhannya, menyakiti telinga Kanata. Kanata tidak bisa berbuat banyak. Memang seperti itulah watak Santa. Dari sejak Santa menelponnya di rumah sakit, Kanata sudah mengantisipasi hal-hal semacam ini. Tetapi, tetap saja, Kanata tidak betah! “Kanata, aku sedang berbicara padamu! Jelaskan maksudmu sekarang juga—” “Aku menolong kenalanku, seorang wanita hamil yang jatuh sakit akibat kelelahan bekerja di café.” Santa yang berdiri di belakang Kanata spontan melongo dengan wajah bodohnya. Pria itu berdiri kaku di belakang Kanata seolah tersihir oleh mantra yang membekukan tubuhnya. Kanata melengos lega, telinganya tidak harus melalui penyiksaan lebih jauh lagi. Ketika Santa diam itulah saatnya hidup Kanata terasa damai. Namun, sekali lagi, Kanata kenal Santa sampai ke akar-akarnya. Diamnya pria itu tidak pernah lebih dari dua menit. “Huh? Apa katamu? Wanita hamil?” Santa melotot. “Kau menjalin hubungan dengan wanita bersuami?!” PLAK! “Tidak, idiot.” Santa mengelus pundaknya yang terasa perih akibat dari menjadi sasaran tangan pedas Kanata. “Lalu, bagaimana bisa, huh?! Kau benar-benar harus menjelaskan segalanya dari awal padaku! Ucapanmu sungguh ambigu!” Kanata memutar badannya ke depan, meraih cangkir kopi yang tidak sempat dia raih gara-gara tersulut emosi oleh tuduhan bodoh Santa. “Dia hanya sekedar kenalanku di café. Aku sengaja melewati café untuk menengok, tak disangka saja dia sedang ‘sekarat’ di trotoar. Jika aku tidak ada, entahlah bagaimana nasibnya.” Santa mengikuti langkah Kanata yang menuju ke sofa. “Dan dia seorang wanita hamil?” “Begitulah.” “Kau tahu itu?” Kanata mendudukkan diri di sofa sambil menyesap kopi. “Tidak. Jika tidak ada insiden semalam, aku tidak akan tahu dia seorang wanita hamil.” Santa melipat tangan, duduk di sebelah Kanata. “Kenapa begitu? Dia masih muda?” Bola mata Kanata memutar ke atas, menengok langit-langit, mencoba mengira-ngira usia Miyu berdasarkan penampilan fisiknya. Bagi Kanata yang cukup mengenal Miyu, Kanata asumsikan wanita itu tidak lebih tua darinya. “Mungkin sekitar dua puluh empat.” Santa mengerjap kaget sekaligus kagum. “Itu muda sekali.” Kanata tidak memberi tanggapan. Dia kembali menghabiskan sisa kopi Starbucks dalam cangkir, merasa sudah cukup memberikan penjelasan kepada Santa. Bukan mengapa, Kanata hanya tidak begitu suka jika Santa terlalu ikut campur ke dalam hal-hal yang menurutnya privasi. Mereka memang bersahabat karib sejak TK, tetapi Kanata memiliki aturan pembatas yang harus Santa patuhi. Selain itu, membahas Miyu terus-menerus hanya akan membuat Kanata semakin khawatir kepadanya. Kanata memang meninggalkan Miyu sesudah situasi tegang reda. Dia sendiri yang memastikan keadaan Miyu baik-baik saja untuk ditinggal. Miyu juga pasti akan mengabari keluarganya dan segera mendapatkan teman yang menemaninya selama di rumah sakit. Ah, keluarga? Artinya, suami Miyu akan datang ke rumah sakit, benar? Kenapa Kanata melupakan poin penting itu? Miyu adalah wanita hamil. Walau tidak melihat cincin melingkari jari manisnya, Miyu tidak mungkin hamil tanpa suami. Pria itu akan datang untuk menemani Miyu di rumah sakit sewajarnya suami yang siaga. Kanata tidak tahu secara pasti ada atau tidaknya eksistensi pria itu dalam hidup Miyu, tetapi dia mencoba untuk meyakininya. “Lalu, bagaimana? Apakah dia baik-baik saja? Kau sempat bertemu dengan keluarganya?” tanya Santa membuyarkan lamunan Kanata. “Dia baik-baik saja, tidak ada masalah,” Kanata bangkit berdiri hendak mencuci cangkir kopi yang telah kosong, “aku tidak sempat bertemu dengan keluarganya. Nah, cepat atau lambat aku pasti menemuinya berhubung namaku yang kucantumkan sebagai wali dan penanggungjawab.” Santa kembali melotot tak percaya ke punggung Kanata. “Kau melakukannya?!” “Memangnya ada pilihan lain?” “Aku tidak percaya ini.” “Itu masalahmu.” Santa berdiri. “Sebelum ini berjalan semakin jauh, kutanyakan padamu, Kanata.” Kanata hanya berdehem tak peduli. “Kau tidak menyimpan perasaan apa pun kepada kenalanmu itu, bukan?” TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD