BAB 14

1001 Words
            Mama dan papa pulang ke rumah. Wajah mereka tampak lelah akibat harus menemani nenek di rumah sakit. Sakit jantung yang diderita nenek, membuat keduanya mau tidak mau harus menyisakan waktu tidurnya untuk menanti kedua mata nenek terbuka. Mama sendiri tampak sangat lelah dan memilih untuk tidur sedangkan papa, langsung menyegarkan tubuhnya dengan mandi lalu memilih tidur tanpa berbasa-basi terlebih dulu pada Viola maupun Panji yang sore itu memilih menonton tv di ruang keluarga.             Acara makan malam menjadi ajang pembahasan keadaan nenek yang mulai membaik namun belum diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Kalau saja kerjaan papa bisa di cancel, pasti keduanya belum pulang hari ini. Viola sendiri berniat mengunjungi nenek beberapa waktu ke depan. Namun Ujian Nasional yang sudah di depan mata, membuatnya harus lebih bersabar untuk menanti satu waktu mengunjungi nenek kesayangannya itu.             Hanya Nenek Uti yang tersisa. Nenek Uti adalah orang tua dari mama yang masih hidup. Sementara kedua orang tua papa dan ayah dari mama, telah meninggal beberapa tahun lalu. Nenek Uti yang tidak ingin diajak ke Jakarta, lebih memilih menetap di Cirebon. Dia merasa berat meninggalkan rumah kenangan yang sejak dia tempati semenjak menikah dengan kakek. Dia merasa, hidupnya akan lebih bermakna jika tetap berpijak pada kenangan. Seakan dirinya, selalu berada dekat dengan kakek.             “Vi, gimana Aldo, masih pacaran?” Pertanyaan mama, spontan mengagetkan Viola yang saat itu baru saja memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Panji sendiri berpura-pura cuek dengan terus melahap makan malamnya. Viola menarik kedua sudut bibir dan menatap sang mama yang masih menanti jawaban.             “Alhamdulillah masih kok, Ma.” Viola menjawab ragu, Di satu sisi dia senang bukan main karena sang mama bertanya tentang hal itu padanya. Namun di sisi lain, ada Panji di dekatnya yang membuat Viola merasa tidak enak jika harus membahas tentang hubungannya dengan Aldo. Viola tidak berani melirik ke arahnya. Apa pun yang ada di hati Panji tentang pembahasan itu, Viola tidak ingin mengetahuinya. Dia benar-benar cemas jika Panji harus kembali marah padanya.             “Syukurlah, soalnya mama dan papa punya niatan.” Mama kembali memainkan sendok dan garpunya di atas piring dengan senyuman di bibirnya.             “Niatan apa, Ma?” Viola mengernyitkan dahi. Ada rasa takut di hatinya saat mendengar kalimat mama yang bisa saja menimbulkan masalah baru antara dirinya dan juga Panji.               “Mama sama papa mau ngadain bakar-bakar di rumah. Yah, bakar ikan, ayam atau masakan lainnya. Dan mama ingin ngundang Aldo dan ....” Mama mengalihkan tatapan ke Panji. “Luna.”             Panji menghentikan lahapannya. Tangan kanannya terhenti sebelum berhasil memasukkan nasi ke dalam mulut. Kedua matanya tertuju ke mama yang kini berpura-pura tidak melihatnya. Terdengar helaan napas Panji saat itu.             “Gak perlu undang dia. Dan gak perlu juga undang orang lain lagi. Cukup kita berempat, rasanya udah seru!” Panji kembali melahap makannnya. Kalimatnya membuat mama menatap kembali dengan tatapan serius.             “Kenapa? Gak ada salahnya juga ngundang Aldo dan Luna, kan?” Mama menaikkan alis matanya seakan memancing emosi Panji.             “Mama!” Papa menatap mama. Tatapannya begitu mengandung keenganan jika harus kembali bertengkar saat makan malam berlangsung. Mama sendiri langsung mengalihkan tatapannya ke papa.             “Lho, papa ini gimana sih. Bukannya ini udah jadi perjanjian kita buat ngundang Luna dan Aldo?” Nada mama meninggi. Dia benar-benar tidak terima jika harus disalahkan akibat rencana yang disusun keduanya.             “Iya, tapi kalau mereka gak mau, gak perlu juga kan memaksakan keinginan kita?” Papa meraih gelas minumannya, dan langsung meneguk air mineral hingga setengah gelas. Meletakkannya kembali dan menatap mama yang masih menatapnya kesal.             “Pokoknya harus, dan mereka juga bakalan tinggal di sini satu malam.”             Panji semakin kaget mendengarnya. Sendok di tangannya, terlepas seketika menimbulkan bunyi hantaman sendok dengan piringnya. Semua mata tertuju pada Panji yang masih menatap lamat-lamat ke arah mama.             “Nginap? Mama gak salah?” Panji masih saja menatap tajam ke arah mama yang masih tampak tenang. Viola yang menyaksikan itu, hanya berusaha tenang dengan menundukkan kepala.                        “Ya enggaklah, kasihan juga kan kalau mereka harus pulang tengah malam.”             “Tapi, Ma!” Panji menghentikan kalimatnya saat tangan Viola menggenggam pergelangan tangan kanannya. Panji menghela napas. Emosinya langsung mencair saat tatapan teduh Viola, menjurus ke arahnya.             “Ini udah jadi keputusan mama, malam minggu ini kita buat acaranya. Kamu bilang ke Aldo ya, Vi.” Viola mengangguk pelan. “Dan kamu, Panji. Bilang sama Luna tentang undangan mama ini!”             “Panji gak mau!” Panji beranjak dari kursinya dan untuk kedua kalinya pergi sebelum semuanya selesai makan malam. Mama berseru memanggil Panji, namun papa dengan cepat menghentikannya. Mencoba menenangkan mama yang masih terlihat emosi.             “Viola, sana tenangkan Bang Panji.” Papa menggariskan segaris senyuman di bibirnya. Viola mengangguk lalu pergi meninggalkan papa yang masih menenangkan mama yang mulai mereda.             Panji berdiri di balkon kamar. Kedua tangannya terlihat menyentuh atas penghalang yang tingginya hampir setengah badannya agar tidak jatuh ke lantai bawah. Viola yang baru saja masuk, dengan langkah berat mendekati Panji dan berdiri di pintu balkon. Emosi masih menguasai lelaki yang sejak dulu selalu saja tak sepaham dengan mama. Padahal sejak dulu tampak sekali, mama lebih menyayanginya dari pada Viola. Namun bagi Panji, mama tetaplah mama. Wanita yang terkenal egois dan tak pernah mau mengalah. “Kenapa harus setuju sama rencana mama sih, Vi?!” Panji mengarahkan tatapannya ke Viola.               “Bukan setuju, Viola cuma gak mau mama marah. Itu aja.” Viola meremas tangannya sendiri. Menatap Panji yang kini memegang kedua pinggangnya dengan napas memburu hebat.             “Tapi itu sama aja buat mama makin ngedeketin abang sama Luna!”             Viola menundukkan kepala sembari terus memainkan jemari tangannya. Dia berharap emosi yang masih membendung Panji, bisa luntur seiring detikan waktu.             “Abang juga gak suka sama Aldo!” Panji kembali membelakangi Viola yang kini menatapnya heran.             “Bukannya abang udah setuju?”             Tak terdengar suara Panji saat itu. Viola yang masih berdiri di belakangnya, hanya terdiam. Dia tahu jelas sikap Panji yang tak akan mau menjawab jika pertanyaan itu membelitnya. Viola kembali menundukkan kepala tanpa meminta jawaban atas kalimat Panji yang berhasil membingungkannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD