Chapter 3

1039 Words
Tuuut ... tuuuttt ... tuuuuttt.... [Nomor telepon yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan. Silakan-] "Kamu ke mana sih, Ray?!" Azanie menggeram kesal. "Mau sampe kapan kamu menghindari aku? Kamu pikir bisa lari dari semua ini? Kamu pikir aku akan melepaskan kamu dari tanggung jawabmu?" Wanita itu mendengkus kasar. "Jangan harap kamu bisa melarikan diri dari masalah ini dan menikahi Innara, lalu mencampakkan aku begitu aja, Rayka!" Azanie memarkirkan mobilnya dibawah pohon mangga yang ada di depan rumah Innara. Tidak ada tindak lanjut dari Rayka sejak terakhir kali ia mengakui bahwa dirinya tengah mengandung janin yang merupakan anak Rayka. Tampaknya lelaki itu sedang bimbang. Tapi, Azanie merasa sudah cukup memberinya waktu. Dia akan maju. Sebab baginya pertaruhan ini adalah sekarang atau tidak sama sekali. Kalau memang kamu nggak bisa menyelesaikannya sendiri, maka aku yang akan selesaikan ini buat kamu, Rayka. Tenang aja, aku jamin Innara akan paham dan merestui kita. Wanita itu mengambil ponselnya, kemudian mengetikkan sesuatu dan mengirimkannya kepada Innara. "Nara, sudah saatnya kamu tahu apa yang terjadi sesungguhnya." Azanie menghela napas panajang, menatap rumah Innara dari dalam mobil. "Kamu juga harus tahu, milik siapa Rayka sebenarnya." Azanie menekan tombol 'send' pada sederet chat yang sudah di ketik dan menunggu kemunculan Innara. Azanie, 19.17: Nara, kamu ada waktu? Azanie, 19.18: Aku ada di depan rumah kamu, bisa keluar sebentar? Azanie, 19.19: Ada yang mau aku omongin. Azanie, 19.20: Penting. Innara baru selesai mandi saat melihat sederet pesan - pesan yang masuk dari Azanie. Wanita itu menoleh ke jendela, dan benar saja. Sedan putih yang biasa Azanie kendarai sudah terparkir di depan rumah Innara. Innara, 19.23: Iya, Za. Innara, 19. 24: Aku keluar sekarang. Wanita itu langsung beranjak dari kamarnya dan keluar untuk menemui Azanie. Seminggu sebelum pernikahan dilangsungkan, Innara sedang dalam masa dipingit. Dia tak di izinkan untuk bertemu dengan Rayka ataupun keluar rumah. Tapi kalau hanya keluar pagar, pasti tidak apa – apa, begitu pikirnya. Senyuman Innara langsung mengembang begitu ia melihat sosok Azanie dari balik kaca mobilnya. "Hei, Za!" sapanya ramah sambil mengetuk pintu kaca mobil. Azanie menurunkan kaca jendela mobilnya, kemudian membuka kunci pintu mobilnya dan membiarkan Innara untuk masuk ke dalam. Innara duduk di samping kursi kemudi, ia menatap ke arah Azanie. Anehnya, wanita itu sama sekali tidak tersenyum dan hanya menatap Innara dengan wajah datar. Inara jadi tidak tahu apakah ia melakukan kesalahan kepada Azanie sebelumnya atau tidak. Akan tetapi, seingat Innara mereka sama sekali tidak punya masalah untuk diperdebatkan. Namun, saat ini ia menghampiri Azanie yang bertandang ke rumahnya karena ada yang ingin dibicarakan oleh sahabatnya itu. "Za, kenapa?" Innara menyentuh pundak Azqnie denga. Lembut. "Katanya ada yang mau kamu omongin sama aku, ya?" Innara menatap Azanie dengan lekat. Akan tetapi, Azanie justru membuang muka dan menoleh ke arah jendela, wanita itu melihat keluar dan tidak berani memandang mata Innara. Ia tak tahu apa alasannya Azanie berlaku demikian, namun entah kenapa perasaan Innara terasa tidak enak. Rasanya seperti ada yang mengganjal akan tetapi Innara tidak tahu di mana letak kesalahannya. "Aku memang mau ngomong sesuatu, tapi ...." ucapan Azanie mengganting di udara. "Nara, aku ...." Innara menunggu Azanie menyelesaikan kalimatnya. Akan tetapi, Azanie justru terisak dan menangis secara tiba - tiba. Innara terkejut dan sontak ia langsung menarik wanita itu ke dalam pelukannya, menepuk - nepuk punggungnya dengan lembut Sambil mencoba menyalurkan kehangatan sebisa mungkin. "Za, ada apa? Kenapa kamu nangis?" Innara tampak khawatir. Ia menangkap wajah Azanie dengan kedua tangannya, kemudian menghapus air mata yang mengalir di pipi wanita itu dengan lembut. Azanie menggeleng, "aku nggak tahu gimana cara ngomongnya, Ra..." "Nggak apa - apa, Za, ngomong aja. Aku akan bantu sebisaku semua masalah kamu. Aku akan coba ngertiin kamu." Innara menepuk punggungnya pelan. "Aku ...." Azanie tampak tidak sanggup mengatakannya. "Nara, aku ...." Innara menunggu dengan sabar sampai Azanie mengatakan semuanya. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Tapi melihat Azanie seperti ini begitu melukai hati Innara. Azanie selama ini sudah banyak membantunya. Innara juga ingin menjadi teman yang bisa meringankan beban Azanie. "Nggak apa – apa, Za. Aku dengerin kamu." Innara dengan sabar menguatkan. "Maafin aku, Nara. Aku mohon maafin aku." Azanie terisak lagi. "Aku ... hamil dan anak di dalam kandunganku adalah anaknya Rayka." "Apa?" Mendadak Innara kehilangan kata – kata. Ia bagai tersambar petir di siang bolong. Kalimat yang keluar dari bibir Azanie barusan tampak tidak nyata dan tidak bisa di percaya. Bagaimana mungkin itu terjadi? "A- apa kamu bilang, Za?" Air mata di pelupuk Innara mulai mengembang. Wanita itu menatap nanar pada sahabatnya yang tengah menangis pilu. "Maafin aku Nara ..." Azanie menutupi wajahnya. "Aku hamil, dan ayah dari calon bayiku adalah Rayka." "Hah?" Mendadak pikiran Innara kosong seketika. Rayka adalah calon suaminya. Mereka akan menikah minggu depan. Semuanya sudah di persiapkan. Undangan, catering, souvenir, gaun pernikahan, gedung dan dekorasi, bahkan sampai kelengkapan untuk orang tua mempelai sudah sempurna. Innara hanya perlu menunggu sampai hari pernikahannya tiba. Tapi kenapa? "Azanie kamu lagi bercanda, kan? Kamu lagi nge-prank aku, kan?" Air mata di pelupuk Innara jatuh membasahi pipinya. "Bilang sekarang kalau kamu lagi bercanda, Za!" Innara merasa pusing, dia memijat pelipisnya yang mendadak tegang dan penat. "Gimana mungkin, Za? Gimana bisa anak yang kamu kandung itu anaknya Rayka?!" Wanita itu masih merasa tidak percaya akan apa yang dia dengar. Rayka adalah sosok lelaki yang lembut, perhatian, dan setia. Selama ini lelaki itu sama sekali tidak pernah macam – macam. Mereka melewati waktu yang tenang dan bahagia. Sampai – sampai Innara berpikir bahwa pernikahan mereka adalah berkat hikmat yang Maha Kuasa. Tapi ternyata .... "Za! Azanie!" Innara mengguncang – guncang tubuh Azanie. "Ayo, bilang sekarang juga ke aku kalau kamu lagi bercanda. Iya, kan? Kmau cuma bercanda, kan?" Azanie hanya menggeleng. Air mata masih mengalir deras membasahi pipi. Sesekali wanita itu sesenggukan. "Maaf, Nara ... aku minta maaf!" Innara mencoba menenangkan diri. Ia tahu kalau menangis tidak menyelesaikan apapun. Jadi wanita itu pun memutuskan untuk menarik napas dalam – dalam, kemudian menatap mata Azanie lurus. "Za, jelasin ke aku. Kenapa kamu bisa bilang kalau kamu hamil anak Mas Rayka?" Innara meremas pelan bahu Azanie, menuntut jawaban. "Kamu sahabatku. Selama ini kamu nggak mungkin kan sama Mas Rayka ...." Azanie tidak menjawab, dia mengeluarkan alat tes kehamilan dan memberikan sebuah memory card pada Innara. "Silakan kamu cek sendiri, Nara."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD