Bab 2

1108 Words
Tak berapa lama, Taksi yang dinaiki Kania akhirnya berhenti di depan sebuah gedung apartemen bertingkat tinggi, menjulang gagah di tengah keramaian ibu kota. Supir taksi membantu menurunkan koper dari bagasi, sementara Kania berdiri di sisi trotoar, mendongak menatap gedung itu dengan decak kagum kecil. Apartemen itu tak terlalu mewah, tapi juga jauh dari kata sederhana. Tidak besar, tidak kecil namun cukup nyaman untuk seorang gadis yang baru akan memulai hidup barunya. Lokasinya sangat strategis, dekat dengan mall besar, halte busway, dan hanya butuh beberapa menit berjalan kaki ke kampus yang akan ia masuki nanti. "Ayah emang paling ngerti," gumamnya sambil tersenyum kecil. Ia membuka ponsel, memotret bagian depan apartemen, lalu mengirimkannya ke grup keluarga kecil mereka. “Sudah sampai, Ayah... Bunda. Terima kasih, apartemennya keren banget 🥹💛” tulis Kania. Ia menarik koper masuk ke lobi, lalu naik lift menuju lantai 30. Selama di dalam lift, jantungnya berdetak cepat. Ini pertama kalinya ia akan benar-benar tinggal sendiri. Tak ada suara ayam di pagi hari, tak ada ibu yang mengetuk pintu membangunkannya, dan tak ada ayah yang sibuk memanaskan motor untuk antar ke warung. Semuanya... berubah. Begitu pintu kamarnya terbuka, Kania langsung menghela napas lega. Ruangan itu bersih dan wangi. Furniturnya minimalis, tapi lengkap kasur queen-size, meja belajar, dapur kecil, dan lemari pakaian. Ia menaruh koper di samping ranjang, lalu berjalan pelan ke jendela besar yang tertutup gorden krem. Dengan satu tarikan halus, gorden itu tersingkap. Cahaya sore Jakarta langsung menerobos masuk, menyinari wajah Kania yang kini terpaku memandangi pemandangan kota dari lantai 30. Deretan gedung tinggi, mobil-mobil kecil di kejauhan yang terus bergerak, dan langit jingga yang mulai berubah kelabu. "Jakarta..." gumamnya pelan, senyum tipis terbentuk di wajahnya. "Mulai hari ini... kamu rumah baruku." Ia tahu, jalan di kota ini tak akan selalu mudah. Tapi ia juga tahu, dari jendela inilah ia akan melihat masa depannya terbentuk perlahan tapi pasti. 🍂🍂🍂 Hari demi hari berganti, tanpa terasa satu minggu sudah Kania tinggal di Jakarta. Dalam waktu singkat, ia mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya jalan yang padat, suara klakson yang tak pernah henti, dan ritme kota yang nyaris tanpa jeda. Untungnya, ia tidak sendiri. Di kampus orientasi, ia berkenalan dengan dua gadis yang cukup cepat akrab dengannya: Rahel, gadis energik penuh kejutan, dan Putri, si cantik yang selalu tampil modis. Malam minggu itu, udara Jakarta cukup hangat. Dari balkon kamarnya, Kania baru saja selesai mengeringkan rambutnya ketika ponselnya berdering. Rahel mengirim pesan singkat, memintanya segera siap-siap karena malam ini ada acara spesial. Ternyata, Rahel sedang merayakan ulang tahunnya. "Dimana?" tanya Kania sambil mengernyit bingung saat mereka bertiga sudah berkumpul di lobi apartemen. ‘’Diluar, ayo kamu harus ikut!’’ "Tapi aku belum beli apa-apa buat kamu. Kamu terlalu dadakan," lanjutnya sambil memperhatikan penampilan Rahel yang glamor, dengan eyeliner tegas dan jaket kulit. Rahel hanya tertawa, lalu menggandeng tangan Kania dan Putri bersamaan. "Gak usah bawa apa-apa. Gue gak butuh kado. Yang penting kalian temenin gue have fun!" Kania melirik ke arah Putri yang hanya tersenyum misterius, seolah tahu ke mana mereka akan pergi. "Tapi kita mau kemana?" tanya Kania lagi, mulai merasa cemas dengan spontanitas teman-temannya. "Udah, ikut aja. Ayo!" Rahel menyenggol bahunya dengan semangat. Putri ikut tertawa, lalu mereka bertiga naik ke mobil Rahel yang sudah menunggu di depan. Sepanjang jalan, Kania hanya bisa diam. Di luar kaca mobil, lampu kota berkelebatan, menggambarkan denyut malam Jakarta yang mulai hidup. Musik EDM berdentum pelan dari speaker mobil, dan Rahel menyanyi mengikuti irama sambil menyetir. Kania semakin gelisah. Ia mengenakan blouse putih polos dan celana jeans sederhana jauh dari kata siap pesta. Tapi ia juga tak ingin jadi anak baru yang terlalu banyak ‘aturan’ atau tampak kaku. Lima belas menit kemudian, mobil mereka berhenti di halaman sebuah bangunan megah dengan neon mencolok di bagian atasnya. Halamannya luas, ramai dengan mobil-mobil mewah yang parkir, dan lampu warna-warni berputar menghiasi langit malam. Kania turun dari mobil dan menatap plang nama itu dengan alis terangkat. Bibirnya berbisik lirih, hampir tak percaya. "Starclub?" gumamnya pelan. Ia pernah mendengar tempat ini dari video t****k tempat dugem paling hits dan eksklusif di Jakarta Selatan. "Kita ngapain di sini?" tanyanya cemas, tubuhnya menegang. Rahel melingkarkan lengannya di bahu Kania. "Mau have fun lah. Ayo, Kania..." ‘’Tapi Hel, aku … aku belum pernah ke tempat beginian!’’ ‘’Udah gapapa Kania. Ayo, ada aku sama Putri. Gak usah takut.” ‘’Tapi—“ ‘’Udah ih buruan ayoo!!’’ Putri dan Rahel langsung menggenggam kedua tangan Kania, lalu menyeretnya masuk melewati penjagaan ketat. Lampu neon yang berkilau, suara dentuman musik yang menggetarkan d**a, dan aroma parfum bercampur alkohol langsung menyeruak ke inderanya. Dunia itu begitu asing, tapi menarik. Dan di sanalah, malam baru Kania dimulai. Malam yang akan mengubah jalan hidupnya perlahan, namun pasti. Rahel dan Putri tampak sangat menikmati malam itu. Begitu masuk, mereka langsung menuju sebuah meja yang sebelumnya sudah dipesan Rahel. Pelayan klub datang dengan sigap, menyajikan berbagai makanan ringan, cake ulang tahun kecil, dan yang paling mencolok deretan minuman berbotol tinggi dengan label-label asing yang tak satu pun Kania kenal. Botol-botol itu berembun dingin. Beberapa bahkan menyala di bawah cahaya neon ungu dan biru. Gelas-gelas ramping mulai diisi cairan bening, merah, bahkan biru pekat. Aroma tajam menyengat hidung Kania, membuatnya mengernyit. Sementara musik berdentum tanpa jeda. Irama EDM mengguncang lantai, bass-nya begitu kuat hingga terasa di d**a. Cahaya strobo menari-nari di dinding dan wajah-wajah orang yang menari di bawahnya. Rahel dan Putri mulai bergerak mengikuti irama, tertawa bebas, seolah dunia hanya milik mereka malam itu. Kania, sebaliknya, duduk di ujung sofa, tubuhnya kaku. Ia memandang sekeliling, merasa seolah sedang terdampar di planet asing. Matanya menyapu ruangan sekelompok pria dan wanita berdansa terlalu dekat, beberapa duduk saling berbisik di pojok gelap, dan pelayan yang terus mondar-mandir membawa botol tambahan. “Minum ini, Kan!” seru Rahel sambil menyodorkan segelas cairan merah jernih padanya. Wajah Rahel sudah memerah, matanya berbinar. Kania menatap gelas itu ragu. “Ini... apaan?” “Tenang aja. Ini enak. Manis kok. Kayak sirup.” Putri ikut tertawa sambil menari kecil. “Kania, don’t be so stiff, please. You're in Starclub, not di masjid!” Kania tersenyum kaku. Ia tidak ingin mengecewakan teman-temannya, tapi hatinya berteriak tidak nyaman. Di balik gemerlap lampu dan suara tawa, ia merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang entah harus melompat, atau mundur perlahan. Ia pegang gelas itu. Cairan merahnya memantulkan cahaya lampu seakan menggoda. Tapi di dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak bisa dibungkam. Malam ini cuma satu malam. Sekali coba, bukan berarti aku berubah jadi buruk, kan? pikirnya, mencoba meyakinkan diri. Namun sebelum ia meneguknya, tatapannya terhenti. Di balik kerumunan yang menari, dari balik cahaya dan kepulan asap, ia melihat sosok pria yang terasa familiar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD