bc

Gairah Panas Tuan DJ

book_age18+
54
FOLLOW
1K
READ
dark
BE
family
HE
fated
kickass heroine
drama
tragedy
sweet
bxg
lighthearted
serious
kicking
brilliant
campus
city
childhood crush
love at the first sight
polygamy
like
intro-logo
Blurb

Kania, gadis polos yang tak pernah menyangka hatinya jatuh pada Gio, seorang DJ populer. Awalnya indah, penuh tawa dan cinta, hingga segalanya runtuh, saat pengkhianatan terkuak dan harapan yang ia genggam hancur begitu saja.

Kania melihat Gio dengan sosok wanita yang sudah buncit perutnya!

Cinta yang manis berubah getir.

Akankah Kania mampu bangkit dari luka, atau tenggelam dalam pahitnya kenyataan terlebih saat dirinya telah menyerahkan mahkota berharga untuk Gio?

chap-preview
Free preview
Bab 1
“M—Maternity Pillow…” gumam Kania, suaranya patah patah. Matanya langsung berkaca kaca, tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Ia menoleh ke arah Gio dan wanita itu secara bergantian. Air matanya jatuh semakin deras. “K—kamu hamil?" imbuh Kania dengan suaranya yang hampir tak terdengar. Gio menutup wajahnya dengan tangan, lalu buru buru memeluk Kania erat. “Kita pulang ya. Aku jelasin semuanya.” “Jawab dulu pertanyaan aku! Dia hamil? Anak kamu?” Kania berusaha menepis pelukan Gio, menatapnya dengan mata yang merah penuh luka. “Kania plis, jangan disini!” Gio sudah terlihat frustasi. Keringat dingin membasahi pelipisnya. “Jawab aku! Jawab aku, Gio!!!” Kania menjerit histeris, tangisnya pecah tak terkendali. Hening sesaat. Lalu wanita di samping Gio maju selangkah, suaranya tegas meski dingin. “Iya, aku hamil! Sudah tujuh bulan. Dan ini anak Gio.” ‘’Hah!’’ Dunia Kania runtuh. Tubuhnya membatu, wajahnya pucat pasi. Jantungnya seperti dihantam ribuan jarum yang menusuk tepat di tengah. Telinganya berdenging, matanya berkunang kunang. Dia ingin bicara, tapi mulutnya kelu. ____ Sore itu, langit Surabaya mulai meredup. Awan kelabu menggantung rendah seolah ikut menyimpan kesedihan yang tertahan. Di pelataran keberangkatan Bandara Juanda, suasana haru mulai terasa. Reno berdiri tegak, namun sorot matanya jelas menyimpan kegelisahan. Di sebelahnya, Rani menggenggam tangan suaminya erat, mencoba menyalurkan kekuatan yang tak ia ucapkan. Sementara itu, Kania berdiri di hadapan mereka dengan koper besar dan ransel di punggungnya. Wajahnya terlihat cerah, namun matanya menyimpan sedikit ketakutan yang ia sembunyikan dengan senyuman tipis. "Kania, kamu yakin mau kuliah di Jakarta?" suara Reno berat, nyaris bergetar. Ia menatap putri satu-satunya dengan tatapan penuh ragu. "Ayah, dari kemarin kan kita udah bahas ini. Katanya Ayah sudah setuju," Kania memanyunkan bibir, mencoba bercanda agar suasana tak terlalu tegang. "Tapi Sayang, Ayah masih sangat berat melepas kamu." Reno menatap matanya dalam-dalam, seolah ingin menghafalkan wajah itu lebih lama. "Ayah, Kania kesana mau kuliah. Mau menuntut ilmu, bukan mau perang!" ucap Kania, tertawa kecil meski jelas suaranya bergetar menahan emosi. "Tapi Jakarta itu keras, Sayang." Reno mencoba menyampaikan kekhawatiran sebagai ayah, meski ia tahu tak bisa menahan kepergian itu. "Ayah tenang aja. Kania udah gede. Kania udah 23 tahun loh," ujar Kania bangga, meski matanya mulai berkaca. "Bukan udah, Sayang, tapi baru. Kamu baru 23 tahun." Reno menghela napas berat, menunduk sebentar. Hatinya masih belum siap. "Bunda..." rengek Kania menoleh ke ibunya, suara lirihnya pecah di sela keheningan. Ia tahu, satu-satunya harapan untuk melembutkan hati ayahnya hanya ibunya. Rani menarik napas dalam, lalu menatap suaminya dengan penuh keyakinan. "Sudahlah, Mas. Benar kata Kania, dia sudah besar." "Sayang, dia masih kecil. Putri kecil kita..." kata Reno menggeleng pelan, suaranya nyaris serak. "Dia sudah dewasa, Mas. Dia sudah lulus kuliah s1. Biarkan dia pilih sendiri S2-nya. Dan masih mending dia pilih Jakarta. Bagaimana jika dia pilih luar negeri?" Ucapan Rani terdengar tegas, meski ada nada getir di baliknya. Reno terdiam. Kata-kata itu bagai palu yang memukul perlahan. Ia akhirnya mengangguk kecil, tanda pasrah meski hatinya belum benar-benar ikhlas. ‘’Ya sudahlah!’’ "Makasih, Bunda..." ucap Kania lirih, lalu langsung memeluk ibunya erat. Aroma tubuh ibunya yang familiar seolah menenangkan badai kecil dalam hatinya. Dalam dekapan itu, Kania menyimpan keberanian. Keberanian untuk melangkah ke dunia yang belum ia kenal sepenuhnya. Sementara Reno hanya bisa berdiri menatap mereka menguatkan diri meski hatinya remuk perlahan. Putri kecilnya akan terbang, dan ia hanya bisa mendoakan, semoga sayap yang ia latih selama ini cukup kuat untuk menghadapi badai di langit Jakarta. Suasana bandara semakin ramai. Suara pengumuman keberangkatan bersahutan, sesekali menyela percakapan hangat keluarga kecil itu. Kania berdiri di antara kedua orang tuanya, menggenggam tiket pesawat sambil mengecek waktu di layar besar di atas kepala. Rani mengelus lembut rambut putrinya yang kini sebahu, lalu merapikan kerah jaketnya dengan penuh kasih. "Kamu hati-hati ya, Sayang. Kabari Ayah dan Bunda kalau udah sampai sana." Ucap Rani lembut, menahan air mata yang mulai menggenang. "Siap, Bun. Kania akan video call nanti," jawab Kania sambil tersenyum lebar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Ia mencoba tampak santai, meski jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Reno menoleh, menyelipkan nada khawatir dibalik suaranya yang datar. "Nanti suruh Bude kamu jemput kalau udah sampai Jakarta." "Ayahhh!" Kania meringis manja, lalu melipat kedua lengannya. "Kania pengen mandiri. Lagian juga rumah Bude jauh dari bandara. Kania gak mau ngerepotin Bude." Reno mengerutkan alis, belum siap sepenuhnya melepas. Tapi sebelum sempat membalas, Rani sudah lebih dulu menepuk lengannya pelan. "Sudah, sudah, biarkan Kania sendiri, Mas. Kasih dia kesempatan. Dia bukan anak TK lagi," ucap Rani sambil tersenyum tenang, meski sorot matanya penuh haru. "Bunda memang bijak!" seru Kania sambil merangkul ibunya dari samping. Namun Reno masih berdiri kaku. Ia mendesah berat, menatap wajah ceria putrinya yang sebentar lagi akan ia lepas ke dunia luar yang keras. "Tapi—" suara Reno lirih, hampir tak terdengar, "Kita ikut pindah ke Jakarta aja yuk!" ucapnya setengah serius, setengah bercanda. "Masss! Ayahhh!!’’ seru Kania dan Rani bersamaan, membuat Reno hanya bisa menghela napas nya berat. Dan Setelah drama perpisahan yang cukup lama, Kania akhirnya menarik koper besarnya menuju pintu keberangkatan. Roda koper berderak pelan dilantai bandara, seiring langkahnya yang semakin menjauh dari kedua orang tuanya. Ia masih sempat menoleh, melihat sosok Ayah dan Bundanya yang berdiri dibalik garis batas pengantar, melambaikan tangan dengan senyum penuh kasih, meski mata mereka berkaca-kaca. Lambaian itu terasa hangat. Sehangat pelukan terakhir di pelataran tadi. Namun dibalik kehangatannya, ada haru yang dalam. Ada jeda yang tercipta. Ada jarak yang kini mulai nyata. Kania menggigit bibir bawahnya pelan, menahan air mata yang mengambang di pelupuk mata. Tapi ia tahu, ia tak boleh ragu sekarang. 'Kalau aku terus tinggal di kampung, aku akan ketinggalan segalanya,' gumamnya dalam hati. Ia sadar, dunia terus berjalan. Teman-teman seangkatannya satu per satu sudah melangkah lebih jauh ada yang kerja, ada yang kuliah keluar kota, bahkan ada yang sudah menikah. Sedangkan dirinya, jika terus bertahan dalam kenyamanan desa, ia hanya akan jadi gadis biasa yang dilupakan zaman. Bukan karena kampung tak layak, tapi karena mimpinya terlalu besar untuk sekadar ditampung di balik sawah dan jalanan berbatu. Langkah Kania semakin mantap. Satu per satu pemeriksaan ia lewati. Saat pesawat lepas landas nanti, itu bukan hanya tubuhnya yang berpindah kota tapi juga mimpinya yang mulai berani menantang dunia. Ia menghela napas panjang. Di ujung sana, Jakarta menunggunya. Kota yang bising, asing, dan barangkali kejam. Tapi juga kota yang menjanjikan cerita baru. Sebuah cerita, yang akan mengubah hidupnya selamanya. 🍂🍂🍂 "Welcome, Jakarta!" Seru Kania sambil mengangkat tangannya ke udara, matanya berbinar penuh semangat. Senyumnya merekah lebar, seolah ia baru saja menginjakkan kaki di gerbang mimpi yang selama ini hanya ada dalam benaknya. Ia berjalan dengan langkah penuh percaya diri menyusuri bandara Soekarno-Hatta yang megah dan sibuk. Suara roda koper menyatu dengan derap langkah orang-orang, pengumuman penerbangan bersahutan, dan hiruk pikuk khas kota besar. Dunia baru ini benar-benar berbeda dari sunyinya pagi di desa. Namun semangat itu mendadak terguncang saat tiba-tiba— Brukk! Tubuhnya membentur keras d**a seseorang, membuat koper terlepas dari genggaman dan tubuhnya terdorong hingga nyaris terjatuh ke lantai. Dia mengerang pelan, lalu menengadah untuk melihat siapa yang ditabraknya. "Anjing! Lo punya mata gak sih, hah!?" suara bariton menggertak tajam, kasar, dan tanpa ampun. Kania tertegun. Ia yang jatuh, tapi dia pula yang dimarahi. Tatapannya langsung tertuju pada sosok pria tinggi di hadapannya berjaket hitam, memakai topi gelap, masker tebal, dan kacamata hitam besar yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Hanya rahangnya yang terlihat tegas dan kaku. Dari gesturnya, dia tampak arogan. Sangat arogan. "Maaf!" ucap Kania cepat, meski suaranya sedikit bergetar. "Ckckckck!" Pria itu berdecak kesal lalu, tanpa sepatah kata pun, ia langsung melangkah pergi dengan cuek, meninggalkan Kania yang masih duduk di lantai bandara dengan d**a berdebar. "Huh Jakarta ternyata secepat itu ngajarin aku rasa sabar," gumam Kania kesal sambil memungut koper dan merapikan bajunya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Baru sampai, udah disambut makian," lanjutnya sambil berjalan kembali menuju pintu keluar bandara, ‘’Sungguh indah nya kota Jakarta!’’

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Beautiful Pain

read
13.6K
bc

DIHAMILI PAKSA Duda Mafia Anak 1

read
40.8K
bc

Oh, My Boss

read
386.9K
bc

Revenge

read
35.4K
bc

MY LITTLE BRIDE (Rahasia Istri Pengganti)

read
19.3K
bc

Penghangat Ranjang Tuan CEO

read
33.7K
bc

Hati Yang Tersakiti

read
6.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook