Si Pemberontak

790 Words
Berada di situasi seperti ini sudah jadi hal biasa. Makanannya sehari-hari. Orang-orang memandanginya seolah dirinya adalah anak-anak menyedihkan yang perlu dihindari. Memangnya kenapa? Tidak memiliki orang tua lengkap adalah sebuah kesalahan? Apa ini maunya? Tidak. Jika dia diperbolehkan meminta kepada Tuhan, Ganesha tidak mau dilahirkan jika harus mengalami hal pahit bertubi-tubi. "Saya nggak mau melihat anak ini lagi di sekolah ini." Salah satu orang murid datang ke sekolahnya hari ini, mencarinya dengan memasuki satu per satu kelas sambil berteriak lantang. Mendengar dirinya dicari oleh orang tua murid yang anaknya telah dihajarnya, Ganesha datang sendiri. Tidak perlu berteriak dan membuat gaduh sekolah, Ganesha bahkan tidak memiliki rasa takut meskipun orang-orang di sekitarnya merasa was-was. "Pak, masalah ini bisa diselesaikan baik-baik. Tidak perlu sampai minta Ganesha dikeluarkan dari sekolah." "Baik-baik Bapak bilang?" Lelaki berkemeja kotak biru tersebut menunjuk gurunya murka. "Bapak nggak lihat anak saya sampai masuk rumah sakit?! Masih bilang bisa dibicarakan baik-baik?!" Ganesha berdiri tegak, menunjukkan dirinya sama sekali tidak berpengaruh walaupun dimaki habis-habisan di depan guru-gurunya. Kenapa harus takut? Toh, kesalahan tidak sepenuhnya ada pada dirinya. Kenapa tidak menanyakan dulu asal muasalnya bisa terjadi pertengkaran antara dirinya dan anak si Bapak? "Minta maaf." Bapak itu mendesis. Masih terlihat jelas kemarahan di wajahnya. "Kalau perlu kamu berlutut dan bilang menyesal." "Saya?" Ganesha menunjuk dirinya. "Siapa lagi?! Memangnya anak saya dipukuli siapa selain kamu!" Ganesha menghadapi kemarahan lelaki itu dengan tenang. Tidak panik. Biarpun ditunjuk dan dimaki dengan suara nyaring sehingga semua guru di kantor jadi memandanginya dengan berbagai tatapan. Ada yang menatapnya sambil geleng-geleng. Ada pula yang menatapnya sangat iba. Pemuda yang baru duduk di kelas pertama SMP tersebut meremat kelima jarinya dengan tatapan mata menajam. Mereka semua boleh menatap sesuka mereka asal jangan menatapnya seolah iba. Kenapa harus melempar tatapan seperti itu? Kenapa? Dia tidak butuh dikasihani siapa pun termasuk gurunya sekali pun. Dia bisa melumpuhkan musuh-musuhnya sekaligus. Tidak peduli jumlah mereka banyak dan terlihat lebih kuat. Tapi faktanya dia lah pemenangnya. Orang tua murid tersebut tanpa sadar melangkah mundur dengan wajah terkaget-kaget. Bocah SMP ini menyunggingkan senyum samar. Jenis senyum menakutkan. "Kamu... bisa-bisanya senyum!" tunjuknya, tidak bisa menutupi rasa terkejutnya akibat senyuman Ganesha. Tidak. Senyuman yang ditunjukkan pemuda di depannya ini bukan jenis senyum manis apa lagi polos. Bulu-bulu halus di tangannya kompak berdiri hingga orang tersebut menggelengkan kepalanya merasa heran. "Kenapa cuma saya yang dihakimi di sini?" Mulut Ganesha terbuka dan bertanya kepada guru dan orang tua murid di depannya. "Seharusnya Bapak tanya dulu kronologinya gimana. Saya bukan orang gila yang nggak ada akal mukul tanpa alasan." "Masih berani membela diri?!" Sebaliknya, orang tua dari murid yang dihajar Ganesha masih belum terima. Kemarahannya kembali memuncak setelah melihat reaksi Ganesha yang kelewat kurang ajar. Para guru sudah mewanti-wanti kejadian seperti akan datang juga. Ganesha bukan pertama kalinya terlibat perkelahian di sekolah. Sebelum-sebelumnya pun pernah. Tapi baru kali ini agak kelewatan. Pagi-pagi sekali, bahkan jam pelajaran pertama belum dimulai, Ganesha membuat gaduh satu sekolah. Entah karena permasalahan apa, tahu-tahu para pemuda itu saling melemparkan kepalan tinjunya. Dua di antara dari murid yang dihajar Ganesha masih terbilang baik-baik saja. Hanya mengalami luka-luka lebam dan diperbolehkan pulang oleh dokter. Hanya saja, ada satu murid yang mengalami luka paling parah dan harus dirawat di rumah sakit. Ganesha melirik kursi kosong di dekat meja guru. Orang-orang dewasa di sana tampak was-was. Bukannya mengikuti pergerakkan Ganesha dan mengantisipasinya, mereka malah diam dengan mulut terbuka saat Ganesha mengarahkan kursi besi ke arah orang tua murid tadi. Tak ayal teriakkan guru-guru, khususnya para guru perempuan sambil menutup kedua mata dan mulutnya. Para guru sekaligus orang tua murid tadi nyaris mati karena gagal jantung. Walaupun kursi itu tidak mengenai satu pun dari mereka melainkan dibanting secara membabi buta ke lantai, tapi tetap saja apa yang dilakukan Ganesha baru saja sudah lebih dari keterlaluan. "Kenapa kursinya kamu rusak?!" teriak salah satu guru, berdiri mendekati Ganesha sambil berkacak pinggang. "Masih tanya, kan?" Guru-guru menatap pemuda itu bingung. "Kursi Bapak saya rusakin aja masih tanya alasannya. Kenapa saya mukul orang, Bapak langsung menghakimi saya dan bilang kalau semua kesalahan ada sama saya?" Mulut mereka terasa seperti dilem. Sangat erat. Sampai terasa sulit saat akan dibukanya dan memberi pembelaan. Ganesha melirik sisa-sisa kursi yang dia rusakan. "Bapak minta saya minta maaf dan berlutut?" tanya Ganesha, dingin. Dia membuka kancing-kancing seragamnya, kemudian menanggalkan setelan seragamnya hingga menyisakan boxer dan kaus putih berlengan pendek. "Nggak perlu nunggu dikeluarin. Saya keluar sendiri dari sekolah ini." Dengan percaya diri pemuda itu melangkah keluar dari kantor guru. Tidak peduli saat teman-teman sekolahnya bergerombol saling berebutan tempat agar bisa melihat Ganesha melewati lorong sekolah. Sebagian murid menganggap gayanya Ganesha sangat keren. Namun tidak jarang yang menganggap jijik dengan tingkah laku pemuda itu. Apa salahnya minta maaf jika dia memang berbuat salah? Kenapa malah memberontak lalu memperburuk keadaan?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD