bc

Hinaan yang Harus Kau Bayar

book_age16+
289
FOLLOW
4.9K
READ
contract marriage
family
HE
drama
polygamy
like
intro-logo
Blurb

Ibu mertuanya murka. Ketika kehamilan ketiga Ranum, lagi-lagi gagal memberinya cucu laki-laki yang sedari dulu didamba. Seno—sang suami yang Ranum harapkan menjadi garda terdepan untuk melakukan pembelaan, justru memberinya sebuah pengkhianatan.

Dunia Ranum runtuh dalam sekejap mata. Ketika seorang wanita asing dengan lantang menuntut pertanggung jawaban Seno. Atas bayi laki-laki yang dilahirkannya.

Ranum di depak dengan keji. Padahal, ia tengah berduka kehilangan calon putri ketiganya. Tapi Seno dan Ratih—sang ibu mertua. Lebih mengutamakan Elina dibanding dirinya.

Ranum yang sudah sebatang kara, terancam hidup menggelandang bersama dua putrinya.

Tapi takdir kemudian mempertemukannya dengan Damar. Pria yang tiba-tiba menyodorkan sebuah kesepakatan, untuk menjadikannya sebagai istri dalam sebuah pernikahan kontrak.

Penolakan di ujung lidah akhirnya Ranum telan paksa. Usai mengetahui, jika Damar adalah pemilik perusahaan tempat mantan suaminya bekerja.

Amarah kembali menjamah. Mengingat kekejian orang-orang yang telah mencampakannya. Bukankah sudah cukup Ranum menyabarkan diri? Saatnya kini ia membalas sakit hati, pada mereka yang telah membuat hidupnya hancur bertubi-tubi.

chap-preview
Free preview
Bab 1. Wanita Lain
"Gugurkan saja." "A–apa?" Tak mengindahkan raut pucat istrinya. Pria itu menatap gusar. "Ibu tidak akan senang. Kalau tau cucunya lagi-lagi perempuan. Jadi sebaiknya gugurkan saja. Selagi anak itu belum lahir." "Apa tidak sekalian kamu bunuh aku, Mas?!" "Ranum!" "Apa pun yang terjadi. Aku akan tetap mempertahankan anakku!" "Kita sudah punya dua anak perempuan. Ibu mau yang ketiga nanti harus laki-laki." "Harus? Mas, ini tentang takdir yang di luar kuasa kita." "Keras kepala! Kamu pulang sendiri sana. Naik taksi, ojek, atau apa pun. Terserah!" "Kamu mau ninggalin aku?" "Kita sedang sama-sama emosi. Malah lebih bahaya kalau nanti lanjut ribut di perjalanan," ucap Seno yang tak mengindahkan sang istri. Lalu bergegas menuju mobilnya yang terparkir dengan langkah cepat. "Mas! Tunggu! Jangan tinggalin aku! MAS! MAS SENO!" Ranum terus menggedor kaca jendela mobil Seno yang tertutup rapat. Tapi tak digubris pria itu yang tetap melaju pergi. Suara keras klakson mobil terdengar memekakan telinga. Luput pada sekitar, membuat Ranum kurang awas. Hingga tak sadar, ada sebuah mobil dari arah belakang yang melaju dan nyaris menabraknya. Dengan tubuh gemetar dan jantung yang seolah akan merosot jatuh. Ranum berjongkok, sembari menutup mata ketakutan, dan memeluk perutnya erat. "Anda baik-baik saja?" Suara yang menjamah pendengarannya membuat Ranum memberanikan diri membuka mata. Dan hal pertama yang dilihatnya, adalah sosok seorang pria asing. "Apa Anda terluka? Ayo, saya antar periksa." "T—tidak, saya tidak apa-apa." "Tapi—" "Sungguh! Saya baik-baik saja. Anda tidak perlu khawatir," ucap Ranum sembari berusaha bangkit. Tapi nyaris jatuh tersungkur, andai pria itu tak sigap menahan lengannya agar tak sampai ambruk menghantam paving block parkiran rumah sakit. "Saya rasa Anda memang perlu diperiksa." Damar kembali membujuk Ranum. Sayangnya, wanita itu tetap menggeleng keras kepala. Membuat Damar menghela napas pasrah. "Baik. Tapi sebagai gantinya. Biarkan saya mengantar Anda pulang." "Tidak per—" "Kali ini saya tidak menerima penolakan," ucap Damar tegas. "Baiklah." Ranum akhirnya pasrah. Membuat Damar tersenyum lega. Sepanjang perjalanan, keduanya terperangkap senyap. Usai memberitahu alamatnya, Ranum benar-benar mengunci rapat bibirnya. Hingga Damar segan untuk melakukan obrolan. Setelah berkendara beberapa lama. Mobil Damar tiba di kediaman Ranum. "Terima kasih, sudah mengantar saya pulang," ucap Ranum sembari mengukir senyum tipis. Wanita itu pamit dan segera keluar dari mobil milik pria asing yang ditumpanginya. Jika dipikir-pikir lagi. Bukankah tindakan Ranum ini agak berisiko? Begitu mudah menerima tawaran pria asing untuk mengantarnya pulang. Beruntung, pria asing tadi bukan orang jahat yang memanfaatkan keadaan. Saat memasuki rumah, Ranum sudah dicegat sang ibu mertua. "Jadi gimana hasilnya? Cucu saya kali ini laki-laki, 'kan?" Mertuanya belum tau? "Sudah pulang?" tanya Seno yang tiba-tiba muncul dan segera ikut bergabung. Tak ada jejak raut penyesalan di wajah pria itu usai meninggalkan istrinya di pelataran parkir Rumah Sakit begitu saja. "Coba mana hasilnya? Ibu mau lihat!" Ratih menengadahkan tangan tak sabaran. Menyenggol lengan Ranum, Seno mengedikan dagu, memberi kode pada sang istri. "Cepat kasih hasil pemeriksaan tadi sama Ibu." Menelan ludah susah payah. Ranum merogoh isi tasnya, lalu memberikan apa yang mertuanya inginkan. Surat hasil pemeriksaan beserta foto USG bayinya. Dengan raut serius, Ratih membaca hasil pemeriksaan kehamilan menantunya. Rahang wanita paruh baya itu mengetat, usai berhasil menarik sebuah kesimpulan. "Ibu bilang juga apa?! Percuma. Dia memang tidak bisa memberi keturunan laki-laki. Ini kehamilan ketiga dan hasilnya sama saja. Anak perempuan lagi. Bagusnya memang kamu itu ganti istri." Wanita paruh baya itu membuang surat pemeriksaan dan foto USG cucu ketiganya, dengan raut masam. Usai mendapati kabar, jika kemungkinan, sang menantu kembali mengandung bayi perempuan. Ranum menunduk, menatap nanar foto-foto USG anaknya yang kini teronggok menyedihkan di dekat kaki ibu mertuanya. "Memang apa bedanya, Bu?" tanya Ranum dengan mata menyengat panas. "Loh, ya jelas beda dong! Saya mau cucu laki-laki, agar bisa menjadi penerus keluarga," balas Ratih dengan wajah garang. "Kamu 'kan tau, kalau suamimu itu anak tunggal! Lalu, dari mana lagi saya mengharap cucu laki-laki jika bukan dari Seno?" Menoleh pada putra semata wayangnya yang sedari tadi bungkam. Wanita paruh baya itu melempar tatapan tajam. "Seno! Kalau sampai kamu tidak bisa memberikan Ibu cucu laki-laki. Maka jangan harap mendapat jatah warisan." "Loh, Bu, kok gitu? Kalau bukan dikasih ke aku, terus mau dikemanakan warisan itu?!" Bersedekap tangan, Ratih mengedikan bahu dengan raut tak acuh. "Bisa Ibu sumbangkan. Atau kasih ke para sepupu kamu buat dibagi-bagi." "Enak saja! Masa iya Ibu kasih warisan ke orang lain, terus anak sendiri malah jadi gelandangan?" "Ya makanya. Kasih Ibu cucu la—" Suara bel yang tiba-tiba tertangkap pendengaran. Membuat perdebatan tersebut terinterupsi. "Siapa?" "Ya mana aku tau, Bu? Memangnya penglihatanku bisa menembus sampai luar pintu?" balas Seno dengan nada sewot. Masih dongkol gara-gara ancaman Ratih soal warisan. Tak berselang lama. Seorang asisten rumah tangga datang menghadap Ratih. "Siapa yang datang, Mbok?" "Namanya Non Elina, Nyonya. Katanya mau ketemu sama Den Seno." "L—Lina?!" seru Seno kaget. "Elina itu siapa, Sen?" tanya Ratih mewakili hal yang ingin Ranum pertanyakan pada sang suami. Tanpa menjelaskan apa pun. Seno tiba-tiba saja sudah melesat menuju pintu depan. Setibanya di sana, Seno membuka pintu tak sabaran. Dan mendapati punggung seorang wanita yang saat ini tengah membelakanginya. "L—Lina?" panggil Seno dengan terbata-bata. "Kamu ngap—" Belum sempat ucapan Seno terselesaikan. Wanita itu sudah lebih dulu berbalik menghadapnya. Apa yang kemudian tertangkap penglihatannya, membuat Seno nyaris terkena serangan jantung. "L—Lin, itu ... anak siapa?" "Tentu saja anak kita, Mas." "APA?!" teriakan keras itu berasal dari punggung Seno. Ranum merangsek maju, menuntut penjelasan pada suaminya yang baru saja diduga memiliki anak dengan wanita lain. "Mas! Apa maksudnya ini?! Wanita itu siapa? K—kenapa dia bilang, kalau bayi itu anak kalian?!" Seno sudah membuka mulut. Tapi belum sempat ada yang terucap. Suara girang Ratih mengalihkan perhatiannya. "Sen! Seno! Lihat! Bayinya laki-laki." "Ma?" "Di luar panas. Ayo masuk saja. Kasihan anak ganteng kepanasan." "Terima kasih Tante," balas Elina dengan senyum merekah. Saat berpapasan dengan Ranum. Wanita itu tersenyum miring dengan sorot sinis. Ketiga orang itu melenggang pergi. Meninggalkan Ranum yang seolah dianggap makhluk tak kasat mata. Ketika akhirnya Ranum berhasil memunguti ketenangannya lagi. Ia bergegas masuk ke dalam rumah. Menyusul orang-orang yang mengabaikannya. Pemandangan yang kemudian tersuguh di depan mata Ranum. Membuatnya kembali dicambuk kekecewaan mendalam. Di sana, terlihat Ratih yang tampak sumringah menggendong bayi laki-laki dari wanita yang bukan menantunya. "Ma," panggil Ranum dengan suara serak. "Mas Seno mana?" Ranum bingung, saat tak menemukan keberadaan suaminya di sana dengan mereka. Senyum Ratih meredup saat bersitatap dengan Ranum. "Ambil ponsel yang ketinggalan di kamarnya." Walau dijawab dengan nada ketus. Ranum bersyukur ibu mertuanya masih mau menanggapi. Tak ingin menahan sakit lebih lama, melihat perhatian mertuanya pada wanita lain. Ranum memilih pamit untuk menyusul Seno. Lagipula hal ini bisa ia jadikan kesempatan untuk bicara empat mata dengan suaminya. Belum sempat mencapai kamar. Ranum sudah lebih dulu berpapasan dengan Seno di pertengahan anak tangga. "Mas?" "Nanti saja. Ibu dan Lina sudah menunggu di bawah." Mendengar bagaimana sang suami lebih memedulikan wanita lain dibanding dirinya, membuat Ranum terbakar emosi. "Jadi kamu lebih mengutamakan wanita itu?" "Jangan kekanakan. Bukan saatnya untuk memulai pertengkaran. Ada hal lain yang jauh lebih penting dibanding adu debat sama kamu." "Siapa yang lebih penting? Selingkuhan kamu?" "Jangan sembarangan menuduh!" "Menuduh kamu bilang?" tanya Ranum dengan tawa hambar. Meski kini matanya menyengat panas. Menatap Seno dengan sorot penuh kekecewaan. "Wanita itu bilang, kalau bayi itu anak kamu, Mas! Kenapa sekarang tidak terima kalau aku bilang kalau dia selingkuhan kamu?!" Mengusap kasar wajahnya. Seno menghela napas lelah. "Baiklah! Aku khilaf." Apa katanya tadi? Khilaf? Tapi sampai punya anak dengan wanita itu? "Sudah berapa lama?" "Apanya?" "Kamu menjalin hubungan sama dia." "Apa kamu sedang mencoba melakukan interogasi?" "Kamu mengharap apa? Aku mengucap selamat, karena akhirnya kamu mendapat bayi laki-laki? Walau harus melalui seorang pelakor?" "Ranum! Jaga mulutmu." Tak lagi bisa membendung lelehan air matanya. Ranum memecah tawa sumbang. "Kamu sampai semarah ini, hanya karena aku menyebutnya pelakor? Bukankah statusnya sekarang memang itu?" "Kamu terlalu mendramatisir. Cepat minggir!" "Ini sudah di luar batas Mas! Kamu keterlaluan! Istri mana yang tidak emosi kalau suaminya punya anak dengan wanita lain?!" Seno muak. Tak sabar ingin mengakhiri perdebatan tak berkesudahan dengan Ranum. Sayangnya, cukup sulit untuk pergi, karena Ranum enggan menyingkir dari hadapannya. "Minggir!" "Tidak mau!" "Ranum! Jangan sampai aku hilang sabar." Menggeram kesal. Seno yang dipecut emosi, berusaha menyingkirkan Ranum dari hadapannya secara paksa. Sayangnya, wanita itu justru memberi perlawanan. Menghalangi Seno menemui selingkuhannya. Sampai di mana, Seno tak sengaja memberi dorongan terlalu kuat, hingga mengakibatkan Ranum hilang keseimbangan. "MAS!" pekik Ranum yang kemudian jatuh berguling-guling menghantam setiap anak tangga. Sebelum akhirnya tergeletak tak sadarkan diri. Ternganga tak percaya. Seno membeku di tempatnya. Melihat tubuh istrinya terkapar mengenaskan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook