bc

SAJADAH CINTA UNTUK NAYLA

book_age18+
284
FOLLOW
1K
READ
family
HE
fated
friends to lovers
arranged marriage
heir/heiress
drama
sweet
bxg
witty
campus
city
like
intro-logo
Blurb

#Romansa Islami

Nayla, mahasiswi cantik yang hidupnya penuh kebebasan dan hobi bolos kuliah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis. Gara-gara kenakalan dan sikapnya yang “nggak tahu aturan”, orang tuanya malah menjodohkannya dengan sosok Ustadz muda tampan yang bernama Ustadz Rafa, kenalan keluarga yang dikenal alim, tenang, dan terlalu sempurna untuk gadis sepertinya. Dua dunia berbeda kini dipaksa bersatu. Mampukah cinta tumbuh di antara mereka, atau justru perbedaan itu yang akan menuntun Nayla menuju versi terbaik dirinya?

chap-preview
Free preview
Bab.1 Dijodohkan Dengan Ustadz
Pagi ini di sebuah kampus modern, tepatnya Universitas Buana Cakrawala. Nayla yang biasanya ceria dan selalu membuat para mahasiswa terpesona karena kecantikannya, kali ini dia terlihat tidak semangat , murung di kantin. Dan Sifa sahabat dekatnya, datang mendekat karena melihat Nayla nggak biasanya terlihat murung. "Heii...Nay..itu muka kenapa, kusut bener kaya benang layangan tahu nggak, cantik - cantik koq murung, ada apaan si? Jangan bilang tar sore kita nggak jadi nongki di Kafe Dark Romance." “Lebih parah dari itu Sif, lu tahu nggak nyokap dan bokap mau jodohin gue, Sif. Dijodohin!” Suara Nayla melengking begitu keluar dari bibirnya, membuat beberapa mahasiswa di kantin kampus menoleh. Tapi cewek itu nggak peduli. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi plastik berwarna oranye, rambut panjangnya berantakan, wajahnya setengah frustasi. Sifa, sahabat karib sekaligus teman sekelas Nayla, hanya menaikkan satu alisnya dengan ekspresi santai. “Dijodohin? Sama siapa? Jangan-jangan cowok - cowok eksmud ya?" Nayla memutar bola mata. “Ini lebih bahaya si. Gue mau dijodohin sama Ustadz.” “APA?!” Sifa nyaris tersedak minumannya. “Ustadz? Lu serius? Ustadz yang ngajar ngaji anak TK atau ustadz muda yang viral di YouTube itu?” “Bukan dua-duanya,” sahut Nayla lesu. “Namanya… Ustadz Rafa Al Fatih.” Sifa menatap Nayla lama, sebelum akhirnya tertawa ngakak sampai-sampai hampir jatuh dari kursinya. “HAHAHA! Serius lo?! Sumpah asli gue nggak bisa bayangin ya, Nayla Kartasasmitha, yang jadi idola kampus plus biang kerok, dan si mahasiswi yang paling nggak tahu aturan, suka bolos kuliah udah kayak hobi nasional, yang nongkrong sampe tengah malam di Bar, mau dijodohin sama ustadz? Dunia mau kiamat nih, sumpah!” “Makanya gue pusing, Sif!” Nayla memijat pelipisnya. “Lu tahu sendiri kan, gue tuh nggak cocok hidup di dunia yang penuh aturan. Bangun subuh aja gue masih negosiasi sama alarm!” Sifa menahan tawa sambil memelototi temannya itu. “Ya tapi, Nay… lu sadar nggak sih, ini kayak sinetron religi yang sering tayang pas Ramadan? Cewek nakal dijodohin sama ustadz tampan, terus tiba-tiba tobat dan jadi istri salehah.” “Please bisa nggak lu jangan becanda, nggak lucu, Sif.” “Gue juga nggak serius,” balas Sifa cepat. “Tapi lu emang yakin bokap nyokap lu serius soal ini?” Nayla menarik napas panjang, menatap gelas es tehnya yang mulai berembun. “Sayangnya iya. Mereka udah ngobrol langsung sama Ustadznya. Katanya minggu depan itu Ustadz mau datang ke rumah.” “ASTAGA! Jadi udah sejauh itu?” “Udah.” Nayla memutar-mutar sedotan dengan cemas. “Dan parahnya, nyokap gue tuh udah bilang ke semua keluarga besar. Jadi kalau gue nolak, yang ada gue dikata-katain nggak tahu diri.” Sifa menatap temannya itu dengan ekspresi campur antara kasihan dan geli. “Tapi Nay, gue penasaran deh. Emang kenapa orang tua lu tiba-tiba pengen ngejodohin lu sama ustadz? Maksud gue, lu tuh bukan tipe cewek yang bakal cocok sama cowok super alim kayak gitu.” Nayla menghela napas berat. “Gara-gara gue ketahuan bolos kuliah tiga hari berturut-turut buat nonton konser.” Sifa menepuk jidat. “Ya ampun, Nay…” “Dan tambah parahnya lagi, waktu nyokap nelfon, gue malah ngomong ‘tenang aja Mah, Nayla aman!’ padahal gue lagi di venue konser, lampu kelap-kelip, musik jedag-jedug. Jadi ketahuan deh.” “Ya wajar kalau mereka panik, Nay. Lu kan anak tunggal. Mereka pasti pengen lu punya tujuan hidupnya.” “Punya arah hidup nggak harus dijodohin sama ustadz juga kali, Sif.” Nayla mengerucutkan bibir. “Gue tuh bahkan belum siap nikah. Gue masih mau main, nongkrong, healing ke sana - sini, atau sekedar rebahan tanpa dosa.” Sifa tertawa lagi. “Nah itu dia, Nay. Lu tuh belum siap hidup diatur. Coba bayangin deh, kalau lu beneran nikah sama itu Ustadz… hidup lu bakal berubah total. Pake kerudung syar’i, bangun sebelum subuh, ikut pengajian, nggak bisa nongkrong di kafe lagi. Dan yang paling parah…” “Apa?” Nayla menatap curiga. “Lu nggak bisa lagi nongkrong sama gue abis kuliah!” “HAHA! Itu justru bagian paling sedihnya, Sif.” Nayla ikut tertawa, tapi tawanya hambar. Mereka berdua terdiam sejenak. Di antara tawa kecil dan hiruk pikuk kantin, Nayla merasa dadanya berat. Ia menatap langit-langit ruangan seolah mencari jawaban. “Gue tuh bingung, Sif. Kalau gue nolak, pasti nyokap bokap kecewa. Tapi kalau gue terima… gue nggak yakin bisa jadi istri Ustadz Jangankan jadi istri bayangin aja sebentar di kepala gue kayak nggak mungkin banget. Di tambah yang paling memalukan udah sebesar ini, gue bahkan belum bisa baca Al-Qur’an lancar.” Sifa memegang tangan sahabatnya. “Nay, kalau menurut gue si, selama lu apa - apa masih orang tua yang nanggung, mending ikutin deh, karena kadang orang yang kita pikir nggak cocok justru bisa bantu kita berubah ke arah yang lebih baik. Tapi ya… keputusan tetap di tangan lu. Cuma, siap nggak siap, kelihatannya ustadz itu bakal datang juga, kan?” “Iya.” Nayla menatap ponselnya, melihat pesan dari ibunya. ‘Nayla sayang, minggu depan Ustadz Rafa dan keluarganya datang habis dzuhur. Tolong bersikap sopan ya.’ Dia memejamkan mata. “Gue bahkan disuruh belajar ngaji, nyokap sendiri yang ngajarin gue mulai besok.” Sifa langsung ngakak lagi. “Nayla belajar ngaji? Gue pengin liat banget momen itu!” “Ketawa mulu lu, Sif. Nanti kalau gue tiba-tiba jadi ustadzah, lu jangan kaget!” “Ya ampun, Nay, kalau itu beneran terjadi, gue langsung daftar jadi murid pertama lu!” Mereka berdua kembali tertawa, tapi tawa Nayla kali ini getir. Dalam hati, ia masih nggak percaya kalau hidupnya bisa berubah drastis hanya gara-gara satu keputusan orang tuanya. Keesokan harinya, Nayla benar-benar menuruti permintaan ibunya. Dengan rambut dikuncir seadanya dan wajah masih mengantuk, ia duduk di ruang tengah sambil membuka mushaf yang sudah berdebu. “Nayla, tolong baca surat Al-Fatihah dulu,” ucap ibunya lembut. “Bismillahirrahmanirrahim…” Nayla mulai membaca dengan terbata-bata. Setiap kali lidahnya salah, sang ibu menatapnya penuh makna. “Pelan-pelan, Nayla. Jangan buru-buru. Ingat, nanti kalau jadi istri ustadz, kamu harus bisa minimal mengaji dengan benar.” “Mah, Nayla belum tentu jadi istri ustadz…” gumam Nayla lirih. “Tapi kalau jodoh, siapa yang tahu? Mungkin Allah sudah pilihkan yang terbaik buat kamu.” Nayla terdiam. Kata-kata ibunya menancap di dadanya seperti duri halus, tidak menyakitkan, tapi terasa. Ia ingin menolak, tapi juga takut dianggap durhaka. Sore itu, setelah sesi belajar ngaji yang cukup memalukan karena salah tajwid berkali-kali, Nayla langsung menelepon Sifa. “Gue udah belajar ngaji, Sif. Lima belas menit pertama masih semangat, lima belas menit terakhir udah pengin kabur.” “HAHA! Ya ampun, Nay, semangat dong. Lu kan calon istri ustadz.” “Bisa nggak sih nggak usah disebut-sebut calon istri ustadz? Merinding gue dengarnya.” “Ya tapi lu sadar nggak, Nay? Nama Ustadz Rafa Al Fatih tuh terkenal banget loh di lingkungan kampus sebelah. Banyak mahasiswi yang nge-fans, katanya beliau tuh ustadz muda yang kharismatik, ganteng, tapi rendah hati.” “Serius?” “Serius. Gue pernah liat fotonya waktu ada acara seminar kampus. Gue nggak bohong, Nay, orangnya tuh… ya Allah, kayak aktor sinetron religi! Pantes aja orang tua lu kepincut buat ngejodohin.” Nayla menelan ludah. Ada rasa penasaran aneh muncul di dadanya. “Hmm… ganteng, ya?” “Banget. Tapi auranya beda, Nay. Bukan ganteng yang ‘bad boy’ kayak tipe lu biasanya, tapi ganteng yang adem, tenang, berwibawa gitu.” “Waduh.” Nayla menyandarkan kepala di tembok. “Gue nggak siap kalau cowoknya beneran kayak gitu. Takutnya gue salah tingkah. Baru ketemu langsung dosa semua kebongkar.” “HAHA! Tenang aja, Nay. Mungkin ustadznya juga ngerti kok kalau calon istrinya masih dalam proses hijrah.” “Hijrah? Sif, gue aja belum bisa bangun buat salat Subuh tepat waktu, mana mungkin tiba - tiba gue hijrah.” “Ya kan bisa mulai pelan-pelan. Siapa tahu pertemuan lu nanti justru jadi awal perubahan.” Nayla menghela napas panjang. “Entahlah, Sif. Tapi jujur aja, bagian paling menakutkan tuh bukan ketemu ustadznya. Tapi ketemu tatapan nyokap gue kalau gue ngelakuin hal yang memalukan di depan calon menantu idamannya.” Sifa kembali tertawa sampai perutnya sakit. “Gue tunggu laporan live lu ya minggu depan. Siapa tahu lu tiba-tiba baper sama ustadznya.” “Duh, amit-amit, Sif.” Tapi entah kenapa, senyum kecil sempat muncul di bibir Nayla. Minggu berlalu lebih cepat dari yang Nayla kira. Hari itu, rumahnya sudah dipenuhi aroma masakan khas ibu-ibu yang sibuk menyambut tamu penting. Ibu Nayla mengenakan gamis hijau toska dan kerudung serasi. Ayahnya mengenakan koko putih dengan peci hitam. Dan Nayla? Ia duduk di kamarnya, menatap cermin dengan bingung. Di depannya tergantung dua pilihan busana: satu gamis sederhana pemberian ibunya, dan satu lagi blouse favoritnya yang agak ketat tapi modis. “Duh, Sif, kenapa gue harus ngelewatin ini semua si,” gumamnya sambil menatap refleksinya sendiri. Ia akhirnya memilih gamis, karena ibunya sudah berteriak dari bawah, “Nayla, jangan bikin malu keluarga!” Beberapa menit kemudian, suara mobil berhenti di depan rumah. Jantung Nayla langsung berdebar. Dari jendela, ia sempat mengintip. Seorang pria muda turun dari mobil hitam,berkulit bersih, berwajah teduh, mengenakan koko putih dan sorban di leher. Dia tahu pasti, itu Ustadz Rafa Al Fatih. Senyumnya lembut, langkahnya tenang. Bahkan dari jarak jauh, Nayla bisa merasakan aura menenangkan darinya. “Ya Allah, Sif… ganteng banget,” bisiknya pada diri sendiri, lalu buru-buru menutup gorden sambil menepuk-nepuk pipinya yang tiba-tiba memanas. “Tenang, Nayla. Tenang. Ini cuma pertemuan. Cuma pertemuan.” Tapi tangannya gemetar. Ibunya memanggil dari bawah. “Nayla, ayo, Nak. Ustadz Rafa sudah datang.” Dengan langkah ragu, Nayla turun tangga. Pandangan pertamanya jatuh tepat ke arah pria itu, yang kini berdiri sopan di ruang tamu, tersenyum ramah begitu melihatnya. “Assalamu’alaikum,” suaranya lembut namun tegas. “Wa… wa’alaikumussalam,” jawab Nayla pelan. Tatapan mereka bertemu sesaat. Dan entah kenapa, di d**a Nayla muncul sesuatu yang aneh, bukan hanya gugup, tapi juga tenang. Seperti baru saja bertemu seseorang yang… entah, berbeda. Sifa mungkin benar. Dunia Nayla yang selama ini berantakan, mungkin memang butuh seseorang seperti Ustadz Rafa untuk menata ulang semuanya. Dan hari itu, tanpa sadar, Nayla mulai membuka bab baru dalam hidupnya, bab yang tidak pernah ia rencanakan, tapi mungkin sudah ditulis oleh takdir.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
313.0K
bc

Too Late for Regret

read
303.7K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
142.1K
bc

The Lost Pack

read
423.1K
bc

Revenge, served in a black dress

read
150.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook