Bab.7 Dua Tahun Kemudian

1373 Words
Dua tahun berlalu sejak hari pertunangan itu. Waktu seakan berjalan cepat. Dalam rentang waktu itu, Nayla menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Hari wisudanya tiba, dan Rafa datang dengan pakaian rapi, duduk di antara para wali mahasiswa dengan wajah penuh kebanggaan. Pandangannya tak lepas dari Nayla yang berjalan mengenakan toga dan kerudung putih bersih. Di matanya, Nayla bukan hanya sosok istri, tapi juga pejuang yang tumbuh semakin matang dalam iman dan ilmu. “Alhamdulillah…” bisik Rafa saat Nayla menerima ijazahnya. Air mata menetes pelan di sudut matanya. Ia bangga melihat perempuan yang dulu pemalu dan penuh keraguan, kini tampil percaya diri dan bersinar di atas panggung. Dua minggu setelah wisuda, mereka segera mengatur pernikahan. Tidak ada pesta mewah. Mereka sepakat mengadakan acara sederhana namun elegan, dengan nuansa putih dan hijau pastel, di halaman rumah keluarga Nayla. Dekorasi bunga melati, lampu gantung kecil, dan hamparan sajadah panjang untuk doa bersama menjadi saksi akad mereka. Rafa mengucap ijab kabul dengan suara tegas dan mata berkaca. Nayla, dengan air mata kebahagiaan, mendengarkan setiap kata yang akan mengikatnya dengan Rafa dalam ikatan suci. “Bismillahirrahmanirrahim… Saya terima nikahnya Nayla Kartasasmitha binti Ahmad dengan mas kawin tersebut tunai,” ucap Rafa mantap. Saksi mengangguk, gema “sah” menggema dari para tamu. Tangis haru pecah. Nayla kini resmi menjadi istri dari lelaki yang ia cintai karena Allah. Setahun pertama pernikahan mereka berjalan manis. Rumah sederhana mereka dipenuhi tawa, kajian bersama, shalat berjamaah, dan obrolan malam yang hangat. Rafa tetap mengajar sebagai ustadz muda di pesantren dan beberapa kajian masyarakat, sementara Nayla mulai mengajar mengaji untuk anak-anak sekitar rumah mereka. Mereka seperti dua sahabat yang saling menguatkan. Di dapur kecil setiap pagi, Nayla menyiapkan sarapan sambil bersenandung lirih, dan Rafa sering kali mencuri-curi waktu untuk memeluknya dari belakang. “Ustadz, ini dapur bukan tempat romantis,” protes Nayla setengah malu. “Justru di sinilah cinta sederhana tumbuh,” jawab Rafa dengan tawa ringan. Namun, tahun kedua pernikahan mereka membawa ujian yang tak pernah Nayla duga. Sudah dua tahun menunggu kabar kehamilan, namun tak juga ada tanda-tanda. Awalnya mereka tidak terlalu khawatir. “Mungkin Allah ingin kita menikmati masa berdua lebih lama,” kata Rafa menenangkan. Tapi tahun ketiga, desakan mulai datang. Terutama dari ibu angkat Rafa. “Kapan Ibu gendong cucu, Rafa?” tanya sang ibu suatu sore saat mereka berkunjung. Rafa hanya tersenyum dan menjawab dengan lembut, “Doakan saja, Bu. Allah tahu waktu terbaik.” Hingga suatu hari, Nayla memberanikan diri untuk memeriksakan kandungannya ke dokter spesialis. Rafa menggenggam tangannya sepanjang perjalanan. “Apa pun hasilnya, kita hadapi sama-sama,” katanya meyakinkan. Di ruang pemeriksaan, dokter tampak serius memeriksa hasil USG dan hasil lab Nayla. Wajahnya berubah sedikit berat. “Ibu Nayla,” katanya pelan, “dari hasil pemeriksaan ini, terlihat bahwa kondisi indung telur Ibu kurang baik. Kemungkinannya untuk hamil secara alami cukup kecil…” Nayla terdiam. Seperti ada suara bergetar di telinganya, tapi tak jelas. Dokter melanjutkan, “Bukan tidak mungkin, tapi butuh proses panjang. Bisa melalui terapi hormonal, atau bahkan program khusus. Tapi harus siap secara mental dan finansial juga.” Sepanjang jalan pulang, Nayla menatap jendela mobil dengan mata kosong. Rafa sesekali melirik, mencoba menguatkan. “Nay… hasil dokter bukan akhir. Kita masih punya Allah. Banyak pasangan yang awalnya divonis sulit, tapi akhirnya diberi rezeki anak. Jangan sedih…” Nayla mengangguk, tapi hatinya remuk. Ia merasa kurang sebagai perempuan. Di rumah malam itu, setelah shalat Isya, ia menunduk lama di atas sajadah, menangis dalam diam. “Ya Allah… apakah aku tidak cukup sebagai seorang istri?” bisiknya lirih. Suatu sore, Ibu angkat Rafa memanggil Rafa ke rumahnya. Perempuan yang awalnya mulai lembut pada Nayla, namun sikapnya mulai berubah saat Nayla tidak juga bisa memberikan keturunan. “Rafa,” ucapnya dengan nada serius. “Ibu udah pengen banget gendong cucu, kapan Nayla bisa kasih Ibu keturunan…” Rafa menatap ibunya. “Bu… sabar, tadi kebetulan sudah cek ke dokter kandungan. Dokter berpesan, hanya perlu usaha dan waktu.” “Ibu tidak mau menunggu lebih lama lagi. Ibu ingin ada cucu. Ibu sudah tua, Rafa… Ibu ingin melihat keturunanmu sebelum Ibu pergi.” Tatapan ibunya tajam. “Ibu ingin kamu menikah lagi. Dengan perempuan yang bisa memberi keturunan.” Kalimat itu seperti petir menyambar. Rafa membeku. “Bu… bagaimana dengan Nayla? Dia istriku. Aku sangat mencintainya. Ibu nggak bisa mengambil keputusan sepihak seperti ini, tolong jaga perasaan Rafa dan Nayla." “Ibu tidak menyuruh kamu menceraikan Nayla,” lanjut ibunya. “Tapi menikah lagi. Ini bukan hal aneh, Rafa. Rasulullah pun berpoligami.” Rafa terdiam. Hatinya berkecamuk. Ia tahu ajaran Islam memperbolehkan poligami dengan syarat adil, tapi hatinya… tak sanggup membayangkan menyakiti Nayla. Sementara itu, tanpa sepengetahuan Rafa, Nayla mendengar percakapan itu dari balik pintu. Tubuhnya gemetar, air mata mengalir deras. Ia mundur perlahan, lalu berlari ke rumah. Malam itu, ia menangis di kamar, memeluk sajadah biru tua yang pernah Rafa berikan saat pertunangan. Beberapa bulan berlalu. Nayla memendam semuanya sendiri. Ia tak menceritakan kepada orang tuanya, tak ingin mereka ikut terluka. Setiap hari, ia menutup kesedihan dengan senyum, tapi setiap malam, ia menangis dalam sujud panjang. “Ya Allah… kalau ini takdirmu, aku ikhlas. Tapi kuatkan hatiku…” Hingga suatu malam, setelah Sholat Isya, Nayla memutuskan berbicara dengan Rafa. Ia duduk di ruang tamu dengan mata sembab. Rafa menghampiri dengan tatapan khawatir. “Nay… kamu kenapa? Sudah beberapa hari ini kamu murung,” tanya Rafa lembut. Nayla menarik napas dalam-dalam. “Ustadz…” panggilnya lirih. “Kalau… mungkin Ustadz ingin menikah lagi… Nayla ikhlas.” Air matanya jatuh. “Nayla tahu, seorang istri harus ridha… dan Nayla sadar Nayla belum bisa memberikan keturunan untuk Ustadz. Mungkin wanita lain bisa…” “Nay... Ya Allah, kenapa kamu bahas hal ini, aku nggak apa - apa, semua biar kita serahkan sama Allah.” Rafa berusaha menyela, tapi Nayla melanjutkan. “Tapi… kalau itu terjadi, Nayla minta satu hal,” katanya dengan suara bergetar. “Ceraikan Nayla dulu. Nayla tidak ingin jadi istri pertama yang menahan cemburu dan luka. Nayla tidak cukup kuat, Ustadz…” Rafa terpaku. Air matanya ikut jatuh. Ia meraih tangan Nayla, menggenggam erat. “Nay… dengarkan aku baik-baik. Aku tidak mau menikah lagi. Aku tidak mau menceraikan kamu. Aku sayang banget sama kamu, Nay. Kamu tahu, perceraian itu hal yang paling dibenci Allah. Kamu juga tahu… aku bisa kehilangan separuh napasku kalau tidak bersamamu.” Nayla terisak, kepalanya tertunduk di bahu Rafa. “Tapi Ibu… ingin cucu…” Rafa mengusap rambutnya lembut. “Sekarang tatap aku, kamu itu istriku, istri Ustadz Rafa Al -Fatih. Kalau harus memilih antara menuruti Ibu atau kehilangan kamu… aku pilih pindah dari sini. Aku nggak akan biarkan kita bercerai hanya karena ujian ini.” “Kamu itu amanah terindah yang diberikan oleh Allah SWT. Dan aku yakin… Allah bisa memberi keturunan kapan saja jika Dia mau. Tapi sekalipun tidak… kamu tetap cukup bagiku.” Kata-kata itu menghantam hati Nayla seperti pelukan hangat di tengah badai. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, ia menangis bukan karena sedih, tapi karena lega. Malam itu mereka berdua tahajud bersama. Rafa memimpin, suaranya lirih tapi mantap. Doa mereka naik ke langit malam, menyatu dalam isak dan harapan. “Ya Allah… jika ini ujian dari-Mu, kuatkan kami. Jika Engkau berkehendak, karuniakanlah kami keturunan yang soleh dan solehah. Tapi jika tidak, jadikanlah kami pasangan yang saling mencintai dan menguatkan sampai menuju surga-Mu…” Setelah doa itu, Nayla bersandar di bahu Rafa. “Terima kasih sudah tidak menyerah sampai saat ini bersama aku yang banyak kekurangan ini ya Ustadz,” bisiknya. Rafa mengecup keningnya lembut. “Kita jalan bersama, Nay. Dalam suka, dalam duka. InsyaAllah, kita pasti bisa lewati ini semua, karena ini hanya masalah waktu, maafkan sikap Ibuku ya. Karena ini bukan tentang dunia… ini tentang akhirat.” Beberapa bulan kemudian, mereka memutuskan pindah ke kota lain untuk memulai kehidupan baru. Rafa ditawari menjadi ustadz di pesantren modern, dan membuka juga kantor cabang arsiteknya, sementara Nayla diterima sebagai pengajar Al-Qur’an untuk anak-anak yatim. Lingkungan baru memberi mereka ketenangan, jauh dari desakan keluarga. Dan meski kabar kehamilan belum juga datang, rumah kecil mereka selalu dipenuhi dengan suara anak-anak yatim yang belajar mengaji, tawa mereka menjadi pelipur lara. Nayla belajar satu hal penting, yaitu cinta sejati bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang tetap bertahan dan bersyukur dalam setiap ujian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD