Sore itu langit tampak teduh. Cahaya matahari keemasan perlahan merambat turun, menyapa dedaunan dan menyinari halaman rumah Nayla yang tenang. Di depan rumah, sebuah mobil hitam sudah terparkir rapi. Ustadz Rafa turun dengan mengenakan koko putih dan peci hitam sederhana. Wajahnya berseri, seolah menyimpan rencana baik sore ini.
“Nayla…” panggilnya pelan dari depan pagar.
Nayla muncul dengan kemeja biru pastel. Ia tampak gugup tapi juga bahagia. Hari ini Rafa mengajaknya makan malam di rumahnya. Ini bukan sekadar makan malam biasa, tapi juga langkah awal Nayla mengenal lebih dalam keluarga yang membesarkan Rafa.
“Assalamu’alaikum,” sapa Nayla dengan senyum gugup.
“Wa’alaikumussalam,” balas Rafa dengan senyum hangat. “MasyaAllah, cantik sekali sore ini. Siap ya?”
Nayla tertunduk malu. “InsyaAllah siap, Ustadz.”
Mereka pun berangkat. Sepanjang perjalanan, Rafa mencoba mencairkan suasana dengan bercerita ringan tentang masa kecilnya, tentang ibu angkatnya yang sangat disiplin dan Melody yang dulu sering ikut kegiatan dakwah di rumahnya.
“Saya pengin kamu tahu, Ibu angkat saya itu orangnya baik, tapi kadang… cara bicaranya tegas banget. Kalau nanti ada yang kurang nyaman, jangan terlalu diambil hati ya?” pesan Rafa.
Nayla mengangguk patuh, meski di dalam hatinya mulai muncul rasa gugup. Ia ingin memberikan kesan baik. Ia ingin diterima.
Rumah Ustadz Rafa berdiri kokoh dengan desain klasik Arab modern. Aroma masakan khas Timur Tengah tercium dari dapur. Seorang wanita paruh baya dengan kerudung rapi dan tatapan tajam menyambut mereka di teras.
“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa Rafa sambil mencium tangan wanita itu.
“Wa’alaikumussalam,” jawab sang ibu angkat dengan senyum tipis, lalu matanya beralih ke Nayla. Tatapan itu menusuk, seperti sedang menilai dari ujung kepala hingga kaki.
“Ibu… ini Nayla,” ujar Rafa memperkenalkan dengan bangga. “Rafa ajak ke sini, biar Nayla dan Ibu bisa semakin akrab.”
Nayla menunduk sopan dan mencium tangan ibu Rafa dengan takzim. “Assalamu’alaikum, Ibu. Senang sekali bisa bersilaturahmi…”
“Wa’alaikumussalam,” jawab sang ibu dengan nada datar. “Masuklah.”
Nayla mengikuti Rafa masuk dengan langkah gugup. Rumah itu indah dan hangat, tapi suasana di dalam terasa sedikit tegang karena tatapan tajam sang ibu. Setelah shalat Maghrib berjamaah, mereka menuju meja makan.
Meja makan sudah tertata rapi dengan hidangan nasi kebuli, ayam panggang, dan salad timur tengah. Namun sejak awal duduk, sang ibu mulai melontarkan kalimat-kalimat halus namun menyengat.
“Jadi kamu kuliah jurusan apa, Nay?” tanya ibu Rafa dengan nada datar sambil mengambilkan nasi.
“Manajemen Bisnis, Bu,” jawab Nayla sopan.
“Hmm… bukan ilmu agama ya? Padahal Melody dulu waktu pertama kali ke sini sudah hafal 15 juz. Anak yang shalihah, aktif organisasi, dan cerdas,” ucapnya sambil menatap Nayla sekilas.
Nayla terdiam. Rafa berusaha menyela. “Bu, setiap orang punya jalan masing-masing. Nayla juga sedang belajar mendalami agama kok, Bu.”
Tapi sang ibu hanya tersenyum tipis dan kembali bertanya, “Kamu masak bisa, Nayla? Rafa itu makannya agak pilih-pilih. Melody dulu sampai hafal semua menu kesukaan Rafa. Anak itu memang… luar biasa.”
Nayla menelan ludah. Ia mencoba tersenyum. “InsyaAllah saya sedang belajar masak juga, Bu…”
“Belajar?” sang ibu mengulang kata itu dengan nada sinis. “Kalau baru belajar, nanti siapa yang urus Rafa setelah menikah? Ibu tidak ingin Rafa menikah dengan perempuan manja yang hanya bisa bersandar.”
Perkataan itu menusuk hati Nayla seperti pisau tajam. Nafsu makannya hilang seketika. Rafa tampak resah.
“Ibu…” ucap Rafa dengan suara pelan namun tegas. “Tolong jangan bandingkan Nayla dengan Melody terus. Rafa sudah bilang, ini pilihan Rafa.”
Tapi sang ibu tak berhenti. “Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Nak. Kamu itu calon ustadz besar. Masa pasangan hidupmu bukan hafizhah, bukan aktivis dakwah, dan… hanya gadis yang hidupnya hanya bisa foya - foya?”
Kata “gadis yang hidupnya hanya bisa foya - foya” itu seperti menampar Nayla. Ia berusaha menahan air mata, tapi dadanya sesak. Suara sendok di tangannya mulai bergetar. Hatinya rapuh. Iman yang belum sepenuhnya kokoh mulai terguncang.
Akhirnya Nayla meletakkan sendok perlahan, menunduk, lalu berkata lirih dengan suara bergetar,
“Maaf, Ibu… Nayla tidak sempurna seperti Melody. Tapi Nayla berusaha menjadi lebih baik setiap hari. Terima kasih atas jamuannya… Maafkan Nayla kalau belum bisa seperti yang Ibu harapkan.”
Air mata mulai jatuh di pipinya. Rafa langsung menoleh, panik. “Nayla..”
Tapi Nayla berdiri, mencium tangan ibu Rafa dengan takzim. “Terima kasih atas nasihatnya, Ibu. InsyaAllah Nayla ingat semuanya. Assalamu’alaikum.”
Ia berbalik cepat, berlari kecil keluar rumah sambil menahan tangis. Rafa segera berdiri, hendak mengejar, namun Nayla sudah melambaikan tangan ke taksi yang lewat. Mobil itu melaju, meninggalkan Rafa yang berdiri dengan wajah gelisah.
“Ibu!” seru Rafa menoleh ke arah ibunya. “Kenapa harus begini? Bukankah sudah Rafa bilang, jangan singgung Melody lagi? Nayla itu calon tunangan Rafa, Bu. Lima hari lagi kami akan mengikat janji! Kenapa Bu tega melukai hatinya?”
Sang ibu terdiam, sedikit kaget dengan ketegasan Rafa. Tapi Rafa tak berhenti.
“Bu… Nayla bukan manja. Dia sedang belajar. Bukankah setiap orang punya waktu untuk bertumbuh? Kalau semua harus langsung sempurna seperti Melody, lalu siapa yang akan mendampingi orang-orang biasa seperti kami untuk sama-sama menuju surga?” ucapnya dengan mata berkaca.
Di rumah, Nayla masuk ke kamarnya dengan mata bengkak. Ia mengunci pintu dan terisak keras. Kalimat-kalimat sang ibu berputar di kepalanya:
“Perempuan manja… bukan hafizhah… hanya gadis yang bisanya foya - foya…”
Hatinya hancur. Ia merasa kecil, tidak pantas. Malam itu ia tidak makan, hanya berbaring di ranjang sambil memeluk sajadah. Shalat malam ia lakukan sambil menangis, meminta Allah menguatkan hatinya. Namun luka itu begitu dalam.
Dua hari berlalu, Nayla tidak berangkat kuliah. Telepon dari Rafa tidak dijawab. Pesan-pesan hanya dibaca tanpa balasan. Ia menutup diri. Nafsu makannya hilang, tubuhnya mulai lemah.
Rafa gelisah luar biasa. Ia datang ke kampus, Nayla tak ada. Ia menelepon, tak diangkat. Hingga akhirnya, pada hari ketiga, ia memutuskan datang sendiri ke rumah Nayla.
Ketika ibunya Nayla membukakan pintu, Rafa langsung mengucap salam dengan mata khawatir. “Boleh saya bertemu Nayla, Bu?”
“Silakan, Ustadz. Sejak pulang dari rumah Ustadz, anak saya memang murung,” jawab ibunya cemas.
Rafa mengetuk pintu kamar pelan. “Nayla… ini saya. Boleh saya masuk?”
Tak ada jawaban. Tapi suara isak samar terdengar. Rafa menunggu sejenak, lalu dengan izin ibu Nayla, pintu dibuka perlahan.
Nayla duduk bersandar di dinding, wajahnya pucat dan matanya sembab. Rafa terpaku. Dadanya sesak melihat wanita yang ia cintai dalam keadaan seperti itu. Air mata menetes dari matanya.
“Nayla…” panggilnya pelan. “Kenapa kamu nggak jawab telepon saya? Saya khawatir…”
Nayla menunduk. “Saya nggak tahu harus bilang apa, Ustadz… Saya malu…”
Rafa mendekat dengan tetap menjaga jarak, duduk di lantai tak jauh darinya. “Malu? Kenapa?”
“Karena semua yang Ibu Ustadz bilang… benar,” katanya lirih. “Saya bukan hafizhah. Saya nggak secantik, sepintar, atau sesempurna Melody. Saya cuma Nayla… gadis biasa yang bahkan masih belajar memperbaiki diri. Saya takut… saya bukan yang terbaik untuk Ustadz.”
Air matanya kembali jatuh. Rafa menatapnya lama, lalu dengan suara bergetar ia berkata,
“Nayla… kamu tahu nggak, saat kamu pergi malam itu, saya rasanya seperti kehilangan separuh jiwa saya. Saya berdiri di depan rumah sambil berdoa, semoga Allah jaga kamu dari rasa putus asa.”
Ia menarik napas dalam, menahan tangis. “Saya tidak butuh Melody. Saya tidak butuh kesempurnaan. Saya butuh kamu… yang dengan segala kekuranganmu, tetap berusaha mencintai Allah dan belajar setiap hari. Itulah yang membuat saya jatuh cinta.”
Rafa menunduk, meneteskan air mata. “Nayla… jangan izinkan kata-kata manusia membuatmu lupa bahwa Allah yang menilai hatimu. Bukan Ibu saya, bukan orang lain, bahkan bukan saya. Tapi Allah.”
Nayla tertegun. Hatinya perlahan mencair. Rafa melanjutkan,
“Saya akan bicarakan lagi dengan Ibu. Ini ujian untuk kita. Allah sedang menguji ketulusan cinta kita. Kalau kita saling berpegang pada-Nya, kita akan kuat. Saya nggak mau kehilangan kamu hanya karena prasangka dan perbandingan yang tidak adil.”
Nayla menutup wajahnya, menangis pelan. Tapi kali ini bukan tangis putus asa, melainkan tangis haru. Dalam hatinya muncul kekuatan baru.
Rafa menatapnya lembut. “Lima hari lagi kita akan bertunangan, Nay. Saya tidak ingin kamu datang dengan hati yang luka. Saya ingin kamu datang dengan hati yang yakin… bahwa cinta ini kita niatkan karena Allah.”
Nayla perlahan mengangguk. “InsyaAllah, Ustadz… saya akan kuat.”
Rafa tersenyum, meski matanya masih basah. “Itu Nayla yang saya kenal…”
Malam itu, setelah Rafa pulang, Nayla kembali bersujud lama. Dalam sujudnya ia berkata,
“Ya Allah… jika benar ini jodohku, kuatkan aku. Jangan biarkan aku kalah oleh rasa rendah diri. Jadikan aku perempuan yang mencintai karena-Mu, bukan karena penilaian manusia.”
Dan di rumah Rafa, sang ibu duduk sendirian di ruang tamu. Kata-kata Rafa terngiang di telinganya. Dalam diam, hatinya mulai luluh. Ia mulai berpikir… mungkin ia terlalu keras menilai tanpa melihat ketulusan Nayla.
Ujian pertama telah datang… namun cinta yang lillahi ta’ala akan selalu diberi jalan oleh Allah.