Ketahuan hamil

1065 Words
Wajah Viona memerah karena marah, otaknya berpikir keras mengingat kejadian tadi malam. Satu persatu kepingan ingatan Viona terkumpul. Ingatan yang tadinya hanya berupa kepingan kini berubah menjadi serangkaian kejadian seperti yang ada di film layar lebar. Kejadian tadi malam terus berputar di kepala Viona. Wajah yang tadinya memerah karena marah, berubah seketika menjadi rasa malu yang tiada tara. "Kenapa diam? Sudah mengingatnya?" tanya Axel, mengais pakaiannya di lantai. Melihat pria di hadapannya memegang pakaian pelayan, membuat Viona terkejut bukan main. Gila, ini sungguh gila. Dia hanya seorang pelayan hotel? Dasar bodoh, bisa-bisanya aku menyerahkan mahkotaku kepada seorang pelayang. Kalau dia memberitahu orang lain bagaimana? Ayah pasti akan marah besar. Aku harus bagaimana? Tapi, aku tidak mau dijodohkan dengan pria bernama Axel itu. Apa aku minta saja pelayan ini untuk jadi suami sewaanku? Viona terus bicara di dalam hati. Axel sudah selesai memakai pakaian. Namun, gadis di depannya masih sibuk dengan lamunan dan rencananya. "Jangan terlalu memandangiku seperti itu!" tegur Axel, menatap sinis. "Siapa yang memandangi pelayan sepertimu? Jangan terlalu percaya diri!" ejek Viona. Emosi Axel meluap mendengar penghinaan yang dilontarkan oleh gadis di hadapannya. Memangnya siapa gadis ini? Sombong sekali bicara seperti itu. Sayang sekali aku sedang dalam masa hukuman, kalau tidak, sudah aku sobek mulut kotornya itu, batin Axel, menatap tajam ke arah Viona. "Aku ada tawaran untuk kamu, aku akan memberi kamu gaji yang besar dari gaji pelayan kamu sekarang," Viona memberi tawaran dengan angkuhnya. "Aku tidak butuh tawaranmu, pergilah! Aku harus bekerja," usir Axel, mencoba untuk tetap sabar. "Kamu memang tidak butuh, tapi aku perlu kamu. Aku tidak mau mulut kotor kamu itu bercerita pada orang lain mengenai tadi malam. Aku beri tawaran yang menarik, bagaimana? Aku akan memberi kamu gaji satu bulannya 5 juta, gaji itu dua kali atau tiga kali lipat dari gaji kamu setiap bulan. Tawarannya tidak sulit, kamu hanya harus jadi suami sewaanku saja selama enam bulan ke depan. Bagaimana?" tanya Viona, tidak tau harus berbuat apa lagi. "Kau gila! Kita baru saja bertemu, bisa-bisanya kau memintaku untuk jadi suami sewaanmu," bentak Axel tidak habis pikir. Viona berpikir keras mencari alasan agar pria di depannya mau menerima tawarannya. "Terserah kamu mau mengatakan aku ini apa? Gila? Stress? Apa pun itu, aku tidak peduli. Aku hanya meminta pertanggung jawaban kamu saja, syukur-syukur aku bayar setelah itu," ucap Viona, menatap tajam Axel. "Pertanggung jawaban apa? Memangnya aku melakukan apa?" geram Axel. "Kamu bertanya seolah kamu tidak bersalah dan melakukan apa pun? Kamu pikir, setelah kejadian tadi malam semuanya akan berjalan seperti biasanya? Kalau aku hamil bagaimana?" bentak Viona kesal. Axel terdiam sejenak. "Sekarang kau tidak lagi hamil. Jangan mengada-ada! Kita hanya melakukannya satu kali, mana mungkin bisa langsung hamil," bantah Axel. "Ya, kita memang melakukannya sekali saja, tapi ronde nya banyak. Pokoknya aku tidak mau tau, kamu harus bertanggung jawab! Memangnya kamu pikir aku mau meminta pertanggung jawaban seperti ini kalau tidak terpaksa? Aku juga tidak mau punya calon suami pelayan sepertimu!" tunjuk Viona ke wajah Axel. Axel menurunkan jari telunjuk Viona, matanya menatap tajam ke arah gadis di depannya. Baru kali ini Axel diperlakukan seperti ini, apa lagi yang memperlakukannya seorang gadis, yang Axel sendiri tidak tau asal usulnya. "Jangan pernah merendahkan orang lain! Memangnya kau siapa, hah? Aku tidak mau menerima tawaran gilamu itu. Aku akan memberikan nomor ponselku, jika kau benar-benar hamil. Kau datang saja ke sini, atau kau hubungi saja nomorku," tolak Axel, mengambil selembar kertas dan sebuah pena. Axel menuliskan nomor teleponnya, lalu memberikannya kepada Viona. "Ini nomorku, hubungi saja ke nomor itu. Ingat, itu jika kau hamil saja, dan memperlihatkan bukti kehamilan. Jangan coba-coba menipuku!" ancam Axel, meninggalkan Viona. "Siapa nama kamu?" teriak Viona. Axel menghentikan langkahnya, hampir saja Axel menyebut nama aslinya. Dengan cepat Axel menyebut nama belakangnya. "Dipta, namaku Dipta," jawab Axel, melangkah keluar. Viona melemparkan selimutnya ke sembarang arah. Kakinya turun melangkah, mengambil pakaiannya. Dasar pelayan sialan. Berani-beraninya dia menolakku. Memangnya dia pikir dia siapa? Hanya seorang pelayan saja sombong. Bagaimana ini? Kalau aku kembali ke rumah sekarang, Ayah pasti akan menjodohkan aku lagi dengan pria bernama Axel itu. Biarpun dia seorang anak tunggal dari orang terkaya di kota ini, tetap saja aku tidak mau. Melihatnya saja aku tidak pernah, bagaimana mau langsung menikah? Semoga saja aku benar-benar hamil, biarpun menikah dengan seorang pelayan, tapi dia sangat tampan. Mungkin saja bisa memperbaiki keturunan, gerutu Viona, memakai kembali pakaiannya. *** Dua bulan sudah berlalu, baik Viona ataupun Axel, tidak pernah lagi bertemu setelah kejadian malam terlarang itu. Keduanya sibuk dengan urusan dan pekerjaan masing-masing. Axel sibuk jadi pelayan hotel, sedangkan Viona sibuk dengan perusahaan miliknya. "Viona, kapan kamu mau menikah dengan Axel?" tanya Ayahnya. "Aduh, Yah. Jangan membahas pernikahan terus! Aku ini masih belum siap, aku masih sibuk mengurus bisnisku. Lagi pula, aku juga tidak pernah bertemu dengan pria bernama Axel itu," tolak Viona. "Kamu selalu saja mengundur waktu. Memangnya, apa yang kamu urus? Ayah bisa membantu kamu mengerjakan semuanya. Usia kamu sudah tidak muda lagi Vio, kamu mau jadi perawan tua?" tanya Ayah Viona kesal. Perawan apanya? Ayah saja tidak tau kalau aku sudah kehilangan mahkota berharga itu, dua bulan yang lalu, batin Viona, nampak acuh. "Sudah lah, Yah. Berhenti menjodoh-jodohkan Vio. Vio sudah besar, Vio bisa mencari pria pilihan Vio sendiri," sahut Viona, tiba-tiba berlari seraya menutup mulutnya. Melihat Viona berlari mendadak, Ayah Viona juga ikut berlari menyusul putri semata wayangnya itu. "Kamu kenapa, Vio? Kamu hamil?" tanya Ayah Vio, melihat Viona muntah-muntah. "Hamil?" gumam Viona, terkejut. "Iya, kamu hamil? Kenapa kamu muntah-muntah? Apa yang sudah kamu lakukan di luar sana?" bentak Ayahnya. Viona tidak menjawab pertanyaan sang Ayah, dirinya sibuk menghitung jadwal tamu bulanannya. Aku benar hamil, sudah dua bulan ini aku tidak kedatangan tamu. Apa ini benar? Kalau benar, aku bisa selamat dari perjodohan itu, batin Viona, tersenyum senang. "Jawab Ayah! Kenapa kamu senyum seperti itu? Anak siapa yang kamu kandung? Jangan membuat malu Ayah, Vio!" bentak Ayahnya menahan emosi. "Maaf, Yah. Vio tidak sengaja, Vio benar-benar hamil. Ayah dari anak yang Vio kandung ini adalah kekasih Vio," jawab Viona berbohong. Satu tamparan keras terasa panas di pipi kiri Viona. "Dasar keterlaluan kamu, Vio! Ayah membesarkan kamu seorang diri, Ayah mendidik kamu dari kecil, Ayah menyayangi kamu selama ini. Tapi, ini yang kamu balas untuk Ayah? Kamu mempermalukan Ayah!" bentak Ayah Vio, menarik rambutnya kasar. Viona sekuat tenaga menahan air matanya, ini kali pertama Ayah yang sangat dia cintai menyakitinya. Viona memegang pipi kirinya kemudian berlari menuju kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD