Part 1

1314 Words
“Ananta!!” Perempuan yang sedang berjalan dengan blazer abu-abu menoleh ke sumber suara. Rambutnya yang sebahu ikut bergerak mengikuti. Ketika pandangan matanya menemukan sosok yang memanggilnya, senyum merekah di bibirnya yang berwarna pink nude. Hasil polesan lipstick yang tadi dilakukannya sebelum berangkat ke mall ini. “Sarah?” tebaknya dengan pandangan tidak percaya. “ Iya betul! Ini aku Sarah!” balas perempuan bernama Sarah itu. Dua perempuan yang sudah lama tidak bersua itu berpelukan sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pertemuan mereka di salah satu kedai kopi terdekat. Sarah bukanlah teman terdekat Ananta. Tapi perempuam dengan model rambut pixie itu dikenal memiliki sifat dermawan sejak dulu. Ia selalu menolong siapa saja tanpa pandang bulu. Ayahnya yang memiliki perusahaan frozen food di Indonesia mampu memenuhi semua kebutuhannya. Tidak heran jika dia memiliki semua yang diingini remaja perempuan kala itu. “Bagaimana kabarmu?” tanya Sarah sambil menyeruput kopi miliknya. “Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja. Kamu sendiri bagaimana?” “Aku juga baik.” Sarah menyilangkan kakinya. “Berapa lama ya kita nggak ketemu? Sepuluh tahun?” lanjutnya. “Mungkin,” sahut Ananta diiringi senyum tipis. “Nggak sempet ngitung sih…” “Bisa aja kamu,” kata Sarah tertawa kecil. “ Eh… lagi sibuk apa sekarang?” “:Lagi nggak ada sih. Lebih tepatnya lagi cari kerjaan.” “Serius!?” Ananta mengangguk. “Pas banget kalau begitu! Kebetulan aku lagi ada lowongan pekerjaan.” “Pekerjaan apa?” tanya Ananta bersemangat. “Front office di Axie Hotel. Bagaimana?” tawar Sarah. “Tentu saja aku mau!” “Baguslah kalau begitu. Besok aku kabari kamu kelanjutannya. Kasih aku nomor HP-mu saja supaya aku bisa menghubungimu.” Mereka pun bertukar nomor handphone dan memutuskan untuk mengakhiri pertemuan mereka siang itu. “Thank ya, Sar. Kabari aku segera,” pinta Ananta. “Siap Bu! Ngomong-ngomong kamu sudah menikah belum?” tanya Sarah. Untuk beberapa detik Ananta terdiam sebelum akhirnya menjawab, “Memangnya kenapa? Yang bisa bekerja harus belum menikah ya?” “Bukan! Bukan soal pekerjaan. Aku hanya bertanya saja,” jelas Sarah sambil menggoyangkan tangannya di udara. “Kalau begitu aku pamit duluan ya soalnya tunanganku sudah ngejemput. Kalau aku telat sedikit dia suka ngomel-ngomel.” Ananta mengangguk mengerti sambil tersenyum kecil. Setelah pamit dengan ritual cupika-cupiki, Sarah pun keluar dari kafe tersebut dengan langkahnya yang anggun. Langkah yang mampu membuat beberapa pasang mata yang berada di kafe itu memandangnya dengan panangan kagum. Termasuk Ananta. Karena faktanya meski sepuluh tahun telah berlalu Sarah tidak banyak berubah. Baik bentuk tubuh maupun kecantikan di wajahnya. Dan satu hal lagi, kebaikan hatinya yang selalu menolong siapa saja. *** Satu minggu kemudian setelah pertemuan itu barulah Ananta mendapatkan satu pesan dari Sarah yang mengatakan jika ia diharuskan datang besok jam sembilan tepat untuk melakukan wawancara di Axie Hotel. Keesokan harinya Ananta langsung mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk wawancara tersebut. Dengan memakai kemeja putih, rok pensil hitam dan blazer senada ditambah almond toe pump berwarna abu-abu Ananta siap berangkat. Tidak lupa mengoleskan make up tipis ke wajahnya. Jam setengah sembilan tepat Ananta sudah siap untuk melakukan interview. Untunglah di zaman yang serba canggih seperti sekaranga ini sudah ada mas ojek online yang selalu siap mengantarnya ke mana pun Ananta menginginnkannya, asal jangan lupa dibayar. Hehehe… Jam sembilan kurang sepuluh menit Ananta berhasil tiba di depan gedung Axie Hotel yang tampak begitu megah. Sepasang pilar putih yang berdiri kokoh memperlihatkan kemegahannya sebagai hotel bintang lima. Sesampainya di lobby utama Ananta disambut dengan lampu kristal besar yang tergantung indah di atas langit-langit lobby. Membiarkan tamu-tamu yang datang berkunjung untuk terpesona pada keindahannya. Di sisi kanan pintu seorang pria dengan jas hitam dan dasi senada menyapa Ananta dengan ramah. “Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” “Pagi Mas, saya datang ke sini untuk melakukan interview. Boleh tahu ruangan untuk interview karyawan baru di sebelah mana ya?” “Ibu lurus saja di lorong itu lalu belok kanan. Nanti jalan saja terus sampai menemukan satu pintu besar berwarna cokelat.” Ananta mengangguk mengerti. “Terima kasih ya Mas.” “Sama-sama Bu.” Setelah itu Ananta berjalan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh pria tadi. Ketika ia menemukan dua daun pintu yang cukup besar dan berwarna cokelat, jantungnya mulai berdetak tidak beraturan. Di balik pintu inilah masa depannya ditentukan. Tapi cemas mulai merasuki hatinya. Bagaimana jika pelamar lain lebih muda dan lebih cantik darinya? Belum lagi perihal pendidikan. Karena pendidikan terakhir yang dimilikinya hanyalah SMA. Juga latar belakang pekerjaannya selama ini adalah pegawai butik dan pergawai mini market. Ah, mungkin seharusnya ia tidak datang. Apa sebaiknya ia pulang saja? Tapi apa yang harus ia katakan pada Sarah nanti? Mundur sebelum berperang karena hilangnya kepercayaan diri? Atau sakit parah sehingga tidak bisa melakukan interview? Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri membuat Ananta tidak sadar jika sejak tadi ada seseorang yang sedang memperhatikannya entah sejak kapan. “Ehem…” Ananta melonjak terkejut. Sejak kapan ada orang lain di lorong ini selain dirinya? Dengan penuh hati-hati dia memutar tubuhnya dan saat itulah dia menemukan seorang pria berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri. Dalam dia Ananta mulai memperhatikan sosok dihadapannya. Mulai dari wajahnya yang terbilang cukup tampan membuat Ananta menebak-nebak usianya yang kira-kira terbilang tiga puluhan. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, alisnya tebal, matanya bening, garis hidungnya yang lurus membuatnya tampak mancung, dan bibirnya yang bebas dari bulu-bulu halus menambah ketampanannya. Rahangnya yang kokoh menambah kesan betambah jantannya dia. Belum lagi tubuh tegapnya tercetak sempurna dibalik kemeja biru yang digulungnya hingga ke siku. “Maaf, saya bukan stalker atau penjahat. Tapi saya ke sini untuk melakukan…” jelas Ananta tanpa diminta. “Interview,” potong pria itu cepat. “Be-benar. Bagaimana anda bisa tahu?” tanya Ananta heran. “Perkenalkan saya Robby Sinaga, kepala HRD di tempat ini. Mbak Sarah sudah memberitahu saya perihal anda yang hendak datang melamar. Jadi sudah pasti saya bisa menebak alasan anda berdiri di sini,” jelas Robby Sinaga diiringi senyum ramah dan tangan kanannya yang terulur ke udara. “Begitu ya,” ucap Ananta sambil menarik napas lega. “Pantas saja anda bisa menebak tujuan saya datang ke sini,” lanjutnya sambil membalas uluran tangan Robby Sinaga. “Maaf atas keterkejutan yang telah saya lakukan.” “Tidak apa-apa. Salah saya juga terlalu berpikir di depan pintu. Mungkin orang lain akan melakukan hal yang sama dengan yang anda lakukan tadi,” ralat Ananta disusul tawa hambar. Meski begitu dalam hati ia mengomeli dirinya sendiri. Bodoh! Kenapa harus memalukan diri sendiri!? “Baiklah kalau begitu bagaimana jika kita memulai interview-nya?” ajak Robby sembari membukakan pintu untuk Ananta yang dibalasnya dengan anggukan setuju. Setelah melakukan interview yang cukup panjang, tanpa terasa satu jam telah berlalu. Sungguh Ananta tidak pernah menduga jika masih ada pria tampan yang baik hati seperti Robby Sinaga. “Jadi mulai hari Senin nanti saya sudah bisa mulai bekerja?” Ananta mengulang ucapan Robby Sinaga dengan pandangan tidak percaya. “Betul sekali.” Ananta memandang Robby Sinaga dengan penuh terima kasih. “Terima kasih Pak Robby! Saya berjanji akan bekerja dengan sangat baik!” “Berterimakasihlah pada Sarah dan pemilik hotel ini. Saya hanya melakukan pekerjaan saya,” kilah Robby diiringi senyum. Kening Ananta bertautan ketika mendengar ucapan Robby. Apa maksudnya pemilik hotel? Jelas sekali jika ia baru pernah menginjakkan kaki di hotel ini, jadi tidak ada kemungkinan ia mengenal pemiliknya. Tapi mengapa Robby berkata jika ia harus berterima kasih dengan pemiliknya? “Maksud anda apa?” Robby bersedekap. “Jujur saja ketika Ibu Sarah yang selaku sekretaris hotel ini merekomendasikan anda pada pemilik hotel ini, beliau langsung menyetujui hanya setelah mendengar nama anda. Padahal melihat resume anda saja belum.” Mendengar peenjelas Robby membuat kerutan di dahi Ananta semakin dalam. Bagaimana bisa? Rasanya dia tidak memiliki kenalan dengan orang besar seperti pemilik hotel. Sekalipun ada hanyalah seorang ibu rumah tangga pemilik kosan di dekat rumah. “Kalau boleh tahu memangnya siapa pemilik hotel ini? Mungkin saja saya mengenalnya atau jangan-jangan beliau adalah orang tua yang saya tolong ketika hendak menyeberang jalan,” tebak Ananta. Dalam hati ia bertanya-tanya siapa gerangan pemilik hotel yang begitu baik hati kepadanya. “Anda tidak tahu? Beliau sangat terkenal. Bahkan nama beliau selalu masuk dalam majalah bisnis se-Asia!” Ananta menggelengkan kepalanya. Menghafalkan nama anggota BTS yang disukai Joana saja sulitnya bukan main! Apalagi nama deretan pria sukses se-Asia! “Nama pemilik hotel ini adalah Chris Josepha. Anda kenal?” Bagai disambar petir rasanya ketika mendengar nama itu kembali didengarnya setelah sepuluh tahun lamanya. Tanpa ia sadari tubuhnya menegang. Wajahnya memucat dan jemarinya gemetar. Setelah sepuluh tahun lamanya ia hidup dalam damai tanpa mendengar nama itu, sekarang ia harus kembali mendengar nama itu kembali. Nama pria yang paling dibenci di dalam hidupnya. Chris Josepha. Pria yang telah merenggut kehormatannya sepuluh tahun yang lalu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD