Chapter 1

1902 Words
Siang hari yang menyejukkan, di kala musim dingin berganti menjadi musim semi. Kelopak bunga bermekaran dengan kupu-kupu hitam yang berterbangan di sekitarnya. Terlihat seorang pemuda bersurai emas dengan iris rubinya tengah berbaring di atas rerumputan sambil menatap langit. Wajah tampannya menatap kosong saat kupu-kupu hitam menghinggapi hidung mancungnya. "Pangeran …." Terdengar samar-samar teriakan seorang lelaki yang kini dalam sekejap sudah berada di dekat sang pemuda. "Pangeran, sebaiknya Anda tidak berkeliaran seperti ini tanpa pengawalanku," kata lelaki itu sambil menatap datar pemuda bersurai emas itu. "Aku hanya ingin berbaring di sini, kau  berisik sekali," jawab pemuda yang ternyata seorang pangeran itu masih dengan tatapan kosongnya. "Yang Mulia Ratu mencari Anda," kata lelaki itu sambil menaikkan kedua alisnya. Dengan sigap pemuda bersurai emas itu bangun lalu berdiri sambil membersihkan tubuhnya. Matanya yang sejak tadi menatap kosong kini mulai berbinar-binar saat pengawalnya menyebutkan nama "Ratu". "Di mana Ibuku?" tanya pemuda itu datar meski di wajahnya tidak mencerminkan perkataannya. "Yang Mulia Ratu menunggu di kediaman Anda bersama Yang Mulia Raja Phanthom," jawab lelaki itu sedikit menarik sudut bibirnya ke atas. "Terima kasih, Eather," gumam pemuda itu lalu menghilang ditelan angin hitam. Lelaki yang diketahui namanya Eather itu hanya tersenyum kecil melihat kelakuan Tuan Mudanya itu. Sesampainya pemuda itu di dalam kamarnya, ia melihat seorang wanita muda bersurai merah muda dengan lelaki yang tengah menyesap tehnya duduk di sofa panjang. "Ibu...," kata pemuda itu berlari lalu memeluk tubuh wanita cantik itu dengan senyumnya yang mengembang. "Di mana sopan santunmu, Pangeran?" Lelaki yang kini di sebelah wanita cantik itu menginteruksi kelakuan Pangeran kecilnya. "Maaf, aku hanya rindu pada Ibu karena sudah lama tidak bertemu," ucap sang Pangeran lalu mencium punggung tangan Sakura dengan elegan. "Bagaimana kabarmu hari ini, Pangeran kecilku?" tanya wanita cantik itu sambil mengelus kepala Pangeran muda itu dengan sayang. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit bosan," jawab Pangeran itu dengan wajah datarnya. "Apa kau  kehabisan monster lagi?" tanya wanita itu. "Aku tidak diperbolehkan keluar istana oleh Ayah Sebastian," jawabnya polos sedangkan lelaki di samping wanita itu hanya tersenyum simpul. "Sebastian." Wanita itu kini menoleh ke arah lelaki di sampingnya. "Aku tidak ingin dia membuat kekacauan di kota, Sakura," jawab lelaki itu membela diri. "Ibu, Ayah Sebastian menyuruhku untuk–" "Zero, bisa bicarakan itu lain kali?" potong Sebastian menatap tajam putranya dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya. "Katakan padaku apa yang Ayahmu ini perintahkan." Wanita yang bernama Sakura itu kini menatap curiga pada Sebastian. "Ayah Sebastian menyuruhku untuk berlatih merayu seorang gadis," jawab Pangeran yang diketahui namanya Zero itu.   Kraakk Gelas yang dipegang Sakura tiba-tiba retak, aura gelap terpancar jelas di sekitar sang Ratu. Sebastian hanya bisa mengurut keningnya pasrah. Sedangkan sang Pangeran hanya menatap bingung sang Ratu karena meski tersenyum aura yang dikeluarkan adalah aura membunuh. "Ibu, kuingin mendengarkan cerita Ibu." Zero mengalihkan pandangan Sakura dari Sebastian. Sakura menoleh, dalam sekejap aura membunuhnya menghilang lalu diganti dengan aura hangat dan kasih sayang yang terpancar dari tubuhnya. "Apa yang ingin kau dengar?" tanya Sakura sambil tersenyum, diam-diam Sebastian mengacungkan jempolnya ke arah Zero. "Apa yang Ibu lakukan di luar kerajaan? Bukankah Ayah Sebastian melarang Ibu untuk keluar?" tanya Zero yang kini duduk di sofa tepat di hadapan sang Ratu. "Ada pertemuan penting di Kerajaan Asmodeus, dan Ibu harus menghadirinya. Jadi, Ibu harus hadir bersama dengan Ayah Lazark," jawab Sakura sambil tersenyum pada putranya. "Sudah beberapa bulan ini mereka tidak datang ke Kerajaan Phanthom, apa mereka sudah tidak mencintaimu?" tanya Sebastian dengan senyum manisnya. "Kutahu kau  mengharapkan itu, Sebastian," sindir Sakura menatap malas suaminya. "Tentu saja, aku tidak perlu menahan diriku jika mereka sudah tidak mencintaimu lagi," jawab Sebastian yang kini mulai menyeringai. "Ibu, aku pernah melihat Ayah Sebastian tengah merayu gadis yang baru saja bekerja di istana," kata Zero yang langsung membuat darah Sakura mendidih setelah mendengarnya. "Sebastian!" pekik Sakura. "Aku akan menjelaskannya nanti, itu hanya salah paham," jawab Sebastian sedikit meringis. "Di mana gadis itu, Zero?" tanya Sakura dingin. "Aku sudah membunuhnya, saat gadis itu datang padaku tiba-tiba gadis itu melebur menjadi abu," jawab Zero sambil memiringkan kepalanya, Sakura tertegun melihat gelagat aneh dari sang putra. "Apa gadis itu tidak layak di matamu?" tanya Sakura hati-hati. "Sangat tidak layak," jawab Zero sambil tersenyum riang. "Zero...," panggil Sakura dengan nada rendah. "Ya?" jawab Zero yang kini menggoyangkan kedua kakinya. "Bagaimana jika Ibu ...." Sakura terdiam sejenak, Zero menatap ibunya bingung. "... jika Ibu sudah tidak layak di matamu?" lanjut Sakura mencoba menghilangkan raut wajah gelisahnya. "Apa yang Ibu bicarakan?" jawab Zero masih dengan wajah riangnya, Sakura menatap bingung ke arah Zero. "Jika Ibu tidak layak ... aku sudah membunuh Ibu sebelum aku lahir. Dan jika suatu hari Ibu menjadi tidak layak, aku akan membunuh siapa pun yang membuat Ibu tidak layak di mataku," jawab Zero dengan polosnya. "Mengapa kau  tidak membunuhku?" tanya Sakura heran. "Karena Ibulah satu-satunya tempat untukku kembali," jawab Zero yang masih memasang wajah riangnya. Sakura merentangkan kedua tangannya ke samping, sadar akan ibunya yang meminta pelukan, Zero langsung menghampiri Sakura lalu memeluknya erat. Kekuatan Zero memang unik, ia bisa melihat seseorang yang memiliki niat jahat ataupun niat untuk membunuh. Kekuatannya yang besar itu membuatnya sangat ditakuti di istana. Baginya yang tidak layak hidup dengan mudah ia bunuh, entah langsung menjadi abu atau dibunuh dengan perlahan. Sedanngkan Sakura baginya adalah segala-galanya, ia tidak peduli dengan perselisihan antara semua ayahnya. Selagi ibunya tidak ikut dalam perselisihan mereka, Zero tidak masalah dengan semua hal itu. Perilaku Zero yang tidak dapat dibaca itu membuat Sakura sangat menyayangi Zero lebih dari apa pun. Dan Zero pun mengetahuinya, tentu saat berpuluh-puluh tahun di dalam perut sang ibu. Bersembunyi dari dunia luar, Zero mengawasi apa yang dilakukan sang ibu dari dalam. Zero merasakan semuanya, kasih sayang yang ia dapatkan sebelum lahir. Perhatian, rasa duka, benci, sakit hati selalu Zero rasakan. Dan Sakura tetap tegar menghadapi semua itu tanpa menangis. Saat dirinya merasa cukup mengetahui kelayakan Sakura, akhirnya Zero memilih untuk melihat dunia yang dihadapi sang ibu. Dengan mempertaruhkan jiwa Sakura untuk mengeluarkan sang putra sudah menjadi syarat terakhir untuk Sakura jika ia memang ingin melahirkan Zero ke dunia. Dan Sakura dapat melewatinya meski hampir kehilangan nyawa dengan dibantu keenam suaminya. Zero yang memgetahui itu bersumpah tidak akan pernah membunuh apalagi menyakiti sang ibu apa pun yang terjadi. Karena itu, Zero selalu bermanja-manja pada Sakura meski sebenarnya ia tidak suka bermanja-manja. Sakura selalu menjadi pengecualiannya untuk dirinya. "Ibu, Ayah menggoda gadis itu. Apa Ibu tidak marah?" tanya Zero sambil tersenyum polosnya. "Tenang saja, Ibu sudah mempersiapkan hukuman untuk Ayahmu yang satu ini," jawab Sakura sambil terkekeh. "Di mana Shine?" tanya Sakura karena sejak kepulangannya ia tidak mendapati Shine yang selalu menempel pada Zero. "Ayah Shine pulang ke kerajaannya karena ada pertemuan penting," jawab Zero yang kini memakan buah yang terletak di meja. Tok tok tok   Suara ketukan pintu terdengar, Zero menoleh ke arah pintu lalu dengan gerakan jarinya pintu kamar itu terbuka. Seorang iblis yang sudah dikenal dengan kesendiriannya itu memasuki kamar Zero lalu membungkuk dalam.   "Maafkan kelancangan hamba mengganggu aktivitas kalian, Yang Mulia," ucap lelaki sopan. "Paman Nico, ada perlu apa ke kamarku? Apa Ibu harus kembali bekerja lagi?" tanya Zero dengan wajah malasnya. "Tidak, Yang Mulia Pangeran. Di sini hamba hanya menitipkan pesan untuk Yang Mulia Sebastian dari Kerajaan Behemoth," jawab Nico sambil tersenyum. "Ada apa dengan kerajaan itu?" tanya Sebastian dengan raut wajah yang tidak suka. "Kerajaan Behemoth meminta kerja sama dengan Kerajaan Phanthom, Yang Mulia," jawab Nico masih dengan senyumnya. "Untuk apa kerja sama dengan mereka?" kini Zero bertanya. "Mereka ingin bergabung dengan Kerajaan Phanthom, Pangeran," jawab Nico yang langsung mendapatkan tatapan dingin dari Sebastian. "Aku tidak tertarik," jawab Sebastian singkat. "Bergabung? Dengan cara apa menggabungkan dua kerajaan?" tanya Zero ingin tahu. "Mereka meminta Putri dari Kerajaan Behemoth menjadi selir di Kerajaan Phanthom," jawab Nico sambil menunduk dalam.   Praaankkk   Gelas yang dipegang Sebastian hancur seketika melukai tangannya. Aura hitam mengelilingi tubuhnya yang kini berdiri sambil memakai sarung tangannya. Zero yang baru kali ini melihat Sebastian yang berbeda dari biasanya sontak memeluk Sakura dengan erat. Tidak ada senyuman yang tercetak di wajah tampan Sebastian, sedangkan Sakura hanya diam sambil mengelus kepala putranya. "Lancang sekali," ucap Sebastian. "Sebastian," panggil Sakura mencoba menenangkan. "Aku akan membunuh mereka semua," jawab Sebastian sambil berlalu meninggalkan kamar Zero. Nico yang takut dengan aura yang dikeluarkan Sebastian pun hanya bisa terdiam. "Nico, jaga Pangeran. Aku akan menghentikan Sebastian." Sakura melepaskan pelukan Zero lalu mengecup keningnya singkat. "Tunggu di sini bersama Nico dan Eather, Ibu akan menenangkan Ayahmu dulu," kata Sakura sambil tersenyum, Zero mengangguk. Sakura bergegas mengejar Sebastian, Zero kembali memasang wajah datarnya lalu menatap Nico dengan sedikit kesal. Nico yang mengerti ditatap seperti itu hanya tersenyum kecut. "Paman mengganggu kami," kata Zero sambil bangkit berdiri. "Maafkan aku Pangeran, tetapi aku memang harus mengatakannya," jawab Nico kaku. "Padahal baru saja Ibu pulang." Zero menutup wajahnya dengan satu tangannya. "Eather," panggil Zero pelan. "Ada apa, Pangeran?" jawab Eather yang tiba-tiba sudah di sebelah Nico. "Ambilkanku cemilan, Ibu akan sangat lama menenangkan Ayah," jawab Zero lalu kembali duduk di sofa sambil mengizinkan Nico untuk duduk juga di sofa. "Baiklah, Pangeran," jawab Eather yang langsung menghilang. Nico duduk dengan tegangnya, takut-takut sang Pangeran akan memusnahkannya. Zero yang melihat gelagat pamannya itu tersenyum geli. "Paman, bagaimana jika aku melenyapkanmu?" kata Zero dengan wajah jahilnya. "Ampun, Pangeran. Hamba masih ingin hidup mendampingi Yang Mulia Raja dan Yang mulia Ratu," jawab Nico menunduk dalam, raut wajahnya sudah memucat pasi. "Hahaha ..., aku hanya bercanda," jawab Zero terkikik geli melihat wajah pamannya yang sudah memucat. Eather kembali dengan membawa cemilan kesukaan Zero dan meletakkannya di meja. Zero menyuruh Eather untuk duduk di sebelah Nico. "Kuingin bertanya, mengapa Ayah Sebastian semarah itu mendengar perkataanmu?" tanya Zero yang kini tengah berbaring di sofa. "Tentu saja Yang Mulia Raja sangat marah, itu merupakan suatu penghinaan terhadap Yang Mulia Ratu. Yang Mulia Raja sangat mencintai Yang Mulia Ratu hingga Beliau tidak pernah melirik wanita lain," jelas Nico yang kini postur tubuhnya mulai santai. "Karena cinta, Ayah bisa seperti itu?" tanya Zero lebih pada ke dirinya sendiri. "Ayah menjadi sangat menyeramkan seperti tadi. Apa sebelumnya Ayah pernah semarah itu?" tanya Zero beralih menatap Eather yang selalu terkekeh dari tadi. "Selama kuhidup, aku belum pernah melihatnya semarah itu. Tetapi, Beliau dulu pernah sekali memusnahkan hampir seluruh penghuni Kerajaan Phanthom. Itu pun saat aku belum lahir," jawab Nico yang seketika merinding jika mengingat cerita dari ayahnya. "Apa yang membuatnya marah?" tanya Zero kini beralih menatap Nico penuh minat. "Kurasa, aku tidak pantas menceritakan tentang masalah itu, Pangeran," jawab Nico sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Baiklah, aku akan menanyakannya langsung pada Ayah," jawab Zero kini menatap bosan. Tiba-tiba saja terasa getaran yang lumayan kuat, merasa ada bahaya yang sangat dekat Nico dan Eather langsung bersiaga. Sedangkan Zero masih dengan wajah tenangnya berbaring sambil melihat langit-langit kamarnya. "Sepertinya kali ini Yang Mulia Ratu sulit menjinakkan Raja," gumam Zero. Eather dan Nico mengangguk membenarkan. "Kau  membangunkan iblis yang sedang tidur, Nico," kata Eather yang kini menatap Nico. "Aku tidak memiliki pilihan lain," jawab Nico datar. "Nico, panggilkan semua Ayahku untuk menghentikan Ayah Sebastian," titah Zero yang kini duduk sambil berwajah serius. "Tapi, Pangeran–" "Aku tidak bisa memastikan Ayah Sebastian akan baik-baik saja jika Ibu terluka," potong Zero sambil menunduk. "Ba-baiklah," jawab Nico gugup lalu menghilang begitu saja. "Pangeran, apa sebaiknya kita–" "Biarkan saja, Eather. Kita lihat saja apa yang terjadi, jika Ibu terluka ... aku akan menghabisi semuanya," potong Zero sambil tersenyum riang. Eather hanya mengangguk sambil mencoba meredakan getaran yang terus terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD