Keluarga Narsis

1028 Words
"Kalau bukan uang Ibu dan ayah, lalu uang siapa?" tanya Maira bingung. Ibu Maira terkekeh, ia mengusap kepala Maira lembut. "Ya, uang calon suami kamu-- Arman," Mulut Maira terbuka lebar. Sejak kapan Arman memberikan uang itu? Itulah yang ada dalam pikiran Maira sekarang. "Sudah, jangan banyak tanya! Simpan saja semua pertanyaan kamu itu untuk nanti ditanyakan langsung pada orangnya! Lebih baik kita ke depan, keluarga besar Arman sudah menunggu!" ucap ibu Maira, membantu sang putri memperbaiki riasan yang sedikit berantakan. Maira dan ibunya berjalan beriringan menuju tempat acara. Di sana, sudah ada keluarga intinya, begitu pula keluarga dan teman-temannya. Tak ketinggalan keluarga besar Arman, yang memuji calon menantu di keluarga mereka nanti. "Begini Mai, sebelum akad nikah dimulai. Nak Arman ingin mengadakan hantaran dulu. Karena waktunya kemarin terlalu mendadak, jadi hantaran baru bisa diadakan sekarang," jelas sang ayah. Tidak hanya Maira yang terkejut, Dania dan Ilham juga sama terkejutnya. "Oh ini yang namanya Maira, Man? Cantik, manis, lucu lagi. Pintar juga kamu cari calon istri Man!" puji seorang wanita paruh baya, terlihat begitu antusias. 'Memangnya aku ini badut, jadi dibilang lucu?' batin Maira, tapi tetap mengembangkan senyuman di wajahnya. "Siapa dulu Ma? Arman!" sahut Arman, begitu bangga dengan pilihannya. Acara hantaran mendadak dilaksanakan. Dania dan Ilham hampir terkena serangan jantung, saat mengetahui mahar yang diberikan oleh Arman. Ada rasa iri dalam hati Dania, karena satu langkah tertinggal dari Maira. "Kenapa banyak sekali nak Arman? Bukannya dua hari yang lalu, nak Arman sudah memberikan mahar untuk acara hari ini?" protes ibu Maira. Arman tersenyum tipis. "Itu bukan mahar Bu. Itu uang untuk acara hari ini. Sedangkan uang mahar ini, spesial untuk Maira," jelas Arman, kata-katanya begitu sopan. "Mas, katanya calonnya Maira cuma kerja di kandang ayam? Kenapa maharnya sampai tiga ratus juta?" bisik Dania, memarahi Ilham. "Mana aku tau. Kemarin memang pria songong itu bilangnya begitu. Kalau memang sebanyak itu, harusnya kita sebagai kakaknya Maira senang. Itu artinya, Maira tidak akan hidup susah, seperti perkiraan kita," sahut Ilham, merasa kesal dengan Dania. "Tau ah! Tapi, aku masih belum bisa percaya. Bisa saja kan pria itu meminjam uang di bank atau pada rentenir demi memenuhi persyaratan dari Maira? Kan kemarin mas Ilham bilang, Maira mengajak pria itu bicara berdua di teras rumah? Bisa saja Maira meminta itu," tuduh Dania, berusaha menyanggah kebenaran yang ada. Tak mau terlibat perdebatan serius di hari pernikahan Maira. Ilham memilih menjauh, dan mengabaikan Dania yang terus menggerutu tidak jelas. 'Awas saja kamu Mai! Aku tidak mau kalah saing. Nanti, aku juga meminta mahar yang lebih banyak pada Bima. Bima pasti akan menurutinya. Secara, Bima lebih kaya dari calon suami Maira. Yah, walaupun dari segi wajah, calon suami Maira lebih unggul. Tapi, hidup tidak hanya sebatas soal wajah. Percuma punya wajah tampan, tapi isi dompet tipis. Sebentar lagi, Maira juga pasti kerepotan membayar cicilan bank atau rentenir.' batin Dania, tersenyum mengejek. --- Satu persatu, acara selesai dilaksanakan. Begitu pula dengan proses ijab qobul. Ijab qobul yang harusnya berjalan tenang dan hikmat, malah jadi heboh dan riuh. Arman yang sudah lama menyandang status jomblo abadi, langsung bersorak saat para saksi bersamaan mengucapkan kata sah. Melihat aksi konyol Arman. Maira yang sudah sah menjadi istrinya, merasa malu sekali. Sedang para saksi dan tamu yang lain, tertawa melihat aksi kocak Arman. "Sayang, maaf ya! Maklum, Arman itu sudah terlalu lama jomblo, makanya otaknya sedikit bergeser dari tempatnya," bisik ibu mertua Maira, kemudian terkekeh. Maira melongo mendengarnya. Ia tak menyangka, jika ibu mertuanya sampai hati mengatai anak kandungnya sendiri. 'Keluarga narsis,' batin Maira. Kehebohan akhirnya berakhir dengan selesainya proses resepsi pernikahan. Langit yang tadinya cerah, kini berubah menjadi jingga. Sang primadona siang sudah bersiap kembali ke tempat istirahatnya. Begitu pula dengan sepasang pengantin baru-- Arman dan Maira. "Oh iya nak Arman, malam ini menginap di sini kan?" tanya ayah Maira, dikala duduk santai melihat para pekerja membereskan sisa acara. "Iya Yah, aku menginap di sini. Oh iya Yah, jangan panggil aku seperti itu. Kepanjangan soalnya. Hehehe... Panggil aku Arman saja!" sahut Arman, sok akrab. Ilham tak menanggapi kata-kata sok asyik dari Arman. Ia yang kebetulan saat itu ada di sana. Langsung memilih berpamitan dengan kedua orang tuanya. "Aku pulang dulu Yah, Bu!" pamit Ilham, menyalami keduanya bergantian. "Tidak menginap Ham?" tanya sang ibu. "Tidak bu, besok sudah masuk kerja," sahut Ilham. "Hati-hati di jalan kamu Ham! Mel, nanti kalau Ilham ngebut, bilang ke Ayah!" ujar sang ayah, memberi pesan pada menantunya. Arman mengulum senyum mendengarnya. Ingin rasanya Arman mengejek kakak iparnya itu, tapi niat itu segera dia urungkan. Ia tidak mau, ada perdebatan lagi untuk saat ini. Bukan karena Arman tidak sopan atau tidak suka dengan sosok Ilham. Tapi, Arman yang sedari kecil menjadi anak tunggal, tidak pernah tau rasanya mempunyai seorang kakak atau adik. Bercanda atau bertengkar dengan saudara, tidak pernah Arman rasakan. Oleh karena itu, ia bersikap bar-bar dengan Ilham, karena ia merasa bahagia bisa berdebat dengan seorang kakak, walaupun itu hanya sebatas kakak ipar. "Jaga adikku dengan benar! Awas saja kalau sampai kamu menyakiti adikku, aku libas kepala kamu nanti!" ancam Ilham, sebelum akhirnya ia keluar. "Kakak ipar tenang saja. Istriku aman bersamaku," sahut Arman, dengan percaya dirinya. Sepeninggal Ilham. Suasana rumah Maira menjadi sepi mendadak. Hari juga sudah semakin malam. Setelah makan malam bersama, Anil yang memang tidak tinggal di rumah itu, juga memutuskan untuk kembali ke kostnya. Begitu pula dengan Dania. Ia memilih pergi jalan-jalan, bersama kekasihnya--Bima. "Ayah dan ibu mau istirahat dulu. Mai, ajak Arman ke kamar kamu! Kalian berdua juga istirahat karena seharian ini sudah lelah. Masalah pintu, biarkan saja! Dania punya kunci cadangan sendiri, kalian tidak perlu menunggu dia!" ucap sang ayah, menuntun tangan sang istri menuju kamar mereka. Tinggallah Maira dan Arman yang tersisa di ruang makan. Suasana menjadi canggung. Maira yang tidak punya perasaan sama sekali pada Arman, memilih mengacuhkan Arman. Ia beranjak dari duduknya, dan melenggang menuju kamar lebih dulu. "Mai, kamu mau ke mana?" tanya Arman, sontak saja ikut berdiri. Maira menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Arman. "Mau ke kamar, terus mau ke mana lagi? Kalau Bapak masih mau makan di sana, silahkan! Aku ngantuk, mau tidur," sahut Maira. Tak mau tertinggal sendirian. Arman berlari mengejar Maira. Kamar yang berukuran sedang, menjadi tempat istirahat keduanya malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD