Bab. 3 Hampir Dipecat

1031 Words
"Haaaah?" Ardian mengacak rambutnya sendiri. Frustasi karena ia hampir saja kehilangan pekerjaan yang menghidupi keluarganya sampai sekarang. Masih jelas dalam ingatan kisahnya tadi pagi saat ia datang meeting terlambat. Flashback. Ardian berlari secepat yang ia bisa untuk segera memasuki restoran yang sudah memberinya pekerjaan sejak 5 tahun terakhir. Ia tahu sekarang ia sudah sangat terlambat mengikuti meeting yang diselenggarakan oleh sang pemilik Resto tempatnya bekerja itu. Namun, bagaimana pun caranya ia akan berusaha mempertahankan pekerjaan ini demi anak istrinya di rumah. Sampai di lantai atas, Ardian segera lari ke arah ruang rapat. Ia dan sang pemilik resto memang sudah melakukan perjanjian untuk bertemu hari ini. Guna membicarakan semua jenis laporan yang harus Ardian setorkan bulan ini. Memang biasanya ia hanya mengirim laporan resto melalui surat elektronik atau email. Namun, karena sang pemilik sedang ada di Indonesia maka ia sempatkan untuk menemui semua usahanya yang bergerak di berbagai bidang itu. Maklumlah, usaha pemilik restoran itu sangat banyak. Bahkan tak hanya bergerak di bidang makanan, namun juga di bidang furniture, penginapan bahkan salah satu pusat pembelanjaan ternama di Jakarta. Kembali pada Ardian yang sudah berada di depan ruang rapat. Tok. Tok. Tok. Ia pun mengetuk pintu beberapa kali. "Masuk!!" ucap seaeorang dari dalam. Ardian pun segera melakukan apa yamg orang itu katakan. Cekrek!!! Ia pun membuka ruangan itu lalu menunjukkan cengirannya yang khas. "Maaf, Bu Regina. Saya terlambat mengikuti rapat saat ini. Jalanan begitu macet tadi pagi," ucap Ardian berbohong. Boss besarnya itu pun langsung beranjak dari duduknya. "Apa yang kamu katakan itu bisa dipertanggungjawabkan?" tanya Bu Regina dengan tegas. Suaranya pun langsung terdengar menggelegar di seluruh penjuru ruangan yang sepi. Sedang beberapa rekan kerja Ardian yang lain semua menatapnya dengan rasa iba. Mereka sejatinya tau apa pemicu keterlambatan Ardian yang sebenarnya. Sebab, Ardian sering meluapkan keluh kesah rumah tangganya kepada para teman-temannya itu. "Bisa, Bu," jawab Ardian mantap. "Kalau begitu jangan sampai terulang kembali. Saya ini jarang kesini. Jangan-jangan kamu sering lalai seperti ini biasanya?" ujar Bu Regina dengan nada yang semakin meninggi. "Tidak, Bu. Ini hanya karena keadaan saja," sahut Ardian mengelak. "Benarkah? Oke? Saya kasih satu kesempatan lagi padamu. Kalau sampai saya tau kamu telat-telat lagi. Saya berhentikan kamu secara tidak hormat. Mengerti!!!" kata Bu Regina g dengan nada yang semakin lantang. "Mengerti, Bu," jawab Ardian sambil menundukkan kepalanya. Takut. 'Duh, sialnya. Bukannya sampai kantor bisa sarapan di dapur bawah. Malah kena omel dari boss. Mana dapet peringatan mau dipecat lagi. Huh,' gerutunya dalam hati. "Ya, sudah. Silahkan duduk. Dan presentasikan laporan restoran bulan ini!!!" perintah Bu Regina tanpa mengurangi nada tingginya. Sedang Ardian pun langsung melakukan apa yang diminta oleh Bu Regina. Ia pun segera duduk di kursi kosong yang memang telah di sediakan untuknya. Lalu segera ia meraih flashdisk yang ada di dalam tasnya lalu ia tancapkan benda sebesar ibu jari itu pada lubang USB yang tersedia di laptop Bu Regina yang sudah menyala. . "Udahlah, Ar. Nggak usah terlalu dipikirin. Namanya juga anak-anak. Dia kan juga nggak paham keadaan loe kayak apa?" ucap Naufal. Teman Ardian yang bertugas menjadi salah satu Chef handalan di restoran ini. Ardian memang sedang berada di dapur restoran. Untung saja Bu Regina langsung pergi setelah beberapa menit ia bercuap-cuap di ruangan itu. Coba kalau tidak. Bisa-bisa Ardian pingsan di ruang rapat karena kelaparan. "Tapi, anak elo kan nggak gitu-gitu amat, Fal. Lagian gue bingung deh sama istri gue sendiri. Tau repot gini nggak mau pakai jasa pembantu. Emang di pikir, dia itu wonder women apa? Bisa menyelesaikan semua tugas rumah sendirian. Gue aja udah nggak ia pedulikan di rumah," gerutunya sambil menikmati pancake rasa original. Ia sudah terlalu biasa memakan pancake rasa teh yang menjadi icon restoran ini. Jadi, dia minta sahabatnya itu untuk membuatkannya makanan spesial tanpa matcha. Naufal yang tidak sedang sibuk melayani para pembeli pun bisa nongkrong menemani Ardian. Biasalah, jam kerja seperti ini memang jarang ada orang yang mampir ke dalam restorabln matcha ini. Namun, jika sudah masuk jam 12 siang. Jangankan duduk, saling nyapa antar Chef aja nggak bisa. Semua sudah sibuk masing-masing. Kalau saling bicara pun palingan sekitar bahan baku, alat masak dan jumlah pesanan. Lelaki yang menggunakan celemek dan topi khas koki itu pun menggelengkan kepalanya sambil menahan senyumannya. Ia memang sudah sering mengingatkan sahabatnya itu untuk bisa bersyukur pada semua keadaannya entah itu baik atau pun buruk. Walaupun tetap saja la tak menggunakan. "Gue kan udah bilang berkali-kali sama elo. Jangan pernah memusuhi apa yang sedang terjadi. Loe nikmati aja. Nggak usah muring-muring gitu deh," ucap Naufal kembali mengingatkan. Ardian yang baru saja menyendok pancakenya pun langsung menyuapkannya ke dalam mulut. Sebenarnya ia ingin membalas ucapan Naufal barusan. Tapi, ia tidak ingin berdebat. Jadi, dia hanya menguyah beberapa kali potongan pancake tadi tanpa ada niat untuk membalas perkataan Naufal tadi. "Oh, iya. Kapan-kapan ajak keluarga kita maen yuk, Ar! Gue udah lama nggak main sama anak-anak juga sih. Jadi apa salahnya kalau pas libur kita maen bareng!!" ajak Naufal. "Wah, anak elo mah cuma satu. Kalau gue dua anak mana masih kecil-kecil. Jadi, kan repot Saskia," timpal Ardian. "Kan, ada elo juga. Jadi kalian bisa saling bertukar anak kalau salah satu dari mereka ada yang capek," balas Naufal tak mau kalah. "Ck. Sama aja gue ikutan repot donk?" keluh Ardian. "Ck. Repot-repot juga kan anak elo. Darah daging elo sob," ujar Naufal keukeuh. "Ya, iya sih. Cuma kan kalau kita tetep di rumah lebih efektif jagainnya." "Ck. Terserah elo deh. Gue males debat terus sama elo," balas Naufal sewot. Ardian pun hanya tersenyum sekilas. Sebenarnya, ia pun tak sejahat itu pada anak-anak dan istrinya. Kadang juga terbesit dalan pikirannya untuk mengajak mereka berlibur. Namun, akhirnya bukannya mereka bersenang-senang malah nanti ada saja yang terjadi di luar rencana mereka. Seperti halnya tiga bulan yang lalu. Saat ia menggunakan masa liburnya yang hanya 4 hari sebulan itu untuk berlibur ke puncak, Bogor. Saat semua planning sudah mateng dan siap berangkat si Kakak malah keluar rumah lalu bermain dengan para teman-temannya satu kompleks. Akhirnya satu setengah jam pencarian, akhirnya dia bisa di temukan. Saat sudah sampai disana si adek malah meriang karena hawa dingin yang sedang mainstream. Yah, niatnya liburan biar hati senang. Ini malah jadi nggak tenang, kan? Makanya Ardian malas mengajak mereka pergi berlibur dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD