bc

Hurt by My Future

book_age18+
330
FOLLOW
2.9K
READ
love after marriage
second chance
playboy
arrogant
goodgirl
drama
bxg
icy
soldier
city
like
intro-logo
Blurb

Menjadi bagian dari hidup Rudi bukanlah keinginan Hani jika mengingat reputasi lelaki itu. Namun, hidup memang tidak pernah berjalan sesuai rencana ketika pilihan itu Hani ambil lagi. Dan nyatanya, perjalanan Hani tidak berhenti di titik 'bahagia', dia lelah dan akhirnya ....

"Aku mencintaimu karena Bapak dan cinta ini semakin besar dan hancur dalam waktu bersamaan."

cover by : DepaCBS

chap-preview
Free preview
1. Permintaan Bapak
Jemari lentik yang kuning langsat itu dengan lihainya memulas warna-warna pada palet eyeshadow di atas kelopak mata seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun berbalut kebaya tosca. Sesekali si perias membuka obrolan tentang hari kelulusan anak-anak SMA yang semakin tahun semakin meriah yang sangat berbeda dengan jamannya dulu. Apalagi di jaman serba canggih dan media sosial sebagai ajang unjuk diri, para kaum hawa seperti berlomba-lomba mempercantik diri dan menunjukkan kepada khalayak bahwa riasannya paling cantik. "Coba buka matanya, Dek," suara lembut si perias menyuruh objek dandanannya membuka mata bulat dengan ekor mata yang naik ke atas. Dia mengulum senyum ketika warna gradasi antara cokelat, oranye, dan sedikit warna emas di tengah sebagai highlight begitu cocok di mata bulat gadis di depannya. Dia memang tidak suka mengaplikasikan warna yang terlalu mencolok apalagi untuk anak SMA. "Ih, cantik, sekarang Mbak gambar eyeliner-nya. Merem lagi ya." Si gadis menurut lalu berkata, "Kalo riasannya Mbak Hani sih sudah enggak usah diragukan lagi. Mama sendiri yang bilang begitu." Perias yang dipanggil Hani itu hanya tersenyum sambil melukis garis hitam di kelopak mata dengan hati-hati membentuk garis runcing di sudut mata gadis itu. Lalu dia pun mengibaskan tangan kanannya untuk mempercepat eyeliner mengering, setelahnya dengan cekatan Hani mengoleskan sedikit lem di bulu mata palsu dan merekatkannya di kelopak mata itu. "Jangan buka mata sebelum Mbak suruh," ujar Hani. "Ih, masa Mama kamu bilang begitu? Mbak jadi malu deh, Ka." Seraya menunggu bulu mata palsu merekat sempurna, Hani pun melanjutkan mengambil kuas blush on dan memulas perona pipi berwarna pink pucat ke tulang pipi klien-nya. "Bener. Aku juga sering liat hasil riasan Mbak di i********:, natural enggak medok, alay itu lho. Sudah belum nih? Ika capek merem terus," keluh gadis yang bernama Ika sambil meniup-niupkan bulu matanya dengan bibir bawah. "Sudah." Kali ini Hani merapikan bulu mata palsu Ika dengan sedikit maskara. Kemudian memulas sedikit highlight putih ke tulang pipi di atas blush on, tulang dan puncak hidung, puncak dahi, dan atas bibir. Selesai dengan make up utama, Hani meraih salah satu lip cream koleksinya yang berwarna pink yang tidak terlalu pucat, memulaskan di atas bibir Ika yang tipis. Tak lupa pula dia memberi sedikit sentuhan lipgloss agar terlihat lebih segar dan terakhir menyemprotkan setting spray agar riasan Ika tidak pecah hingga akhir acara wisuda. "Mbak Hani sudah punya pacar?" celetuk Ika membuat Hani mengerutkan kedua alis. Hani menggeleng sambil membereskan alat make up miliknya ke dalam tas. Lalu bergantian memasangkan jilbab silver di atas kepala Ika. "Kenapa enggak punya pacar, Mbak?" "Ih, Ika, apaan sih," kata Hani sambil terkekeh. "Nah, sudah selesai." "Serius, Mbak enggak punya pacar?" goda Ika sambil tertawa. "Mau aku kenalkan sama abangku?" "Ih, apaan, sudah siap-siap berangkat sana," kata Hani dengan rona merah di pipinya. ##### Pertanyaan seperti yang diajukan Ika tadi pagi, teman-temannya bahkan tetangga sering diterima oleh kedua telinga Hani. Bahkan di usianya yang menginjak dua puluh enam tahun pun istilah jomlo sehidup semati rasanya sudah melekat kuat dalam diri gadis itu. Tapi, Hani tidak pernah ambil pusing, baginya cinta akan datang pada waktunya di saat yang tepat dengan orang yang tepat pula. Lain hal-nya dengan keluarganya yang begitu memikirkan nasib putri bungsunya itu. Lahir dari keluarga sederhana dengan stigma dari lingkungan bahwa perempuan di atas dua puluh tahun harus segera menikah itulah yang membuat Bapak Hani--Maryadi--sering kali mengenalkan putrinya kepada anak temannya. Satu kali dua kali Hani mungkin masih menerima, namun jika terus-menerus rasanya seperti barang dagangan yang sedang dijajakan di pasar. Memang banyak yang ingin meminang Hani, tapi dirinya yang sering menolak dengan alasan belum siap dan masih ingin mengejar impiannya sebagai Make up artist. Hani juga beralasan bahwa menikah cepat dengan kesiapan dirinya yang belum matang, justru membuat masalah baru di masa depan. Hani tidak ingin seperti anak kampung lain yang berlomba-lomba mengadakan pesta mewah namun ujung-ujungnya berakhir pisah. Kini gadis itu tampak sibuk membalas pesan di ponselnya ketika Maryadi ingin merayu kembali untuk mengenalkan Hani kepada anak teman semasa SMA-nya. Lelaki paruh baya yang rambutnya mulai memutih itu duduk di sisi kanan anaknya di ruang tamu. Hani menoleh sambil berkata, "Ada apa, Pak?" Maryadi mengintip sedikit ponsel Hani, tidak ada satu nama lelaki di barisan pesan w******p itu. "Gimana tadi pas merias anaknya Bu Bambang?" tanya Maryadi berbasa-basi. "Oh, Ika ... bagus, kok. Ini fotonya." Hani menunjukkan foto Ika yang tersenyum lebar sambil bergaya dengan ijazah SMA miliknya. "Cantik, kan?" Maryadi kagum dengan bakat terpendam anak gadisnya yang baru diketahui saat duduk di bangku kelas satu SMA. Kala itu Hani datang membawa piala dari sekolah dengan ukiran tulisan juara dua lomba merias. Sejak saat itu Maryadi selalu mendukung apa yang Hani suka hingga minat Hani mulai menghasilkan uang untuk membantu keuangan keluarga. "Iya, cantik," puji Maryadi tulus. "Han, Bapak mau ngomong...." Maryadi menggantungkan kalimatnya membuat Hani menatap Maryadi dengan penuh tanda tanya. "Ngomong apa, Pak? Bapak serius begitu sih. Hani jadi deg-de-gan," canda Hani sambil tertawa. "Bapak serius, Nak. Ini masalah tentang kamu." "Masalah Hani?" tunjuk Hani pada dirinya sendiri. "Memang Hani kenapa, Pak?" Maryadi menimbang dalam diam. Sebelum dia mengutarakan keinginannya untuk mengenalkan Hani dengan lelaki pilihannya, ada kabar burung bahwa Hani tidak suka dengan lawan jenis. Terlebih selama ini Hani memang tidak pernah membawa teman lelaki ke rumah sekadar berkenalan. Maryadi memang tidak melarang anaknya menjalin hubungan asmara dalam arti masa pendekatan asalkan tahu aturan dan tata krama. Tapi jika sampai ada orang yang membawa isu anaknya lesbian itu lah yang membuat resah lelaki paruh baya itu. "Bapak mau mengenalkan kamu, Han, sama anaknya teman Bapak jaman SMA." Kedua bahu gadis bermata bulat itu melorot, bibirnya membisu mencerna kembali kalimat yang diucapkan Maryadi. Hani menarik napas sejenak lalu menggenggam tangan kiri Maryadi yang mulai keriput dan terasa begitu kasar. Hani tidak tahu apa yang membuat Maryadi mengenalkan dirinya kepada seorang lelaki lagi. "Bapak ... dengar omongan tetangga ya?" tebak Hani dengan nada resah. "Yang katanya Hani lesbian?" Mau tak mau kepala Maryadi mengangguk lemah. Dia pun menyentuh tangan anak gadisnya dan mengusapnya lembut. Rasa khawatir menyelimuti benaknya, dia tidak ingin Hani menyalahi kodrat sebagai perempuan yang semestinya berdampingan dengan lelaki. "Pak ...." Hani membuka suara sambil memandang sendu wajah Maryadi. "Tidak semua apa yang dibicarakan tetangga mengenai Hani itu benar. Bapak tahu sendiri pergaulan anak sekarang bagaimana? Hani menjaga diri dari perbuatan seperti itu, menjaga nama baik keluarga. Hani enggak mau kalau di akhirat nanti Bapak yang kena imbasnya karena perlakuan Hani selama di dunia. Siksaan di sana lebih kejam daripada siksaan karena omongan orang-orang, Pak." "Tapi, umurmu ini sudah siap untuk membangun rumah tangga, Han. Sampai kapan Bapak menunggu kamu siap untuk dipinang orang?" Hani terdiam menerawang lantai di bawah kakinya, dia sungguh tidak benar-benar siap. Mengapa semua orang harus mempermasalahkan status orang lain jika mereka tidak bisa mengurusi kehidupan mereka sendiri. Bahkan usianya untuk ukuran jaman sekarang pun masih banyak perempuan yang sibuk meraih cita-citanya dan mengesampingkan urusan cinta. "Lalu, Hani harus apa, Pak?" "Bapak ingin kamu kenalan sama anak temannya Bapak, Rudi Batara Prasetyo." Seketika itu pula kedua telinga Hani mendengung begitu kencang hingga terasa begitu nyeri. Nama yang tak asing itu mungkin bisa dimiliki oleh ratusan orang di negara ini. Namun, dalam ingatan Hani, lelaki yang memiliki nama itu adalah lelaki yang memiliki catatan buruk semasa dirinya SMA dulu. Hani menelan ludahnya sendiri dengan harap-harap cemas bahwa nama yang disebutkan oleh Maryadi bukanlah orang yang kini sedang menari-nari dalam benaknya. "Kalau bisa sih ... kalian Bapak jodohkan, Han." "Apa?" lirih Hani dengan kedua mata yang melebar memandang Maryadi yang kini mengukir senyum di antara garis wajahnya yang menua. Rudi Batara Prasetyo ... kuharap bukan dia.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
58.0K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook