2. Lelaki semasa SMA

1147 Words
Hari itu ketika Hani sibuk menempel mading di papan pengumuman yang berada di lobi sekolah bersama Adhitama, temannya satu kelas dan tergabung bersama dalam OSIS. Tiba-tiba beberapa anak berlarian ke luar menuju lapangan sekolah seperti ada sesuatu yang menarik perhatian. Adhitama yang perawakannya tinggi besar menyenggol bahu kanan Hani yang masih sibuk memasang mading. Hani mendongak melihat Adhitama menunjuk gerombolan anak itu dengan dagunya dan berkata, "Ada apa sih?" Hani menoleh ke arah luar lobi sekolah. Anak-anak berseragam putih abu-abu itu bergerombol dan sedang menyoraki sesuatu di sana. Gadis berkuncir kuda itu kembali menatap Adhitama seraya mengedikkan bahunya tak peduli dan berkata, "Enggak tahu," jawab Hani. "Udah selesai nih. Aku mau ke kantin, kamu ikut enggak, Tam?" Sebelum Adhitama menjawab suara riuh dari arah lapangan semakin terdengar keras. Lelaki itu pun berlari menuju kerumunan diikuti Hani yang akhirnya dibuat penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Kedua mata Adhitama membelalak melihat dua siswa sedang adu jotos. Dengan susah payah, dia pun menerobos anak-anak sambil berteriak. "Stop! Stop!" lerainya menarik salah satu baju siswa yang menghajar siswa lain yang hampir babak belur. "Bubar! Bubar!" Namun tenaga Adhitama kalah dengan si penghajar hingga tubuh kurus itu terjatuh ke lapangan diiringi sorakan anak-anak yang tidak suka dengan aksi heroik si anak OSIS. Adhitama bangkit berusaha melerai kembali pertengkaran yang tidak diketahui sebabnya itu. Sayangnya, justru dia terkena pukulan telak mengenai hidungnya hingga berdarah. Beberapa anak perempuan yang melihat adegan itu memekik termasuk Hani. Lelaki berambut ikal itu merintih kesakitan merasakan hidungnya patah, namun dia tetap bangkit melerai dua siswa brutal yang masih saja saling pukul. Akhirnya, Adhitama menarik salah satu siswa dengan sekuat tenaga. Siswa itu berbalik menatap tajam si anak OSIS sambil mencengkeram kerah seragamnya. "Cari mati ya!" serunya dengan tatapan tajam. "Ini sekolah, Mas, bukan ajang cari masalah," kata Adhitama tegas lalu melihat siswa yang sudah babak belur di belakang lelaki berambut sedikit gondrong. "Lihat! Muka udah bonyok masih sampeyan hajar lagi? Mau dikeluarin dari sekolah?" Dengan kasar Adhitama melepas cengkeraman tangan lelaki itu di kerah seragamnya lalu memandang sekeliling. "Bubar kalian!" "Huuuu....." suara kompak anak-anak berseragam putih abu-abu membuyarkan diri kecuali Hani. Hingga datang seorang guru berpakaian batik dan berkacamata menghampiri ketiga siswa laki-laki itu sambil berkata, "Gusti .... ini kenapa kok mukanya gitu semua, hah! Ayo ikut saya ke BP!" Guru yang memakai name tag bertuliskan Sujatmiko pun menunjuk lelaki berkulit eksotis dan bermata sipit. "Kamu Rudi! Enggak habis pikir ya, Bapak. Enggak bosen apa kamu dipanggil ke BP terus!" Siswa yang dipanggil Rudi hanya membisu lalu mengekori Pak Sutajmiko. Sebelum pergi, dia bertemu pandang dengan Hani yang menatapnya tidak suka. Rudi membalas dengan tatapan sinis sambil mendecak kesal. #### Diam-diam Hani mengintip dari balik pintu, mendengarkan ceramah yang dilontarkan guru fisika yang merangkap sebagai guru BP di sekolahnya. Dari sini, dia melihat ketiga kepala siswa yang terlibat perkelahian itu tertunduk. Hani menyayangkan sikap Adhitama yang sok menjadi pahlawan kesiangan. Dia tidak sepenuhnya salah, tapi kena getah dari tindakan semena-mena yang dilakukan oleh Rudi--kakak kelasnya. Padahal Adhitama masih siswa kelas satu yang tidak semestinya ikut campur urusan kakak kelas terutama anak-anak kelas tiga yang terkenal dengan kenakalannya. Tidak sekali ini Hani melihat lelaki yang bernama Rudi dipanggil guru BP, padahal jika ditilik kembali catatan akademiknya, Rudi salah satu murid pandai bahkan dia juga leader dari klub bulutangkis sekolah yang sering menjuarai perlombaan. Sayangnya prestasi yang diukirnya seimbang dengan keonaran yang dilakukannya. Sosok yang sedang berputar dalam benak Hani keluar dari ruang BP. Rudi melintasi Hani tanpa memandang gadis itu sedikit pun. Hani memandang tubuh tegap Rudi menjauhi dirinya hingga di belokan lorong sekolah. Adhitama muncul dengan hidung yang disumpal kasa di salah satu lubangnya. Hani tertawa sambil berkata, "Hidung kamu perlu pembalut kayaknya." Adhitama justru mengerucutkan mulutnya. "Sialan itu kakak kelas. Aku yang enggak ikutan malah kena skors tiga hari." "Ya salah kamu sendiri." "Aku cuma mau melerai mereka aja." "Lain kali enggak usah ikut campur, tahu sendiri kakak kelas yang mukul kamu anaknya berandalan." Adhitama masih memegangi hidungnya yang nyeri sambil merintih. "Untung nggak patah, Han. Coba patah, Bapakku bakal buat perhitungan sama dia. Belum tahu kalo aku anak Pak Lurah." "Ih, sombongnya," ejek Hani sambil memukul lengan kiri Adhitama lemah. #### Apa yang dikhawatirkan Hani benar-benar terjadi ketika Maryadi menunjukkan sebuah foto melalui ponsel yang dibelikan anaknya tahun kemarin. Di dalam ponsel itu nampak seorang lelaki begitu gagah dengan pakaian doreng serta kacamata hitam dan tak lupa baret ungu yang menutupi rambut cepaknya. Meski kedua matanya tertutup kacamata, Hani bisa merasakan sorot tajam lelaki itu. Wajahnya tidak banyak berubah kecuali kulit yang semakin eksotis ditambah perawakannya semakin atletis. Maryadi begitu bangga menunjukkan anak temannya yang sudah sukses menjadi abdi negara di Jakarta. "Kalau enggak salah dia satu sekolah denganmu kan di SMA satu Malang?" tanya Maryadi membuat Hani menganggukan kepalanya pasrah. "Wah, nggak salah pilih dong, Bapak, Han. Dia anaknya baik, sukses, udah mateng jadi imam." "Bapak ...." Hani menggeleng merasa sebutan imam untuk lelaki di foto itu tidak cocok. "Hani enggak mau ah, sama dia." "Lho, kenapa, Nduk?" Hani terdiam merasa malas mengungkapkan ketidaksukaannya pada lelaki di foto itu. Meskipun dia mengenakan seragam abdi negara pun Hani merasa sikapnya takkan berubah, si pembuat onar tetaplah pembuat onar. "Tahun kemarin pas lebaran, Bapak main ke rumahnya, anaknya sopan kok, belum punya pacar lagi," tambah Maryadi. "Tadi malam, Bapak udah bilang sama temen Bapak, dia setuju aja kalau anaknya mau dikenalin sama kamu. Biasanya kalo udah kenal pas masa SMA kan nggak canggung, anggap reunian gitu, Han." "Tapi ... Hani enggak suka, Pak. Dia itu anaknya berandalan, Hani masih inget dulu Adhitama dibikin bonyok, Pak," tutur Hani mengungkapkan jati diri Rudi yang tidak pernah bisa dilupakannya. "Itu kan dulu, wajar lah, Han. Dulu Bapak juga kayak dia," bela Bapak sambil terkekeh. "Tapi, nggak selamanya manusia bakal jadi berandalan, buktinya dia sekarang sukses. Kamu enggak tahu ya, kalau perempuan di sini itu ngejar-ngejar dia." Hani menggeleng keras berusaha tidak peduli, lelaki itu tetaplah buruk di matanya. "Dicoba kenalan dulu, Han. Siapa tahu cocok," pinta Maryadi penuh harap. Hani menghela napas pasrah sambil mengangguk walau sebenarnya hatinya menjerit untuk berkata tidak. Dia memejamkan mata sambil memalingkan wajahnya memandang ke arah luar jendela rumahnya. Bayangannya masih tak lepas dari wajah Rudi saat SMA yang selalu ditemuinya dengan kondisi memar di wajah dan seragam yang tidak rapi, entah itu habis menghajar atau pun dihajar. Lelaki bermata setajam elang itu seakan tidak ada hentinya membuat heboh sekolah. Bahkan dia menerka-nerka bagaimana kakak kelasnya bisa menjadi abdi negara di saat perilaku buruknya ada di catatan hitam sekolah. Yang ada dipikirannya untuk menjadi abdi negara harus memiliki kelakuan baik, sedangkan kelakuan Rudi tidak pernah ada baiknya. Tapi, kalau menolak pun Bapak pasti punya sejuta cara untuk mempertemukanku dengan si pembuat onar itu. "Han," panggil Maryadi membuat Hani memutar kepalanya memandang lelaki kesayanganya itu. "Barusan Bapak udah kasih nomor kamu ke Rudi, nanti kalau dia kirim w******p dibales aja ya." Mampus! batin Hani.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD