3. Pertemuan Kedua

1356 Words
Suara bel penyambutan kereta api Jayabaya yang berhenti tepat di jalur satu Stasiun Lawang kota Malang terdengar keras. Disusul suara khas operator stasiun yang menginformasikan para penumpang yang telah tiba untuk mengecek kembali barang bawaannya. Para penumpang secara bergantian keluar dan masuk dari pintu-pintu gerbong yang berjumlah enam gerbong itu. Salah satu dari puluhan penumpang yang mengenakan sebuah jaket berbahan kulit, menjejakkan kedua kakinya keluar dari gerbong tiga sambil membawa tas besar di punggung dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya yang lancip. Sejenak dia merentangkan kedua tangan ke atas menampakkan seraya menguap malas. Kemudian kembali melangkahkan kaki keluar dari stasiun yang cukup ramai untuk mencari pengemudi online yang sudah menunggunya sejak lima belas menit yang lalu. Udara di kota bumi Arema yang sudah lama tidak dikunjunginya selama pendidikan di Jakarta membuat hidungnya menarik banyak-banyak oksigen. Ini kedatanganya yang kedua setelah lebaran tahun lalu, namun sebelum dia datang ke sini, dia telah disambut dengan sebuah permintaan dari kedua orang tuanya yang mau tidak mau harus diiyakan. Lelaki itu menengadahkan kepalanya menatap langit yang begitu cerah dibalik lensa hitam kacamatanya. Matahari sudah merangkak naik ke ubun-ubun tapi tetap saja cuacanya tidak sepanas ibukota. Dipandanginya sekeliling sambil mengingat terakhir kali dia pulang. Banyak hal yang berubah termasuk semakin ramainya kota kelahirannya yang sering disebut orang sebagai surga wisata. Dia melempar senyum ketika beberapa lelaki muda hingga paruh baya menawarinya angkot, becak, hingga taksi. Lelaki itu menggeleng seraya mengucapkan terima kasih lalu mengeluarkan selembar uang dua ribu dan memberikannya kepada pengemis yang mendatanginya. "Suwon," ucap wanita tua yang mengenakan baju kumal. "Nggeh, sami-sami," jawabnya lembut. Lalu ponselnya berdering, dengan gerakan cepat dia meraih benda kotak berwarna silver. Nampak panggilan dari sopir mobil yang dia pesan kembali menelepon, mungkin tak sabar. "Saya di depan pintu masuk, Mas, pakai jaket kulit warna hitam," ucapnya setelah mendengar suara si pemanggil. Lalu seseorang menghampiri lelaki berkacamata hitam itu, pria berperawakan sedikit pendek dengan mengenakan kaus polo warna merah. "Mas Rudi Prasetyo?" "Iya, saya," ucapnya sambil tersenyum tipis. ##### Ponsel Hani berdering nyaring ketika dia tengah sibuk merias anak TK untuk acara lomba tari. Untung saja dia telah memulas wajah anak terakhir dari lima anggota tari cilik itu. Sengaja dia membiarkan ponselnya bergetar di dalam saku celana jeans meski sebenarnya hal itu sangat mengganggu. Usai merapikan rambut ikal gadis mungil berkulit eksotis, Hani pun menyuruhnya untuk menghampiri teman-temannya yang kini sedang berkumpul dengan guru. Sejenak dia melihat jam di tangan kiri yang menunjukkan pukul 7.15, kemudian merogoh ponselnya. Ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Maryadi, disusul lima belas pesan yang belum sempat dibaca. Mulut Hani seketika menganga membaca pesan dari Maryadi, rasa pening mendadak menggerayangi kepalanya. Butuh beberapa saat bagi gadis lentik itu akhirnya mau menggerakan jemarinya untuk membalas pesan Maryadi. Sepertinya Bapak yang lebih tertarik dengan si pembuat onar itu daripada denganku, batin Hani sedikit kesal. Bapak : Nduk, ayo pulang, Bapak mau ajak kamu ke rumahnya teman Bapak. Kemarin siang dia baru sampai di Malang. Hani : Nggeh, Pak. "Mbak Han," panggil seseorang dengan suara sedikit berat. Hani menoleh lalu menyelipkan kembali ponselnya. "Iya, Bu An?" "Makasih ya, sudah dibantuin merias anak-anak," pujinya. "Mereka seneng kalo pipinya digambari bunga-bunga begitu." Ekor mata Hani melirik anak-anak yang nampak sedang latihan menari di belakang wanita itu. Mereka terlihat begitu riang dan menggemaskan membuat Hani tersenyum bangga. "Iya, sama-sama." "Jadi, kapan ini, menyusul si Meta?" tanya guru TK itu seraya mengerlingkan sebelah matanya menggoda Hani yang wajahnya seketika memerah. Tawa hambar keluar dari bibirmya, tangan Hani meraih alat-alat rias, menaruhnya kembali ke dalam tas bermaksud ingin lari dari pembicaraan itu. "Ah, nanti saja dulu, saya santai, Bu An. Masih ingin belajar make up." "Meta saja sudah hamil tiga bulan, padahal umurnya tua kamu enam bulan. Perempuan kan nggak boleh telat nikah, Han." Jika gadis itu bisa menghilang dari hadapan Bu Anna yang terlalu mencampuri urusan pribadinya, ingin sekali Hani pergi. Guru TK yang merangkap jadi tetangga berjarak tiga rumah itu memang selalu kepo dengan kehidupan orang. Telinganya sudah memanas ketika orang-orang tidak ada hentinya membandingkan dirinya dengan orang lain yang mendahului untuk membina rumah tangga. Harusnya mereka sadar bahwa menikah bukan ajang perlombaan dan bukan pula ajang pamer pasangan. Nyatanya mereka masih buta. Hani memilih mengukir senyum paksa, terlalu malas menanggapi mak-mak seperti Bu Anna meski wanita paruh baya itu masih setia menunggu jawaban. Dia pun pamit pergi setelah mendapatkan balas jasa dari merias anak-anak TK dengan ekspresi Bu Anna yang terlihat kecewa karena tidak mendapatkan informasi tentang alasan Hani yang masih single. ### Atmosfer di rumah bercat minimalis itu begitu kaku dan panas, terutama ketika dua manusia yang sudah lama tak bersua kini saling diam membisu. Walaupun masing-masing pihak tertua menyuruh mereka berbicara berdua, mengenang kembali masa SMA, nyatanya mereka membiarkan diri mereka tenggelam di pikiran masing-masing. Suara kendaraan yang melintas dengan sesekali suara anak-anak yang bermain saling bersahutan menjadi pemecah keheningan di antara keduanya. Bukan karena tidak mau saling membuka cerita bagaimana masa lalu sekolah tingkat akhir itu begitu menyenangkan, melainkan mereka masih mengingat jelas hari pertama bertemu dan hari-hari berikutnya. Hani hanya bisa menatap kosong rimbunnya tanaman milik tuan rumah yang beraneka ragam. Tumbuhan perdu yang diselingi bunga-bunga indah yang membuat mata terasa lebih segar. Bahkan dia sempat bertanya-tanya, apakah dia boleh memetik salah satu bunga cantik yang tidak diketahui namanya itu. Hani hanya sebatas tahu bunga melati, mawar, kembang sepatu, hingga flamboyan yang ada di pekarangan rumahnya. "Kamu tahu kan apa yang terjadi setelah ini?" suara bariton lelaki di sebelahnya membuat pikiran Hani tiba-tiba terhenti. Mau tak mau Hani mengangguk, dirinya tak cukup mampu menatap lelaki itu. Bayangan semasa mereka sekolah kembali menghantui Hani memunculkan rasa tak suka di hatinya. Bukan satu kali dua kali dia telah menjelaskan kepada Maryadi atas ketidaksukaannya pada anak temannya, namun dia cukup yakin bahwa dengan sikap agresif selama masa putih abu-abu itu akan selalu dibawanya hingga di tempat kerja. "Anak laki-laki yang nakal, berbuat onar, sampai suka tawuran selama SMA atau kuliah itu hal biasa, Han. Bahkan DPR yang sekarang menjabat itu, kalau kamu tahu, mereka kan juga suka demo, teriak-teriak protes aturan pemerintah. Ya kan? Tapi sekarang apa? Toh mereka juga sukses dan berubah, Han," tutur Maryadi setelah mendapat kabar jika Rudi telah kembali dari Jakarta. "Dicoba dulu saling kenal. Kalian lulus SMA juga sudah hampir sepuluh tahun, kan?" Jika mengingat kalimat Maryadi, ingin sekali Hani melempar protes kembali, menyodorkan deretan bukti bahwa Rudi—calon yang selalu dibanggakan karena menjadi abdi negara itu tidak sebaik yang dikira. Hani bukan perempuan bodoh, dia telah mencari-cari info tentang Rudi baik dari teman-temannya maupun dari kakak kelas kenalannya dulu. Tak sampai di situ, dia pun mencari akun media sosial milik Rudi yang memiliki banyak sekali pengikut dari kaum hawa. Tak sedikit pula yang berkomentar tentang foto yang di upload olehnya dengan banyak kalimat bernada centil. Hani menoleh menatap garis wajah lelaki di sampingnya. Dia tidak berubah bahkan sepuluh tahun berlalu, garis tegas itu tidak memudar sama sekali. Bahkan hari ini wajah yang diterpa sinar cahaya mentari tidak begitu mempesona di matanya. "Aku tahu." Hani membuka suara. "Dan aku enggak mau menjadi bagian dari hidupmu." Kini Rudi memutar kepalanya menatap mantan adik kelas yang terpaut dua tahun darinya. Dia tersenyum kecut meski mata elangnya menghujam wajah ayu gadis itu. "Kenapa? Sok jual mahal amat." Hani menaikkan sebelah alisnya. Harusnya bapaknya mendengarkan kalimat yang terdengar melecehkan dirinya dari mulut Rudi. Kedua tangan kurus Hani mengepal kuat dengan bibir yang terkatup menahan amarah. Ternyata dia masih sama, batin Hani. "Enggak usah jual mahal deh, banyak kok cewek yang memohon-mohon buat jadiin aku pendamping hidup mereka," ucapnya sambil menaikkan sebelah kakinya di atas paha. "Kamu cuma beruntung karena bapakmu dan ayahku berteman baik. Atau ... bapakmu saja yang merasa sedih karena anak gadisnya tak laku dipinang orang?" Mulut Hani menganga lebar, benar-benar tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia mendengkus dan memilih diam tidak membalas ucapan orang gila seperti Rudi. Hatinya begitu pedih, harusnya Maryadi tidak mengenalkannya pada Rudi. Harusnya Maryadi membiarkan Hani hidup sesuka hatinya bahkan untuk memilih pasangan hidup. Hani tidak buta, dia tahu mana lelaki yang pantas dijadikan suaminya, hanya saja dia ingin fokus pada cita-citanya dan keinginan itu sepertinya akan menguap seiring berjalannya waktu bersama Rudi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD