DEGUP ASING

1845 Words
Pukul 06.15 pagi. Udara Jakarta terasa lembap dan berat setelah hujan dini hari. Genangan air di beberapa titik membuat Bintang terpaksa melambatkan laju scooter hitamnya. Oh bukan, motor matic itu belum berstatus milik Bintang. BPKB dan STNK masih atas nama salah satu sepupunya. Bintang awalnya langsung memberi penawaran untuk ia beli, namun sepupunya justru curiga Bintang terjebak hutang dan menjual Vespa-nya sehingga butuh kendaraan yang lebih murah. Meski... itu tak mungkin. Masalahnya, tak ada alasan yang lebih logis dari praduga tersebut. Sementara Bintang merasa motor Vespa biru kesayangannya kurang cocok untuk dijadikan kendaraan tempur dalam peran barunya sebagai drivel ojol pengganti. “Yang lagi ngehits mah novel sama serial singkat pengantin pengganti, atau minimal pacar pengganti. Urang malah jadi aa ojol pengganti,” monolognya sambil meliuk-liuk menghindari genangan air yang cukup besar. “Haduuuh, jantung sibuk pisan,” lirihnya lagi. Akhirnya ia tiba di kompleks apartemen Helia. Ia menyapukan pandangan. Ada beberapa gedung tinggi, namun penampakan dan kualitas bangunannya jauh berbeda dengan yang ia tempati. “Janitra bangkrut apa?” Ia bergumam lagi. Motornya masih melaju pelan, hingga akhirnya tiba di salah satu lobi gedung. Seorang perempuan yang Bintang kenali berdiri di terasnya. “Kak Helia Izora?” tanyanya. “Iya.” “Saya yang gantiin Daim sementara untuk antar-jemput Kakak.” Helia mengerjap. “Oh, kamu?” “Bintang.” “Oke,” sahut Helia singkat, datar. Tak terlalu ramah. Tak juga bersikap dingin. Cukup merespon dengan sopan. Bintang tersenyum kaku, baru begitu saja degup jantungnya seolah ingin mendobrak rusuk. Ia gugup. Namun bahagia. Bagaimana mungkin tak demikian... ini Helia Izora yang di depan matanya. Meski dengan wajah yang cukup berbeda. Bukan paras yang ia ingat dari gadis yang kerap menyajikan teh hangat di sebuah tea house di Versailles. Namun, setidaknya, Helia yang sekarang sama bersemangatnya dengan versi dulu. “Mau berangkat sekarang, Kak?” “Ya.” Helia mengenakan helmnya, lalu menunduk sedikit, mengulurkan tangan, hendak memindahkan eco bag yang dibawanya dari bahu ke gantungan di bawah tungkai kendali motor. Bintang refleks meraih handle tas, dan secara tak sengaja tangan mereka bersentuhan sekilas. Singkat sekali, tapi cukup membuat Bintang menghela napas pelan agar Helia tak mendengar jantungnya yang terlalu ribut. “Saya bantu, Kak.” Helia mengangguk, memasrahkan bawaannya ke tangan Bintang. “Saya naik?” tanyanya kemudian. “Iya, silakan,” tanggap Bintang. ‘Kenapa gugup banget sih urang?’ “Sudah,” ujar Helia begitu duduknya nyaman. Kali ini, Bintang yang mengangguk. “Ngga ada yang ketinggalan, Kak?” “Ngga ada.” Scooter hitam itu pun melaju, meninggalkan kompleks apartemen, memecah jalan yang kian sibuk menuju kafe Helia berada. *** Sepanjang perjalanan, ada perasaan aneh yang menyergapnya. Ia sendiri tak bisa mendefinisikan apa. Helia memperhatikan punggung Bintang yang terasa familiar, juga wangi parfum pria itu yang ia yakin pernah ia hidu di satu tempat, di satu masa. Namun, ia tak berani bertanya, takut terkesan mencari perhatian, atau terlampau ramah. Di sisi lain, Bintang berusaha mempertahankan kecepatan stabil. Padahal otaknya sudah kacau sejak melihat Helia menunggu di teras lobby tadi. Rasanya seperti mimpi yang terwujud setelah menunggu terlalu lama. Bintang tersenyum simpul saat menyadari perasaan konyol itu. ‘Aa Driver Ojol Pengganti Yang Ternyata CEO ngga kalah keren dong sama pengantin pengganti yang awalnya ogah jatuh cinta tapi berujung bucin. Apa pun kesempatannya, asal bisa bikin Izora kenal sama urang lagi, urang jabanin! Hah!’ Sungguh otak Bintang seribut itu. Di lampu merah pertama, tanpa Bintang duga, Helia mencondongkan wajahnya ke bahu kanan Bintang. “Daim sakit parah?” Bintang nyaris melonjak di duduknya. Ia menoleh, lalu wajah Bintang panas seketika. ‘Deket amat! Takut ke-sun ngga sengaja iyeu mah,’ batinnya. “Hmm, lu-lumayan, Kak,” jawab Bintang akhirnya. “Doain aja cepat sembuh.” Helia mengangguk tipis. “Kasihan ya.” Kemudian menarik tubuhnya menjauh “Iya,” balas Bintang. Setelahnya, tak ada lagi percakapan hingga mereka tiba di tujuan. *** Tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di halaman depan kafe yang diberi nama Théologie—rumah baru Helia di Jakarta. Kafe mungil bernuansa sweet and cozy, dengan canopy putih dan pintu kaca besar, tampak manis di antara gedung-gedung tinggi. Baru saja Helia turun, hujan berderai tanpa aba-aba. Orang-orang berlarian mencari perlindungan. Bintang ikut menepi, menurunkan sandaran kakinya, mengambil tas kerjanya, lalu berteduh di bawah canopy. Helia melihat sekilas dari balik kaca pintu sebelum akhirnya memutuskan untuk memanggilnya. “Mas?” Tak ada reaksi. Mungkin karena Bintang masih mengenakan helm-nya, ditambah suara hujan yang gaduh, membuat panggilan Helia tak terdengar. “Mas Bintang?” panggil Helia lagi, sedikit lebih keras. Kali ini pria itu menoleh. Bintang membuka helm, lalu menyibak rambutnya yang agak berantakan, kemudian mengangguk dan tersenyum simpul pada Helia. “Masuk aja. Nunggu reda di dalam,” ujar Helia, agak kikuk. Tak biasanya ia begini, mengundang orang tak dikenal. Tapi, seperti yang sejak tadi mengisi pikirannya, entah kenapa ia tak merasa asing dengan Bintang — malah nyaman-nyaman saja. “Oh, boleh, deh Kak,” sahut Bintang. Saat Helia berbalik, Bintang menunduk sejenak, tersenyum di balik maskernya. Pria itu menyusul masuk, duduk di salah satu kursi tinggi di bar. Helia berdiri di balik counter, mengalungkan apron hijau gelap, lalu membuka percakapan. “Mau minum apa?” Bintang melepas maskernya, memperlihatkan wajah dengan kontur lembut sempurna—rahang rapi, dan fitur simetris yang seolah tak dibuat untuk dunia nyata. Sorot matanya jernih, tenang, namun ada kedalaman yang membuat Helia terpaku sejenak. Entah kenapa, ia merasa pernah melihat tatapan seperti itu… namun ia tak bisa mengingat kapan, atau dimana. Mungkin hanya perasaan. Mungkin ilusi sesaat. Atau… mungkin ada sesuatu di masa lalunya yang terlupakan tengah mencoba naik ke permukaan. “Surprise me,” jawab Bintang, tersenyum simpul. Helia mengerjap singkat. Entah mengapa, senyuman itu membuatnya sedikit gelagapan. Ataukah pria di hadapannya sengaja? Terlalu percaya diri? ‘Ngga boleh su’udzon, Helia,’ batinnya. “Sudah ngopi pagi ini?” tanya Helia sambil menyiapkan air panas. “Belum.” “Pasti ngopi?” “Di kantor, nanti.” Helia mengangguk, tersenyum tipis. Ia memilih teh Oolong untuk pria itu—hangat, lembut, menenangkan, dan mengandung kadar kafein rendah. Seduhannya dituang perlahan ke cangkir, aroma samar perpaduan kayu dan bunga menyebar di udara. “Teh Oolong,” ujar Helia, menyodorkan cangkir. “Thanks.” Senyum Bintang muncul spontan, membuat Helia langsung mengalihkan tatapannya. Ia lalu menyesap perlahan. “Enak,” pujinya, tulus. “Makasih.” Sementara itu, hujan di luar semakin deras. Kafe itu terasa tenang. Dengan lampu-lampu tak hanya menerangi namun bersifat dekoratif—memantul di permukaan meja-meja. Ada wangi teh yang lembut. Ada jeda yang terasa nyaman. Bintang menyapukan pandangan ke sekeliling kafe, sesekali menatap air dari atap yang mengucur melalui tepi kanopi. “Kamu ngantor?” tanya Helia, tak tahan juga memelihara hening sementara ada seseorang di hadapannya. “Iya,” jawab Bintang. “Kerja di mana?” balas Helia lagi. “One Pacific Place.” “Oh. Kerja apa? Atau usaha sendiri?” “Saya… Fragrance Chemist. Ada outlet di PP, kantor saya di OPP.” Helia menatapnya takjub. “Wow! Peracik parfum?” Bintang mengangguk. “Usaha sendiri?” “Iya,” tanggap Bintang. “Keren!” puji Helia. Bintang terkekeh. “Kamu sendiri?” “Womenpreneur.” Tawa Bintang terdengar kian renyah. “Then I should’ve answered your question earlier… A businessman?” Kini Helia yang tergelak. Bintang tersenyum memandangnya. Helia masih sama. Caranya bercanda masih sama. Sorot matanya juga masih sama. Tak ada yang berubah, bahkan senyumnya pun tidak. “Maksud saya... kamu memang berlatar keilmuan kuliner?” tanya Bintang lagi. “Tea artisan?” Helia terdiam sejenak. Biasanya, orang awam akan mengkategorikannya sebagai barista, bukan tea artisan atau peracik teh. “Cara kamu nyeduh teh… kelihatan banget kamu ngerti,” lanjut Bintang. “Aku flavorist,” tanggap Helia. “Wow! Peracik rasa! Keren!” puji Bintang. Helia terkekeh. “Keren dari mana? Kerjanya cuma ngulik rasa.” “Ngulik rasa tuh skill paling sulit, Kak,” balas Bintang. “Orang bisa meracik apa pun. Tapi yang bisa bikin rasa ngena di hati orang? Itu talenta.” Helia tidak membalas. Tapi ada sesuatu di dadanya yang terasa berbeda. “Pasti makanan di sini rasanya unik-unik,” ujar Bintang lagi. “Ada yang unik. Tapi ngga semua.” Bintang mengangguk. "Hmm, ngga semua orang suka dengan makanan yang rasanya beda dari yang lain. Iya kan?" "Yep!” "Rekomendasi kamu?" "Hmm... You should try our cheesy meatballs with spicy strawberry sauce." "Sekarang?" "Kami baru buka jam sepuluh nanti," sahut Helia di antara gelak tawanya. Bintang terkekeh. Helia mengatupkan bibir. Yang Bintang tak sadar, Helia sedikit salah tingkah karena senyum dan tatapannya. *** “By the way,” ujar Helia kemudian. “Kok kamu kenal Daim?” "Oh, orang tua Daim sudah lama ikut keluarga saya. Kemarin pas mau pulang ke Depok, Daim kecelakaan, sepertinya butuh waktu untuk penyembuhannya. Karena aturan sekarang driver ojek online tidak boleh absen tujuh hari berturut-turut, jadi saya yang gantiin sampai dia sembuh. Ya sesempatnya saja sih, yang penting akunnya Daim ngga sampai di freeze.” Helia mengangguk. “Aku sempat lho kepikiran, jangan-jangan kamu yang nabrak Daim. Terus, gantiin Daim ngojek karena tanggung jawan.” Bintang menggeleng. Helia merasa heran, mengapa pria itu terus saja tersenyum. “Daim bilang dia punya klien langganan,” tanggap Bintang. “Makanya saya bilang ke Daim supaya hubungin kamu kalau sementara saya yang gantikan." “Oh begitu.” “Iya.” “Persisnya, keadaan Daim gimana?” tanya Helia lagi. “Satu kaki terkilir. Satu kaki yang lain fraktur.” “Parah banget?” “Hmm. Sampai dioperasi.” “I see....” "Perkiraan sih sekitar sebulan inshaaAllah bisa aktifitas seperti biasa lagi. Bisa lebih. Kalau kurang ngga mungkin." "Hmm. Soalnya Daim ngga punya otot kawat tulang besi," timpal Helia. “Makanya nama dia Daim, bukan Gatot Kaca, apalagi Petruk,” balas Bintang. “Kupikir Doyok,” sahut Helia. “Ternyata Semar,” jawab Bintang. Mereka lalu tergelak bersama. “Ternyata kita sama-sama tau ya cerita humor lawas,” ujar Helia lagi. Bintang mengangguk. Tersua hening kembali. Namun kali ini… helai-helai heningnya terasa begitu hangat. Sampai akhirnya hujan mereda. Bintang berdiri, merapikan jaketnya. “Hujannya sudah berhenti. Saya pamit ya.” Helia mengangguk. “Oke.” “Sampai nanti malam,” ujar Bintang lagi. “Jangan lupa sarapan, makan siang, dan makan malam sebelum pulang.” Helia mematung sejenak. Seperti ada sesuatu di intonasi itu. Sesuatu yang membuat wajahnya terasa panas tanpa alasan. “Iya. Hati-hati di jalan, Bintang,” balasnya. Dan ketika Bintang berjalan menuju pintu, ia sempat menoleh lagi—tak begitu singkat, tidak pula lama, namun cukup untuk membuat Helia terpaku di tempatnya. Apakah ia… pernah mengenalnya? Apa wajah itu pernah ia lihat sebelumnya? Atau ini hanya perasaannya saja? Helia tak tau. Yang jelas, debar asing di dadanya tak terasa menyakitkan. Bukan dari prasangka seperti saat ia menjejakkan kaki di Surabaya setelah lima bulan koma. Bukan dari rasa khawatir setiap kali mendengar Arani memanggilnya. Bukan dari perasaan dikucilkan oleh keluarga sendiri. Debaran kali ini... anehnya teranya nyaman. Lembut, dan membuat Helia tiba-tiba bertanya ke dirinya sendiri ‘nanti dia jemput langsung, atau nunggu aku kabarin ya?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD