Bintang menunggu Daim memberikan barang Helia yang tertinggal. Hujan berhenti, namun aroma aspal basah masih menempel di udara. Lampu-lampu gedung SCBD memantul di genangan air, menciptakan ilusi bintang di bumi.
Saat Daim keluar lagi dari pintu kaca tea house itu, ia membawa dua paper cup, disegel. “Nih, A. Dapat teh hangat. Wangi banget pas tadi dibikin.” Ia menyerahkan salah satunya untuk Bintang.
“Dapat atau beli?” balas Bintang.
“Dikasih.”
Bintang mendengus. “Gimana sih maneh? Orang jualan lho itu. Kok pasrah aja dikasih gratisan?”
Daim mengerjap. Agak bingung kenapa Bintang malah terlihat kesal.
“Rezeki, A. Masa Teh Ia udah capek-capek bikinin malah abdi tolak?”
“Siapa namanya?” tanya Bintang.
Daim menyeringai usil. “Eleuh, langsung nanya nama. Jangan-jangan besok ngirim parcel parfum.”
Bintang mendecak.
“Namanya si Teteh tuh Helia. Abdi aja yang manggil Teh Ia. Soalnya kalau Teh Hel ngga enak di lidah, A,” jelas Daim.
“Kasih kucing!” sahut Bintang.
“Kasian atuh kucing dikasih yang ngga enak mulu. Eh, A. Di dekat kosan abdi, ada tukang somay. Abdi beli, ngga enak banget. Terus abdi kasih ke kucing, eh kucingnya ngga doyan juga, A. Gimana ya bilang sama yang jual biar resepnya diganti?”
“Buruan naik! Malah ngomongin somay! Urang belum makan ini!” timpal Bintang.
“Abdi juga, A. Cari somay apa, A?” balas Daim.
“Hayuk!”
Bintang melajukan lagi motornya, menuju bengkel tempat motor Daim masih diperbaiki. Siapa tau motor itu sudah siap memecah jalanan kembali.
“Sudah selesai, Bang?” tanya Daim tanpa turun dari motor.
“Masuk angin motor lo!” sahut si montir.
“Kerokin weh atuh,” timpal Daim.
Bintang terkekeh singkat.
“Kalau banjir jangan main terjang aja. Sabar, cari tempat tinggi,” ujar si montir lagi.
“Tapi kemarin mah jalan aja da,” balas Daim. “Ngga apa-apa.”
“Ya sudah terabas lagi aja kalau nemu banjir selanjutnya,” tanggap si montir. “Lumayan kan jadi nambah pemasukan gue.”
Daim mendengus keras.
Bintang tergelak lagi. “Emang gitu dia, Bang. Kalau dibilangin ngeyel mulu,” timpalnya.
“Ada somay yang enak ngga di sini, Bang?” tanya Daim kemudian.
“Ada. Lurus aja,” ujar montir itu, membentangkan tangan kirinya. “Mentok, ada yang mangkal di situ.”
“Mau nitip ngga, Bang?”
“Bayar?”
“Yang namanya nitip ya bayar!” sentak Daim.
“Ngga usah. Gue udah makan mi ayam.”
Bintang kesulitan menghentikan tawanya.
Tiba di gerobak somay, Daim memesan dua porsi, sementara Bintang menyiapkan dua kursi untuk mereka duduk.
“Nih, A,” ujar Daim seraya menyerahkan salah satu piring. “Parenya gede banget.”
“Bagus ini.”
“Buat kesehatan, ya A?”
“Bukan,” sahut Bintang. “Buat mengingatkan kalau hidup kadang jauh lebih pahit.”
Daim bengong sejenak.
“Makan!” titah Bintang.
“Si Aa, kayak habis dapat pesanan parfum se-Indonesia raya,” ujar Daim lagi.
“Kenapa memangnya?” balas Bintang.
“Happy banget.”
“Masa sih?”
“Iya.” Daim mengunyah, keningnya perlahan mengerut. “Jangan bilang gara-gara love at the first sight sama Teh Ia. Abdi lihat lho, Aa terpesona gitu.”
“Ngarang maneh!” sentak Bintang. ‘Tapi bener.’
“Lagian ya, pas tadi nyamperin abdi di bengkel, A Bintang masih pakai setting-an yang biasa,” ujar Daim lagi.
“Setting-an yang biasa gimana?” tanya Bintang.
“Yang nirekspresi. Datar. Kalau orang yang baru kenal mah kayak di jidat Aa ada tulisannya ‘dilarang tanya-tanya!’ Gitu A.”
“In english we say: cool!” balas Bintang.
“Kulkas!”
“Eh tapi, kok bisa si Teh Ia itu langganan ojeg sama maneh?” tanya Bintang lagi.
Daim tersenyum usil kembali.
“Ngga usah dijawab!” Bintang malah misuh.
“Dijawab kok.” Daim terkekeh. “Awalnya mah abdi dapat orderan biasa, A. Terus pas di jalan, ngga tau si Teteh nyari apaan, eh earphone-nya jatuh. Abdi berhenti sebentar kan, padahal Teh Ia udah bilang biarin aja, tapi da kalau itu earphone satu-satunya kan kasihan, ya A. Abdi ambil, balikin ke Teteh. Eh pas sampai kafe, Teteh nanya, terima langganan ojeg atau ngga. Abdi bilang terima, suruh order via aplikasi, pakai nomor id abdi. Ya sudah, gitu. Sekarang tiap pagi sama sore, abdi antar jemput.”
“Depok-SCBD? ‘Deket’ nyak? Cerdas maneh!”
“Justru itu, A. Abdi ngga perlu nyari penumpang lain. Target ke platform tercapai, fee ke abdi juga more than enough buat anak kos mah.”
“Iya sih.”
Daim mengunyah lagi.
“Si Teteh baru dua bulan di Jakarta, A,” lanjut Daim.
Bintang menoleh. “Dua bulan?”
Daim mengangguk. “Orangnya baik banget. Kadang-kadang abdi suka dikasih roti. Lumayan buat sarapan sebelum menerjang jalanan SCBD – Depok.”
“Maneh naksir?”
“Henteu, A! Posesif amat!”
Bintang mendengus keras.
Daim tergelak, nyaris tersedak.
“Dia... sehat?” tanya Bintang.
Daim berhenti mengunyah, menatap Bintang penuh tanda tanya. “Aa kenal Teteh?”
Bintang menghela napas panjang. “Panjang ceritanya, Im.”
“Oh.” Daim bisa menangkap raut getir di wajah Bintang. “Mantan, A?”
“Gimana bisa jadi mantan, jadian aja ngga pernah,” sahut Bintang.
“Kasih tak sampai?”
“Minta dikeplak maneh?”
Daim terkekeh. “Kalau abdi lihat sih... sehat, A,” jawabnya kemudian atas pertanyaan Bintang sebelumnya.
“Syukurlah,” lirih Bintang.
***
Bintang dan Daim berpisah di bengkel. Daim kembali ke kosannya di Depok, sementara Bintang melaju ke apartemennya di Pacific Place, lantai tinggi dengan jendela lebar yang menghadap Senayan.
Namun begitu ia masuk, menyalakan lampu, dan meletakkan jaketnya, pikirannya kembali terusik oleh kondisi Helia.
Ia membuka kontak di ponselnya. Menekan tombol di nomor Ridho — RS Bintang Kasih, Rehab Center Surabaya.
Ridho adalah teman SMA yang kini berkarir sebagai dokter umum sekaligus koordinator rehabilitasi di salah satu rumah sakit terbaik untuk terapi trauma fisik di Indonesia. Saat perawat di Versailles mengatakan jika Helia akan pulang ke Surabaya dan melanjutkan rehabilitasi di kota kelahirannya itu, Bintang langsung menduga jika rumah sakit tempat Ridho bekerja akan menjadi tujuannya.
Ia menekan tombol panggil.
Tidak sampai tiga dering, Ridho mengangkat.
“Woy! Ngga kurang malam maneh nelpon urang?”
“Baru juga mau jam sembilan. Masih pagi da,” sahut Bintang. “Urang mau nanya sesuatu.” Gelisah menyelinap dalam suaranya.
Ridho terkekeh. “Soal Izora?”
Bintang mengangguk, meski Ridho tak melihat. “Iya.”
“Minggu ini urang belum lihat dia datang sih. Seingat urang—“
“Izora di Jakarta, Dho,” potong Bintang. “Sudah dua bulan.”
Hening sesaat.
Ridho mengetik sesuatu di komputernya. Suara keyboard terdengar jelas.
Beberapa detik kemudian, ia bersuara lagi. “Harusnya minggu ini lho dia kontrol.”
Bintang menatap jendela apartemen, memandangi kota gelap yang diterangi neon.
Ridho terdiam sejenak. “Ngga ada catatan transfer juga, bro.”
“Tapi sudah boleh lepas kontrol?” balas Bintang.
“Ngga ideal, Tang,” jawab Ridho. “Trauma tulang belakang, wajah, plus lama koma—seharusnya terpantau ketat. Tapi ya… tiap keluarga beda cara ngurusnya.”
Bintang memejamkan mata.
“Thanks, Bro.”
“Oke.”
Panggilan ditutup.
Namun, saat Bintang ingin meletakkan ponsel, notifikasi baru masuk.
Nomor tak dikenal. Pesannya singkat. ‘Di dompet adik ini ada kartu. Kecelakaan. Anda tercatat sebagai kontak daruratnya. Sekarang adik Daim berada di IGD RSPI.’
Bintang membelalak. Jantungnya mencelos.
Daim?
IGD?
Kecelakaan?
Ia langsung meraih helm, berlari menuju lift tanpa pikir panjang.
***
Perjalanan ke RSPI terasa seperti mimpi. Lampu jalan berkelebat, suara klakson memecah malam, dan hujan rintik kembali turun. Bintang tak berhenti untuk memeriksa ponselnya, meski benda itu terus bergetar.
‘Pasti Bibik, Mamang, atau Bunda dan Ayah.’
Sesampainya di IGD, disambut aroma khas rumah sakit dan suara hiruk pikuk yang seolah tak mengenal waktu.
“Pasien Daim Sudarsana?” tanya Bintang di konter perawat.
Salah satunya menunjuk pintu ruang tindakan. “Sedang persiapan operasi tulang. Ada fraktur pada kaki kiri. Anda keluarganya?”
“Iya,” jawab Bintang cepat. “Saya abangnya.”
“Oke. Tunggu sebentar ya, biar Dokter memberi penjelasan.”
“Oke.”
Dua jam berselang, nama Daim di daftar pasien yang diberi tindakan berubah redup, tanda jika operasi sudah selesai. Bintang masih menunggu di ruang tunggu., AC tempat itu dingin menggigit, dan rasanya waktu bergerak lambat. Tadi orangtua Daim menghubungi, sudah dalam perjalanan.
Akhirnya, dokter keluar.
“Operasi berjalan lancar. Tidak ada komplikasi besar. Tinggal kita tunggu sadar.”
Bintang mengangguk. “Terima kasih, Dok. Boleh saya tunggu sampai adik saya sadar?”
“Tentu. Pasien akan dibawa ke ruang pemulihan.”
***
Daim sadar sekitar pukul tiga pagi. Matanya terbuka perlahan, langsung mendapati Bintang yang tertidur duduk di sampingnya.
“A?” panggilnya sambil meringis.
Bintang mengerjap, membuka mata, lalu perlahan menegakkan punggung. “Allahu akbar,” lirihnya sembari meregangkan tubuh. “Baru bangun?”
Daim mengangguk. Ia kemudian mendengus saat mendapati kedua orangtuanya tertidur di sofa ruangan.
“Ya Allah, ini di mana, A?”
“Rumah sakit.”
“Kok kamarnya begini?”
“Kenapa emangnya?”
“Yang murah aja, A.”
“Ngga ada. Penuh,” sahut Bintang. “Terima aja udah, anggap terima kasih dari urang karena maneh selamat.”
“Mana bisa begitu, A?”
“Bisalah! Suka-suka urang!”
Daim menghela napas panjang. Wajahnya tampak pucat menahan nyeri. “Motor abdi hancur, ya A?”
“Iya. Tapi maneh selamat. Itu yang penting.”
Daim tertawa lirih. “Abdi narik pakai apa, ya?”
“Memangnya maneh mau narik ojeg dalam kondisi begini?”
“Ya nanti, A. Kalau sudah sembuh.” Ia menatap kosong ke langit-langit kamar. “Tapi kayaknya mah harus daftar ulang akunnya.”
“Kenapa gitu?”
“Kalau ngga ngojek lama, rating abdi bakalan turun, A. Akun abdi bisa dibekuin. Mana ada langganan pula.”
Bintang diam.
Sangat diam.
Ada sesuatu yang ia rasa—bukan kegembiraan, bukan belas kasihan. Sesuatu yang ia sendiri tak tau namanya. Tapi rasanya seperti pintu yang tertutup rapat tiba-tiba terbuka serentak.
Kesempatan.
Takdir.
Atau mungkin… kesempatan kedua yang dunia tawarkan padanya.
Bintang menghela napas panjang. “Urang gantiin aja.”
“Hah?”
“Pakai akun maneh. Bisa kan?”
Daim tersenyum.
“Apa? Mau ngeledek?”
“Henteu, A. Abdi mah ngedukung da. Dan bersyukur banget malah.”
“Sip! Lagian dekatan dari PP daripada dari Depok.”
Daim terkekeh pelan. “Duh, nyeri.”
“Tidurlah.”
“Tolong bangunin Emak dan Abah dulu, boleh ngga, A?”
“Boleh.”
Bintang berdiri dari kursinya, berjalan mendekati orangtua Daim sambil bernapas dalam. Senyum tipis terbit di wajahnya.
Izora… akhirnya… aku punya alasan untuk mendekati kamu lagi.