Dunia terbalik sebelum Helia sempat menarik napas terakhirnya.
Dentuman itu begitu keras, menelan seluruh suara dari luar dan dalam, menghantam tulang, menarik udara menjauh. Mobil berputar sekali, dua kali, lalu jatuh miring dengan suara logam melengking seperti jeritan panjang yang ditarik paksa.
Setelah itu... sepi.
Namun memekakkan.
Arani tak tau berapa detik ia hilang kesadaran. Yang ia tau adalah rasa panas di pelipis, darah yang merembes, dan cairan kental berbau logam yang memenuhi hidungnya. Pandangannya buram, seperti dilapisi kabut tipis. Setiap kedipan terasa perih, seolah menggeser serpihan kaca di kelopak matanya.
Ia mencoba memeriksa situasi, meraih setir, namun jarinya gemetar hebat dan kepalanya terlalu berat untuk menoleh. “Helia…” suaranya parau, tercekat, nyaris tak terucap.
Tak ada jawaban.
Arani menarik napas dalam yang rasanya seperti menghujam rusuk. Ia memaksa kepala berputar ke sisi di mana Helia harusnya berada. Meski sabuk pengaman menahan erat tubuhnya, tapi ia bersikukuh. Tubuh Helia terkulai, kepala miring ke jendela yang retak, rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Ada darah di pipi, di bibir, di rambut—terlalu banyak.
“Helia…” Arani memanggil lagi, kali ini lebih putus asa. Tangisnya menguar begitu saja.
“Helia...” Sekali pun suara itu hanya keluar sebagai bisikan parau yang tertahan sesak.
Tak ada respons.
Hanya tetes darah yang mengalir dari pelipis adiknya, jatuh ke gaunnya yang kusut.
Rasa panik mencengkeram d**a Arani hingga ia semakin sulit bernapas.
‘Ngga! Ngga boleh! Helia ngga boleh diam seperti ini!’
Arani menggerakkan tangannya, mencoba menyentuh Helia. Ujung jarinya menyentuh lengan Helia—dingin. Bukan dingin karena tak bernyawa, namun dingin karena yang terlalu lama dibiarkan tak bergerak di tengah embusan angin dingin.
Tangis Arani kian menjadi.
“Ya Allah, aku mohon…”
Ia menelan darah yang merembes dari bibirnya sendiri.
“Helia… buka mata kamu… Dek, ini Kakak.”
Ia kembali mencoba mengangkat tangan, namun tubuhnya protes, tulang rusuknya seperti ditarik paksa setiap kali ia bernapas.
Arani mencoba lagi. Meringis saat sakit di dadanya meningkat hebat. Ia bertahan, meletakkan jarinya di leher adiknya, memastikan Helia masih hidup.
Samar derap langkah menyapa pendengarannya. Lalu kian jelas. Siluet orang-orang di luar mulai muncul. Mereka melongok ke dalam. Lampu-lampu mobil yang berhenti di pinggir jalan menerangi mobil mereka yang remuk. Suara-suara kepanikan ikut mengisi udara.
"Ya Tuhan..."
"Panggil ambulans!"
"Ada dua wanita... cepat!"
Ucapan-ucapan itu terdengar jauh, bagaikan orang-orang yang berbicara dari balik air.
Arani menutup mata erat-erat, memaksa dirinya tetap sadar meski tubuhnya ingin menyerah. Ia mencondongkan tubuh sebisanya kembali, meski dadanya terasa dikoyak kejam.
‘Sedikit lagi. Sedikit lagi. Helia harus bangun! Ya Allah... kumohon selamatkan kami.’
“Helia…” lirih Arani, lemah. “Tolong bangun… tolong… bangun, Dek.”
Helia benar-benar tak menanggapinya, bahkan sedikit gerakan pun tak ada.
Arani ketakutan. Ia tak siap kehilangan Helia dengan cara nahas seperti ini.
Dengan sisa tenaga terakhir dalam tubuhnya yang remuk, Arani menjerit. Bukan karena marah, namun karena kepanikan yang tak pernah ia alami sebelumnya. “TOLONG KAMI! Tolong adikku… aku mohon…”
Tenaganya habis.
Dan sebelum pertolongan benar-benar datang, dunia Arani ikut tenggelam ke dalam gelap yang dingin dan begitu menyesakkan.
***
Sirene ambulans membelah malam Versailles tak lama setelah Arani kehilangan kesadaran.
Kota yang biasanya tampak seperti museum hidup kini dihantui gema darurat yang memantul di dinding-dinding batu tua.
Mobil yang ringsek itu diterangi lampu-lampu biru yang berputar, memantulkan warna pada pecahan kaca yang berserakan di aspal. Petugas medis segera membuka pintu depan dengan peralatan khusus, serpihan logam otomatis berjatuhan.
“Ada dua korban! Satu masih bernapas, satu… kita butuh monitor!” Bahasa Perancis yang cepat, tegang, saling tumpang tindih.
Helia dievakuasi lebih dulu. Tubuhnya ringan, namun lukanya berat. Wajahnya memar, sebagian sobek karena menghantam kaca, darah mengalir dari pelipis hingga leher. Masker oksigen segera dipasang, tangan-tangan cekatan menstabilkan lehernya dengan brace.
“Nadi lemah! Tekanan darah turun!” ujar salah satu paramedis.
Yang lainnya menginstruksikan pemberian cairan dan zat tertentu melalui pembuluh darah.
Sementara itu, Arani—meski tubuhnya juga terluka—masih memiliki detak jantung lebih stabil. Mereka mengangkatnya ke brankar, wajahnya pucat, darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya.
Mereka dibawa ke dalam ambulans.
Pintu ditutup.
Suara sirene kembali meraung, membawa dua putri keluarga Janitra masuk ke salah satu malam terpanjang dan menyesakkan dalam hidup mereka.
***
Rumah sakit terasa begitu sunyi. Tak ada kepadatan yang menumpuk di poli-poli, bahkan Instalansi Gawat Darurat pun brankar-brankarnya tak sesak diisi pasien. Lorong-lorong panjang fasilitas kesehatan itu menyilaukan mata siapa pun yang baru saja keluar dari kegelapan maut.
Helia didorong masuk ke ruang gawat darurat lebih dulu. Dokter-dokter bergerak cepat.
“Trauma kepala berat… stabilkan! Lakukan CT scan segera!”
“Wajahnya—kita butuh ahli bedah plastik di ruangan operasi!”
“Tekanan turun lagi, tingkatkan oksigen!”
Instruksi sahut-menyahut di dalam ruangan yang cukup sesak karena dipadati tenaga kesehatan yang berusaha menolong Helia.
Sementara itu, di ruang berbeda, Arani diperiksa oleh tim trauma lainnya.
Beberapa perawat membicarakan kondisi kedua pasien, dengan nada yang tak menutupi keparahan situasi.
“Kamu sudah menghubungi keluarganya?” tanya yang satu.
“Ya, mereka dalam perjalan ke sini,” jawab yang lain. “Untunglah ada identitas mereka di mobil yang nyaris tak berbentuk itu.”
“Yang satu sangat kritis,” ujar yang lain lagi.
“Kakaknya masih responsif.”
“Betul. Adiknya yang butuh keajaiban. Tim Dokter sedang bekerja keras menstabilkannya.”
Dunia berjalan cepat di sekitar mereka.
Mesin-mesin berbunyi.
Monitor detak jantung berbunyi ‘bip’ setiap beberapa detik.
Dokter melontarkan instruksi demi instruksi.
Perawat berlari.
Pintu ruang operasi terbuka dan tertutup.
Helia, yang tubuhnya terbaring di meja operasi, tak mendengar apa pun. Detik berharganya berjalan dari satu denyut jantung ke denyut jantung berikutnya. Dokter-dokter bukan berkejaran dengan pergantian hari yang masih beberapa jam lagi, namun dengan ‘waktu emas’ pasiennya yang sangat mungkin kehilangan nyawa jika mereka melambat sejenak.
Tubuh Helia remuk.
Wajahnya rusak di beberapa bagian, tulang-tulang kecil di wajah retak., bahkan ahli bedah plastik yang melihatnya refleks menggelengkan kepala.
Dan di dalam kepalanya—yang kini diselimuti darah—ada sesuatu yang jauh lebih rapuh daripada tulang; ingatannya.
***
Arani ditempatkan di ruang intensif setelah prosedur daruratnya selesai.
Kepalanya diperban, selang infus masuk melalui lengannya, oksigen menempel di hidungnya.
“Setidaknya dia sudah stabil,” gumam seorang perawat sambil mencatat statusnya.
“Bagaimana dengan adiknya?” tanya perawat yang lain.
Mereka menoleh ke jam di dinding yang detiknya terasa begitu lambat bergerak.
“Entahlah. Kuharap mereka berdua bisa melewati ini dengan baik.”
Doa itu menggantung di udara. Terkadang, ada situasi yang dinilai mustahil secara pengetahuan dan kemampuan manusia. Situasi yang membuat banyak orang kehilangan harapannya. Situasi yang membuat mereka, bahkan yang tak meyakini keberadaan Tuhan sekalipun, menunggu keajaiban. Dan situasi itu, kali ini membersamai Helia.
Di ruangan lain yang suhunya begitu dingin, seorang Ahli Bedah Saraf menatap lekat dan teliti hasil CT scan Helia—gambar-gambar hitam putih yang menunjukkan bengkak di otak, perdarahan mikro, dan kerusakan wajah yang memerlukan operasi lanjutan.
“Jika dia selamat malam ini,” ujar dokter itu, “perjuangannya masih akan berlanjut. Dia masih harus melewati fase kritis berikutnya.”
***
Angin malam di Pont des Amoureux d’Or mulai menusuk lebih tajam.
Sudah lebih dari dua jam Bintang menunggu.
Ia menatap layar ponselnya untuk kesekian kali. Tak ada pesan baru. Tak ada keterangan jika pesannya sudah dibaca. Tak pula ada tanda Helia mendekat atau sedang dalam perjalanan.
Bintang menghela napas panjang, menutup ponselnya dengan jemari yang mulai dingin. Ia mencoba meyakinkan diri jika Helia mungkin benar-benar tak ada waktu menemuinya. Atau baterainya habis.
Atau tunangannya datang lebih cepat dan langsung membawanya ke pesta.
‘Banyak kemungkinan. Lagian lo siapanya, Tang? Kalaupun dia datang, lo kasih tau apa yang lo lihat dan dengar, apa lo pikir Izora bakal lebih percaya omongan lo ketimbang tunangannya?’
Namun firasat itu semakin kuat. Seperti ada sesuatu yang meremas jantungnya.
Kemudian—
Sirene terdengar lagi.
Satu.
Kemudian dua.
Saling sahut, membelah malam di sekitar danau dengan musik mengerikan yang tidak biasa.
Bintang spontan berdiri. Sepertinya ia harus membuktikan kekhawatirannya sendiri.
Ia menoleh ke arah sumber suara, arah jalan raya yang tak terlalu jauh dari danau.
Ada sesuatu yang buruk terjadi.
Dan entah kenapa, bagian terdalam dirinya berbisik: “Itu Izora.”
Ia merapatkan jaketnya, memasukkan termos teh dan cup ke dalam ranselnya, lalu bergegas menuju area publik terdekat. Di antara langkah yang terburu-buru, Bintang mencoba menelepon Helia sekali lagi. Tiga kali panggilan. Tidak ada jawaban. Hingga akhirnya nada sambung berakhir dengan sendirinya.
Hampir sepuluh menit berjalan, Bintang tiba di pos polisi kecil yang terletak di perempatan jalan. Dua petugas terlihat sedang bersiap menuju mobil.
“Permisi,” ujar Bintang.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya salah satu petugas, nada suaranya cepat—jelas sedang terburu-buru.
Bintang menarik napas. “Maaf, saya… saya hanya ingin memastikan apakah ada laporan kecelakaan antara satu atau dua jam yang lalu?”
Kedua petugas itu bertukar pandang.
“Anda siapa?” tanya petugas yang lain.
“Begini, saya mendengar banyak sirene dari arah danau,” jelas Bintang, suaranya jelas terdengar khawatir. “Dan… teman saya seharusnya datang menemui saya di danau sekitar satu jam lalu. Dia tidak muncul. Ponselnya mati. Dan sirine itu seperti berkumpul di satu titik. Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres.”
Salah satu petugas mengangguk. “Memang ada kecelakaan tak jauh dari danau. Dua perempuan, kondisi parah. Jika Anda perlu identitas—”
Bintang langsung membeku. “Perempuan?” Suaranya parau. “Dua… perempuan?”
“Itu saja yang bisa kami beritahu, monsieur,” jawab petugas itu.
“Mereka dibawa ke mana?”
“Anda bisa pergi ke rumah sakit Versailles untuk memastikan. Semua korban kecelakaan biasanya dibawa ke sana.”
Tak membuang waktu lebih lama, Bintang langsung mengucapkan terima kasih dan berbalik.
Ia berlari. Terburu-buru, nyaris tersandung kakinya sendiri.
Satu tangannya naik, ia tempelkan di telinga, memanggil nomor Helia lagi sambil menghentikan sebuah taksi yang lewat.
Helia masih tak menjawab.
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia benar-benar takut kehilangan seseorang yang bahkan belum lama dikenalnya.
‘Izora… aku ngga akan marah kalau kamu ngga bisa menemuiku. Tapi tolong jangan jadi salah satu dari mereka.’