“Merci beaucoup,” ujar Bintang seraya meletakkan beberapa lembar euro di jok kopilot begitu taksi melewati gerbang Rumah Sakit Versailles.
Pria di balik kemudi jadi menginjak pedal rem lebih awal hingga gesekan roda dan pemukaan jalan mengeluarkan bunyi berdecit. Mobil bahkan belum benar-benar berhenti ketika Bintang membuka pintu dan bergegas turun. Udara malam yang terasa lebih dingin dari biasanya seolah menampar wajahnya saat ia berlari beberapa meter menuju lobby, namun ia sama sekali tak peduli.
“Excusez-moi,” sapa Bintang ke seorang staf resepsionis. “Apakah ada—dua wanita yang dibawa dari kecelakaan mobil? Salah satunya mungkin... saya tidak yakin dengan surname-nya. Helia Izora. Saya mencarinya.”
Staf itu memandang Bintang sejenak, mendapati ekspresi wajahnya yang panik dengan sorot mata yang benar-benar gelisah. Ia lalu memeriksa layar komputer. Detik-detik menunggu terasa begitu panjang dan menyesakkan d**a.
“Begini,” sela Bintang lagi, khawatir perempuan di hadapannya ragu memberi informasi. “Dia dari Indonesia. Di sana nama seseorang seringkali tidak menggunakan surname. Aku temannya, harusnya kami bertemu beberapa jam lalu di Pont des Amoureux d’Or. Dia tidak datang, sementara aku mendengar suara sirine polisi dan ambulans. Itu yang membuatku mencari informasi ke kantor polisi dan akhirnya ke sini.”
Staf itu mengangguk. “Benar. Mademoiselle Helia Izora datang dengan trauma parah.”
Bintang membeku.
Dunia di sekelilingnya seolah menjauh.
Bahkan, udara pun seakan menipis.
Sesak! Kedua matanya turut memanas.
“Monsieur?” tegur staf itu.
Bintang menatapnya dengan sorot frustasi. “Apakah dia—” suaranya goyah. “Apa dia... selamat?”
Resepsionis itu menghela napas sambil menatapnya penuh empati. Meski berkali-kali menyaksikan keluarga pasien runtuh di depan mata saat kabar buruk disampaikan, tetap saja tak membuatnya terbiasa.
“Untuk saat ini ia selamat,” tanggapnya. “Dia sedang dioperasi. Para dokter sedang mengusahakan yang terbaik.”
Bintang menutup mata sesaat. Napasnya tercekat.
“Di mana aku bisa menunggu?”
Staf itu menunjuk lorong panjang menuju area ruang tunggu operasi.
Bintang mengangguk lemah lalu bergegas ke arah tersebut.
***
Ruang tunggu operasi terletak di salah satu sudut lantai dua. Lampu-lampunya bersinar terang, mungkin untuk menyeimbangkan kesuraman yang mengisi area tersebut. Kursi-kursinya tampak keras dan dingin, sekalipun disediakan beberapa sofa di salah satu sisi. Dan yang lebih mencolok adalah suasana yang menyelimuti; berat, hening, dan penuh ketakutan... atau harapan.
Bintang berhenti sejenak begitu kedua kakinya memasuki ruangan. Ia memperhatikan sekeliling.
Ada beberapa orang duduk di sana.
Namun pandangannya tertarik pada sepasang suami istri paruh baya yang duduk berdampingan, masih memakai pakaian pesta. Sang pria tampak memegangi kepalanya dengan kedua tangan, sementara yang wanita menggenggam clutch erat-erat, air matanya jatuh tanpa suara.
Penanda yang paling jelas adalah mereka berparas Indonesia. Petunjuk yang membuat Bintang langsung bisa menyimpulkan siapa mereka. Orangtua Helia.
Ia bergerak lagi, membawa langkahnya, hendak mendekat. Ingin memperkenalkan diri. Ingin mengatakan bahwa ia datang karena Helia. Karena Helia seharusnya bertemu dengannya sebelum waktu membawa bencana.
Namun, masih beberapa langkah tersisa, seorang pria muda berpakaian rapi—seperti asisten pribadi—melewatinya, terburu-buru menemui mereka.
“Pak, Bu,” ujarnya, frustasi. “Saya sudah coba hubungi Mas Gavin… tapi teleponnya tidak aktif. Asistennya juga tidak tau beliau ada di mana. Sepertinya beliau meninggalkan pesta lebih cepat sebelum kabar kecelakaan kita terima.”
Sejenak, kedua orang tua Helia saling berpandangan dengan tatapan campur aduk.
Sementara Bintang yang mendengar nama itu langsung menegang.
Gavin.
Nama yang belum lama ia dengar. Bukan pula Helia yang menceritakan, namun Aimée—salah satu temannya saat mengambil pendidikan master di ISIPCA, sebuah Institut Tinggi Internasional di bidang parfum, kosmetik, dan aroma pangan di Versailles. Aimée juga yang pertama kali mengajaknya ke tea house tempat Helia bekerja paruh waktu, tempat mereka pertama kali berkenalan sekitar lima bulan yang lalu.
Dan hari di mana ia mendapati Helia datang bekerja diantar seorang pria, adalah hari di mana ia mendengar nama Gavin.
“Apa kamu menyukainya? Helia maksudku,” tanya Aimée.
“Kenapa kamu bertanya begitu?” balas Bintang.
“Hanya perasaanku saja.”
Bintang menaikturunkan bahunya.
“Kurasa kamu harus berhenti,” ujar Aimée lagi.
“Karena?”
“Gavin. Pria yang datang dengannya tadi—“
Bintang sekilas melirik ke salah satu meja di mana Gavin berada.
“—tunangannya.”
Bintang terdiam.
“Helia bilang mereka bertunangan sebulan yang lalu. Saat dia pulang setelah menyelesaikan tugas akhir, sambil menunggu waktu wisuda,” jelas Aimée.
“Kamu tau banyak tentangnya,” balas Bintang, berusaha sedatar mungkin untuk menutupi rasa kecewa yang tiba-tiba saja menggelitik hatinya.
“Baru seminggu yang lalu dia cerita.”
“Begitu....”
Dan sekarang, ia mendengar lagi nama itu.
Nama laki-laki yang ia benci.
Nama yang membuat dadanya terasa sempit, membuat pikirannya lantang menuduh jika pemilik nama itulah dalang dari tragedi ini.
Dan Bintang rasa, Gavin tak di sini karena sedang sibuk dengan selingkuhannya, seperti beberapa hari lalu saat secara tak sengaja ia pergoki perselingkuhan itu di sebuah kafe di Paris.
Bintang menunduk, menatap ujung sepatunya, menelan setiap kata yang ingin ia lontarkan. Ia tak sampai hati mengganggu orang tua Helia. Tidak pada saat seperti ini. Bukan di saat mereka tengah berperang dengan harap dan ketakutan.
Ia memilih duduk di kursi pojok barisan depan, hanya untuk memastikan jika ia bisa mendengar setiap ucapan dokter yang keluar dari ruang operasi nanti.
Tangannya merogoh saku jaket. Sebuah vial kecil berisi parfum yang ia racik khusus untuk Helia tergenggam di sana. Ia memandanginya lama, seakan dunia bisa kembali utuh hanya dengan memutar waktu.
Di kepalanya, satu kenangan muncul begitu jelas—kenangan dari hari yang sederhana, namun menjadi titik awal perasaan yang lebih berarti baginya.
***
“Itu parfum buatan kamu?” Helia menatap dua botol kecil di meja tea house dengan mata melebar, antusias. “Serius kamu bikin sendiri?”
Bintang terkekeh. “Justru aku harus bisa bikin parfum. Aku ke sini untuk belajar itu, kan?”
“Iya sih.”
Bintang mengangguk. “Ini masih sample. Formula aku belum final. Mau nyobain ngga?”
Helia mengangguk cepat. Seperti anak kecil yang ditawari permen favoritnya.
Bintang menyimpan ekspresi yang tak pernah ingin ia lupakan itu di benaknya.
Ia lalu menekan pump, membiarkan percikan parfum menari di udara sebelum menempel di smelling strip putih.
“Ini yang pertama,” ujarnya sambil menyerahkan strip itu pada Helia.
Helia mendekatkan strip ke hidung. Ia mengernyit menggemaskan, lalu tersenyum, tulus dan hangat. Anggukannya menjadi isyarat jika ia mengingat wangi itu.
Contoh kedua Bintang semprot ke smelling strip baru. Ia kibaskan singkat, lalu disodorkan ke Helia lagi.
Gadis itu menghidu, kali ini tanpa mengernyit sama sekali, lalu ekspresinya mengatakan segalanya. Ia sangat menyukainya.
“So? Menurut kamu?” tanya Bintang.
“Yang pertama tuh segar, dominan fruity dan diseimbangin sama notes green tea,” tanggapnya. “Bener ngga?”
Bintang mengangguk. “Yang kedua?”
“Aku suka banget wanginya,” ujar Helia.
“I know, kelihatan banget dari ekspresi kamu,” sahut Bintang, terkekeh.
“Jadi, notes-nya apa?”
“Masa ngga mau nebak sih?”
Helia tergelak. “Misterius banget lho wanginya, kompleks, tapi lembut, deep juga. Gimana ya jelasinnya. Mmm... pas pertama dekat hidung sih aku langsung nangkep wangi citrus, tapi ngga strong kayak lemon.”
“Betul. Top notes-nya bergamot,” ujar Bintang. “Bagian yang kompleks yang kamu bilang tadi, itu di heart notes-nya, aku pakai orange and white blossoms yang dipaduin dengan white tea, sementara base-nya... yang tertinggal dan paling long lasting adalah woody notes dari sandalwood alias kayu cendana. Begitu disemprotin clean and bright vibes-nya ngajak kenalan, terus kita jatuh hati karena floral-citrusy notes yang lembut dan segar, and in the end kita ngga akan bisa berpaling karena dia ninggalin vibes yang elegant, soft juga nenangin banget,” jelasnya panjang lebar dengan sorot mata yang berbinar senang.
“Oh my God, Bintang... pantesan wanginya seenak itu.” Helia menatapnya kagum. “Kamu jago banget, sumpah.”
“Ngga juga…” Bintang menggaruk tengkuk, malu. “Masih belajar kok.”
“Kalau nanti kamu bikin parfum dengan wangi kayak gini… jangan lupa bilang aku. Pasti bakalan aku beli.”
“Oh ya?” Bintang terkekeh.
Helia mengangguk. “Kayaknya bakalan jadi favorit aku.”
Tersua jeda, karena Bintang yang terdiam, dan Helia yang kembali menciumi smelling strip. Untuk pertama kalinya, Bintang akhirnya paham bagaimana rasanya jatuh cinta. Bukan berarti ia tak pernah kagum pada lawan jenis, hanya saja... perasaannya ke Helia terasa berbeda.
“Mmm… nanti aku bikinin parfum custom buat kamu, mau?” tanya Bintang kemudian.
“Serius?”
Bintang mengangguk.
“Yang ini ya?” tawarnya seraya mengangkat smelling stip contoh kedua.
Bintang tertawa. “Kamu tau ngga harga per items dari ingredients parfum itu?”
Helia menyusul tawa. “Harga ngga bohong ya?”
“Dan hidung kamu tau aja lagi mana yang pricy.”
“Ih, bukan gitu, Ini kan soal preferensi wangi,” elak Helia.
“Iya deh.”
“Kamu pasti mau ngatain aku matre!”
“Kamu matre ngga?”
“Dikit sih.”
Bintang tergelak lagi, begitu pun Helia.
***
Vial itu bergetar karena tangan Bintang. Ketakutannya merambat hingga ke ujung-ujung jemari.
“Helia…” gumamnya, berbisik. “Aku mohon, bertahanlah.”
Waktu berjalan sangat lambat setelahnya.
Beberapa kali pintu unit operasi terbuka, diikuti langkah perawat yang memberi status tindakan dan kondisi pasien. Namun, untuk Helia, belum ada sama sekali. Mungkin, semua orang masih berusaha mempertahankan hidup gadis itu. Dan setiap kali pintu itu bergerak, jantung Bintang seolah turun ke perut.
Hingga akhirnya....
Beberapa jam kemudian....
Pintu itu terbuka untuk kesekian kalinya.
Namun kali ini bukan perawat, melainkan seorang dokter.
“Keluarga Janitra?”
Orangtua Helia berdiri.
Bintang hampir saja ikut berdiri, namun akhirnya ia urungkan, memilih mendengarkan dengan saksama dari posisinya..
Dokter itu melepas masker. Ekspresinya serius dan tampak lelah. “Saat ini,” ujarnya, “kami berhasil menghentikan perdarahan utama dan menstabilkan tekanan darah pasien.”
Orangtua Helia menatap dengan mata penuh harap.
“Tapi…” lanjut Dokter, “pasien masih dalam kondisi koma. Ada trauma signifikan pada kepala dan wajah. Kami tidak bisa memprediksi kapan pasien akan sadar… atau apakah ia akan sadar sepenuhnya.”
Sang ibu terisak keras.
Sang ayah mematung, wajahnya menggambarkan runtuhnya dunia.
“Kita hanya bisa menunggunya sadar, baru kemudian menelaah efek dari kecelakaan ini,” ujar Dokter lagi.
“Efek apa, Dok?” tanya sang ayah.
“Seperti yang saya katakan tadi, ada trauma signifikan di kepala. Cedera yang sedemikian hebat bisa saja membawa gangguan. Misalnya gangguan gerak, penglihatan, bicara, kognitif, atau memori. Meski, yang kita harapkan, pasien bangun dan sehat seperti sedia kala.”
Pasangangan itu tak berkata apa pun lagi, hanya bisa menangisi nasib kedua putrinya, terutama Helia.
Mendengar semua penuturan itu, jantung Bintang seakan diremas.
Kedua tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Dada dan perutnya ngilu.
Sementara air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
“Izora…” bisiknya yang hanya sampai ke telinganya sendiri. “Kenapa bisa begini?”