Terik matahari Surabaya menyambutnya bahkan sebelum roda kursi itu melewati pintu kedatangan.
Udara bandara yang padat, lengket, dan riuh terasa seperti dunia lain setelah berbulan-bulan ia hidup di ruang putih yang dingin dan sunyi. Helia mengerjap, matanya terasa perih oleh cahaya terang, sementara kursi rodanya didorong Fabian menuju keluarga yang menjemput.
“Helia….”
Suara itu—serak, tertahan—milik sang ibu.
Helia menatap dari balik kaca mata hitamnya. ibunya tertegun, mengenakan blus putih dan celana krem, wajahnya cantik dengan riasan natural yang tak mampu menyembunyikan sembab di matanya. Di samping Munik, Yudi mengenakan kemeja lengan pendek dan wajah yang tampak lebih tua dari kali terakhir ia ingat. Arani juga di sana, begeming, mengenakan blouse pink dan celana jeans, serta rambut terikat rapi.
Untuk sepersekian detik, dunia seolah berhenti.
“Mami…” suara Helia lirih.
Munik langsung mendekat, lalu berlutut di samping kursi roda itu, memeluk putrinya dengan hati-hati, seolah sedikit saja ia mengeratkan rengkuhan, tubuh Helia bisa hancur berkeping-keping. Helia menghidu aroma parfum ibunya yang familiar, bercampur samar dengan campuran bebauan di sekitar.
“Alhamdulillah, anak Mami kamu pulang. Welcome home, Sayang,” ucap Munik, suaranya parau. “Mami kangen banget.”
Yudi mengusap lembut kepala Helia. “Papi juga, Ya.”
Helia tersenyum. Senyum yang ia sendiri belum akrab dengan lengkungannya di wajah editan itu.
“Kak Arani…” panggilnya kemudian.
Arani mendekat. “Hei, Dek…” Ia merunduk, memeluk Helia singkat. Helia bisa merasakan Arani menahan sesuatu di pelukannya—entah tangis, entah banyak kisah.
Munik menepuk punggung Arani. “Sudah, kita pulang dulu. Adikmu pasti capek. Di rumah kalian bisa tebus kangen sambil istirahat.”
Rumah.
Kata itu menimbulkan rasa hangat… sekaligus ngilu dadanya. Penyebab yang terakhir, Helia juga belum tau apa.
***
Perjalanan dari bandara ke rumah terasa seperti menonton ulang sebuah film, namun tak lagi ingat jalan ceritanya.
Helia duduk di kursi belakang, sabuk pengaman melintang di d**a. Di luar, Surabaya melintas; gedung, baliho, deretan ruko, pohon-pohon yang kepanasan. Jalan yang pernah ia lewati ratusan kali, kini terasa asing.
“Gimana rasanya balik ke Surabaya lagi?” tanya Yudi dari balik kemudi.
“Panas,” jawab Helia, menatap keluar jendela. “Dan… rame banget.”
Ia menempelkan jari ke kaca, mengikuti garis pantulan sinar matahari. Di kepalanya, ingatan terakhir masih sama; cincin pertunangan di jarinya—yang kini entah pengikat itu ke mana, senyum Gavin, dan ucapan selamat dari tamu-tamu.
Setelah itu, kosong.
“Perusahaan gimana, Pi?” tanyanya kemudian. “Mas Fabian bilang saham sempat turun—”
Yudi menghela napas. “Sekarang jauh lebih baik. Pelan-pelan stabil. Banyak yang harus Papi bereskan. Dibantu Mami dan Arani. Kamu ngga usah ikutan pusing dulu. Fokus sembuh aja, ya.”
“Iya, Pi.” Helia menggenggam tepi blouse-nya. “Gavin… sibuk banget, ya Pi?” tanyanya kemudian.
“Ada kok,” jawab Arani. “Nanti sore juga kalian ketemu.”
Helia mengangguk. Ada sesuatu di nada suara Kakaknya yang membuatnya ingin bertanya lebih jauh, namun ia memilih untuk menahan diri.
Lama jauh dari keluarga, lama di tempat asing yang heningnya terasa mencekam, mengajarkannya satu hal; tidak semua pertanyaan harus segera punya jawaban.
***
Gerbang rumah mereka terbuka otomatis. Rumah besar bercat putih itu berdiri anggun, halaman luas, pepohonan tertata, dan air mancur kecil di tengah. Dari luar, semuanya tampak sama seperti saat pesta pertunangan.
‘Sebelas bulan yang lalu.’
Namun begitu mobil memasuki pekarangan, Helia menyadari sesuatu yang berbeda.
Mobil-mobil terparkir lebih banyak dari biasanya. Dua truk kecil berlogo vendor dekorasi dan catering terlihat di sisi kiri, petugasnya sedang menurunkan kotak-kotak besar. Di depan pintu utama, beberapa orang membawa papan kayu panjang dan rangka besi.
Helia mengerutkan kening.
“Sedang ada… acara?” tanyanya.
Munik dan Yudi saling berpandangan singkat, tatapan cepat yang lolos begitu saja dari radar orang yang tidak terbiasa mengamati.
“Acara keluarga,” jawab Yudi akhirnya. “Nanti Papi jelaskan, ya? Sekarang kamu masuk dulu.”
Fabian turun lebih dulu, menyiapkan kursi roda, lalu membantu Helia duduk di sana.
Kursi didorong pelan, beberapa orang-orang yang tampak asing memberi anggukan pada Helia.
Begitu roda bergulir ke dalam rumah, Helia menghidu dalam-dalam aroma yang ia rindukan; bunga segar di vas, pembersih lantai, serta sedikit aroma rerumputan dari luar dan lembutnya kayu dari furnitur.
Namun di balik itu semua, ada wangi lain yang jarang ia rasa. Kertas dekorasi, kain yang lama disimpan, lem tembak, dan juga wewangian di tubuh orang-orang yang berlalu-lalang.
Begitu melewati foyer, Helia melihatnya dengan jelas; kain-kain dekorasi berwarna dusty blue dan champagne yang mulai digantung, rangka backdrop di sudut ruangan, tumpukan kursi lipat elegan yang siap ditata.
Seorang dekorator lewat sambil membawa papan akrilik besar. Helia hanya sempat menangkap sekilas huruf-huruf di atasnya sebelum benda itu menghilang di balik lorong.
Rangkaian huruf berwarna emas di atas putih.
‘Arani Zarifa Janitra & Gavin Laksmana.’
Helia membeku.
Rasanya seperti seseorang baru saja menyiram air es ke seluruh tubuhnya.
Mungkin ia salah baca.
Mungkin itu nama orang lain.
Mungkin itu… bukan.
Ia menoleh ke Arani, ingin memastikan, namun Kakaknya sudah melangkah lebih dulu, sibuk mengatur sesuatu dengan staf EO yang berdiri di dekat tangga.
“Nanti kamarnya di lantai bawah aja, ya,” suara Munik memecah kaku. “Biar kamu ngga usah naik-turun tangga dulu.”
Helia mengangguk pelan. Matanya kembali mencari papan akrilik itu, namun sudah menghilang ke dalam ruang besar di sisi kanan.
“Mi...” lirih Helia, nyaris tercekat.
“Ya, Sayang?” Munik tak menatapnya saat menjawab, tangannya sibuk mengangkat tas kecil dan berkas yang tadi dibawa Yudi.
“Acara… apa, Mi?”
Munik berhenti sejenak. Ada jeda yang terlalu panjang untuk jawaban sederhana.
“Acara keluarga,” jawabnya akhirnya, tersenyum—senyum yang jelas tak wajar. “Kamu istirahat dulu aja, ngga usah ikut repot.”
Helia terdiam.
Ia tau ketika orang dewasa mengulur jawaban. Ia juga tau ketika ada sesuatu yang sengaja tidak disebutkan.
***
Kamar di lantai bawah sebenarnya adalah ruang tamu kecil yang disulap menjadi kamar sementara; ranjang single, lemari kecil, meja rias. Di sudut, koper Helia sudah diletakkan rapi.
Ia duduk di tepi ranjang setelah dibantu berpindah dari kursi roda oleh seorang perawat — yang lagi-lagi terasa asing — sewaan kedua orangtuanya. Badannya masih lemah, cepat lelah. Bekas luka-lukanya yang sebenarnya sudah sembuh, sebagian besar tertutup pakaian, meski tubuhnya kerap terasa nyeri yang tak bisa dijelaskan.
“Kalau butuh apa-apa, pencet ini ya,” ujar Munik sambil menunjuk bel di samping ranjang.
“Iya,” jawab Helia pelan.
“Arani nanti turun,” tambah Yudi. “Bantu kamu beres-beres.”
Helia mengangguk saja. Ia tak punya tenaga untuk menambah jawaban lain.
Begitu pintu tertutup dan langkah orangtuanya menjauh, kamar itu terasa lebih sunyi dari ICU.
Helia menghela napas panjang. Matanya tertuju pada koper di sudut ruangan.
Ia memandang sekeliling, mencari-cari sesuatu yang lain.
Foto. Frame. Kenangan visual.
Tidak ada.
Ruang ini terlalu rapi. Seperti kamar tamu, bukan kamar anak yang baru pulang dari nyaris mati.
Pintu diketuk pelan. Arani masuk sambil membawa tumpukan handuk dan beberapa baju rumahan.
“Capek?” tanya Arani singkat.
“Lumayan, Kak,” jawab Helia.
Arani meletakkan handuk di lemari. Suasana hening menggantung beberapa detik.
Helia menggigit bibir. Akhirnya, ia membuka suara.
“Kak.”
“Ya?”
Arani tak berbalik, sibuk menenangkan jantungnya yang berdegup kencang setiap kali mendengar Helia memanggil.
“Barusan di depan… aku lihat nama Gavin.”
Arani menelan ludah, tubuhnya kaku. Meski hanya reaksi singkat.
Tapi... cukup untuk Helia menyadarinya.
“Banner dekorasi,” lanjut Helia. “Di papan. ‘Arani Zarifa Janitra & Gavin Laksmana’. Kalian—”
Pertanyaan itu mengalun pelan dan ragu, meski setiap suku katanya menggema di ruang kecil itu.
Arani menutup lemari pelan, lalu berbalik. Di wajahnya tercetak sesuatu yang kompleks; rasa bersalah, takut, lelah.
“Ya, kamu baru banget pulang, lho. Dokter bilang kamu harus—”
“Jawab aja, Kak. Ngga usah bertele-tele,” potong Helia, suaranya tetap pelan namun terdengar tegas, dan cukup untuk menunjukkan jika ia tak suka dengan situasi yang seolah menyembunyikan banyak hal ini.
Arani terdiam.
Helia merasakan dadanya berdegup tidak karuan, bukan hanya karena trauma tubuh, tapi karena sesuatu di dalam dirinya diremas.
“Gavin…” Bibirnya bergetar. “…tunangan Kakak sekarang?”
Tersua hening.
Mungkin singkat, namun terasa lama bagi keduanya.
“Jawab, Kak.”
Arani menarik napas dalam. “Rencana pertunangan,” jawabnya. “Kita belum bicara ini sama kamu karena—”
“Karena aku lebih mungkin mati daripada tiba-tiba sadar dan bisa pulang?” jawab Helia, dingin.
“Helia...” lirih Arani. “Ngga gitu, Dek. Aku—“
“Keluar!” pinta Helia.
“Helia....”
“Aku bilang... keluar.”
“Helia....”
“KELUAR!”