BAGIAN YANG HILANG

2356 Words
‘Aku... di mana?’ ‘Aku... kenapa?’ Semua terasa terlalu terang, terlalu putih, terlalu sunyi. Kelopak matanya berat dan perih untuk dibuka, seolah dipenuhi pasir halus. Ia mencoba menggerakkan jari, dan merasakan kejutan kecil seperti listrik yang menembus tulang. Helia mengerjap. Cahaya lampu rumah sakit menyambutnya, menusuk sel-sel retina yang lama tertidur. Ada desis halus di dekat telinganya—yang belum ia sadari jika itu adalah yang membantunya bernapas. Ada sesuatu yang membuat kaku punggung tangannya. Ada aroma khas yang mengingatkannya pada rumah sakit. ‘Rumah Sakit?’ Ia mencoba bernapas dalam, tetapi rasanya berat sekali. Helia membuka mata lebih lebar. ‘Di mana ini?’ Ia mencoba mengangkat tangan, bisa, tapi rasanya berat seperti digantungi batu. Lalu kakinya, ternyata jauh lebih berat lagi. Matanya menyapu ke segala arah, perlahan. Hingga di satu titik... pintu kamar terbuka. “Helia?” Syukurlah, ada seseorang yang ia kenali. Meski, bukan yang ia harapkan. “Saya panggil dokter dulu,” ujar Fabian. Ia menekan tombol di dekat ranjang pasien, kemudian mengatakan kondisi Helia saat bel interkom menyala. Beberapa saat kemudian, derap langkah yang cukup ramai terdengar kian mendekat. Tak lama, pintu terbuka dan tiga orang masuk—seorang dokter dan dua perawat. “Bonjour, Mademoiselle Janitra,” sapa sang dokter dengan mata yang menyipit. Senyum hangat pasti melengkung di balik maskernya. “Anda akhirnya sadar.” ‘Akhirnya?’ Helia menatap orang-orang asing itu dengan kebingungan. Ia ingin melontarkan banyak pertanyaan, namun tenggorokannya seolah lengket dan kering. Seorang perawat mendekat, mencatat semua yang dokter katakan saat melakukan pemeriksaan fisik dan vital pasiennya. “Boleh saya lihat mata Anda?” tanya dokter itu sambil mengangkat senter kecil. Helia berkedip beberapa kali saat cahaya putih menyapu matanya satu per satu. “Bagus,” ujar dokter lagi. Itu kabar baik, harusnya begitu bukan? Dokter berpindah memeriksa bagian wajah. Jari-jarinya lembut, namun sensasi yang menyertainya terasa… asing. Pipi kirinya sedikit mati rasa. Bagian dekat rahang terasa kaku. Ada sensasi aneh yang memanjang dari dekat pelipis ke arah atas tulang pipi. “Tolong cermin.” Dokter mengulurkan tangan ke salah satu perawat. Dan Helia semakin merasa aneh. ‘Apakah pemeriksaan kesehatan sekarang memakai cermin?’ Ia menggeleng pelan. “Jangan panik,” ujar sang dokter, lalu meletakkan kaca itu di depan wajahnya. “Beberapa bagian wajah Anda mengalami rekonstruksi. Perban sudah dilepas beberapa minggu lalu, tapi struktur tulangnya masih dalam masa adaptasi.” Helia tak menjawab. Ia hanya menatap paras di hadapannya, refleksi objek yang ditangkap cermin. Tangannya terangkat, membawa jemarinya menyentuh wajah yang terasa asing. Perubahannya tidak teramat jauh, ia tau jika itu dirinya, namun.... 'Apa yang terjadi?' 'Apa ini benar-benar wajahku?' Cermin itu bergerak menjauh. Helia mengikuti, yang membawa titik pandangnya kembali ke sang dokter, tepat pada bordir nama di dadanya. ‘Julien.’ Pria itu melanjutkan pemeriksaan, menekan tubuhnya di beberapa titik, lalu menempelkan stetoskop di dadanya. “Syukurlah.” “Apa....” Helia berdehem. “Apa yang terjadi padaku?” tanyanya kemudian. Julien menatapnya lekat. Helia bisa menangkap ada sesuatu yang janggal. “Ingatan apa yang paling Anda ingat sekarang?” balas sang dokter. Helia tak yakin. Bukan karena ia tak ingat, namun karena situasinya terlalu aneh. “Aku di mana?” “Rumah Sakit.” Fabian yang menjawab. “Maksudku—“ “Versailles,” ujar Julien. “Versailles?” Ekspresi Helia kian menunjukkan kebingungannya. “Ingatan apa yang paling Anda ingat sekarang?” Julien mengulang pertanyaannya. “Pertunangan,” lirih Helia. “Aku... aku baru saja bertunangan.” Ia lalu menoleh ke Fabian. “Gavin! Di mana Gavin? Apa yang terjadi padaku?” Fabian mengusap wajahnya kasar. Helia bisa menangkap ekspresi frustasi dari orang kepercayaan Gavin itu. “Kapan pertunangannya?” Julien bertanya ke Fabian. “Hampir setahun yang lalu,” jawab Fabian. Helia sontak membelalak. ‘Setahun?’ Julien menghela napas panjang, menatap iba pada pasiennya. “Anda mengalami kecelakaan bersama kakak Anda, Mademoiselle.” Ia membuka penjelasan. “Sekitar lima bulan yang lalu.” Iris mata Helia bergetar, lalu terlapisi kabut. “Ia sudah pulih lebih dulu jika itu yang Anda khawatirkan,” lanjut Julien. “Arani sudah kembali ke Surabaya,” tambah Fabian. Helia menghela napas pelan, ada sedikit kelegaan yang ia rasa. “Lalu... kecelakaan itu membuat Anda mengalami trauma kepala berat,” jelas Julien lagi. “Kami temukan perdarahan di area tertentu dan cedera pada beberapa saraf kecil. Itu sebabnya Anda butuh waktu pulih sangat lama.” Ia berpindah mencatat sesuatu di tablet. “Apa lagi yang Anda ingat? Yang Anda rasa baru kemarin terjadi.” “Aku sedang pulang sambil menunggu upacara kelulusan,” jawab Helia. “Di mana Anda kuliah?” “Université Paris‑Saclay.” Julien mengangguk. “Ada clue mengapa Anda berada di Versailles?” “Temanku berasal dari sini. Aimeé. Kami berkenalan di grup baca virtual. Dia bilang, salah satu keluarganya punya kafe teh artisan. Aku tertarik untuk belajar. Singkat cerita, aku diizinkan part-time di sana.” “Bisa dibilang, kamu sudah menyelesaikan pekerjaan itu,” tanggap Fabian. Helia kembali terdiam. Masa-masa yang tak diingatnya itu... tak henti membuatnya tertegun. “Apa yang terjadi denganku?” tanya Helia lagi. Frustasi. “Berdasarkan gejala yang Anda alami... Anda mengalami amnesia selektif.” Helia mengerutkan kening. “Amnesia… selektif?” Julien mengangguk. “Ada bagian memori yang hilang, biasanya seputar kejadian traumatis atau periode tertentu sebelum kejadian. Kami tidak bisa memastikan apakah memori itu akan kembali. Bisa saja pulih sebagian… atau tidak sama sekali.” Helia menegang. Ingatannya terasa seperti film yang dipotong seketika—dimulai jelas di awal, lalu berhenti tiba-tiba. Dokter bertukar pandang dengan perawat, namun tak menanggapi lebih jauh. Terlalu berisiko memicu stres. “Untuk sekarang,” lanjut Julien, “tidak perlu memaksa mengingat apa pun. Fokus Anda adalah pulih secara fisik dulu.” Helia kembali terpaku ke wajah sang dokter. “Lima bulan,” gumamnya kemudian. “Apa yang sudah terjadi selama itu?” Dunia Helia berhenti. Lima bulan lebih. Ia kehilangan masa itu. Waktu di hidupnya yang tak akan pernah kembali. Tubuhnya tiba-tiba terasa berat, seolah beban tak dikenal menindihnya dari dalam. Dokter menepuk lembut lengan Helia, memberi batas pada emosi yang mulai membanjir. “Kami akan kembali sore nanti untuk pemeriksaan lanjutan. Minum dan makan diizinkan, tapi jangan terburu-buru. Jika ada perasaan mual atau terjadi muntah, kabari kami.” Ia kemudian menatap Fabian. “Jangan biarkan ia kelelahan.” “Baik, Dok,” jawab Fabian. Mereka keluar satu per satu. Pintu tertutup. Suasana kembali hening—suasana asing yang membuat d**a Helia sesak. Ia dan Fabian ditinggal berdua. Hanya suara monitor dan napasnya yang belum stabil mengisi ruangan itu. Fabian mendekat seraya membawa segelas air. Ia menarik kursi, duduk di sana. “Aku tinggiin kepala bed kamu sedikit ya? Coba minum dulu.” Helia diam saja, pasrah saat Fabian menekan remote untuk mengatur posisi ranjang. Begitu kepalanya terangkat lebih tinggi, Fabian menyodorkan ujung sedotan ke mulut Helia. “Pelan-pelan. Kalau ngga mual, baru tambah.” Helia menyesap sekali. Aman. Ia meneguk lagi. Perlahan. Beberapa kali hingga dahaganya terobati. “Kamu lapar?” tanya Fabian kemudian. “Aku punya roti. Bisa dicemilin sambil nunggu makananmu datang.” “Ngga usah, Mas. Nanti aja.” Fabian mengangguk, meletakkan gelasnya ke atas nakas. “Mami Papi mana, Mas?” tanya Helia kemudian. “Di Surabaya,” jawab Fabian. “Tapi Mas sudah ngabarin kalau kamu sudah sadar.” “Selama lima bulan—“ Gelengan Fabian memotong pertanyaannya. “Ibu dan Bapak gantian ke sini. Arani... sejak kembali ke Surabaya, belum ke sini lagi, tapi saya disuruh update kondisi kamu terus. Dan setau saya, dia rutin komunikasi dengan Dokter Julian.” “Oh.” Helia terdiam sejenak. “Gavin?” Fabian menatapnya lekat, namun jawaban itu tak kunjung terucap. Ia tidak diizinkan menjawab. Tetapi ia juga tidak tega berbohong. “Apa sesibuk itu sampai ngga bisa datang ke sini?” lirih Helia. “Anggap aja begitu,” sahut Fabian. “Fokus ke hal-hal yang berefek positif ke penyembuhan kamu, Ya.” Helia menggenggam tepi selimut, matanya kembali memanas. “Hal-hal yang kayak apa, Mas? Rasanya tuh... aku kayak kebangun di dunia lain. Kayak terperangkap di tubuh yang bukan milikku. Aku bahkan ngga ingat kapan aku ke Versailles, aku ngapain di sini, aku juga ngga bisa mengingat kecelakaan itu. Belum lagi wajahku….” Fabian memejam mata sejenak, lalu tangannya terulur menepuk lembut pundak Helia. “Ngga ada yang berubah dari kamu, Ya,” tanggap Fabian. “Kamu cuma… butuh waktu.” Namun, di kepalanya sendiri, Fabian sangat tau jika gadis yang terbangun pagi ini bukan Helia yang tenggelam di dalam reruntuhan mobil lima bulan lalu. Dan apa pun yang hilang malam itu—baik ingatan maupun bagian dari dirinya—tidak ada yang bisa menjanjikan akan kembali utuh. “Apa yang menyebabkan kecelakaan ini, Mas?” tanya Helia lagi. “Mmm... kamu ingat kalau kita dapat undangan pesta bisnis di sini—Versailles?” “Kalau lima bulan... sekarang bulan apa?” “End of April.” Kedua mata Helia melebar. Fabian mengangguk. “Kamu meninggalkan pesta dengan Arani. Mungkin untuk sekedar keliling kota.” “Lalu?” “Menurut laporan saksi dan CCTV, ada kendaraan lain yang mengejar kalian. Beberapa kali menabrak kalian sampai akhirnya Arani ngga bisa mengontrol kemudi. Saat olah TKP, semua barang berharga kalian hilang. Jadi, kepolisian menutup kasus sebagai perampokan.” “Apa?” Fabian diam sejenak. Napasnya berat. “Helia….” Ia memulai lagi, pelan. “Selepas kecelakaan, saham perusahaan mendadak turun. Ada investor besar yang menarik dana. Keluarga kalian harus balik ke Surabaya untuk menyelesaikan masalah. Jadi…” “Jadi mereka ninggalin aku di sini sendiri,” potong Helia dengan suara yang pecah. Fabian buru-buru menggeleng. “Ngga! Bukan begitu. Mereka tetap mengawasi kamu, nyuruh aku di sini untuk jagain kamu langsung. Mereka harus pulang untuk mencegah perusahaan kolaps.” Ia berhenti lagi. Menarik napas dalam. “Sekarang gimana, Mas? Perusahaan sudah mulai bangkit?” tanya Helia lagi. “Hmm,” gumam Fabian, mengangguk. “Dengan pertolongan Gavin. Dia menambal keuangan perusahaan. Tanpa dia, mungkin Janitra Corporation sudah jatuh.” Helia terdiam. Mata beningnya membesar, takjub. “Gavin… nolong kami? Nalangin dana perusahaan, nyuruh Mas nungguin aku juga?” Fabian mengangguk. “Iya.” Pipi Helia menghangat, ia tersenyum simpul, lembut. “Aku harus ngucapin makasih langsung kalau begitu,” lirihnya. Fabian menatapnya datar, tak memberi reaksi. “Kalau dipikir-pikir, memang mereka harus ngurus yang paling urgent, kan ya Mas? Lagian di sini ada tim nakes, ada Mas juga. Tapi kalau perusahaan kolaps, kasihan karyawan yang punya keluarga. Iya kan, Mas?” Fabian masih terpaku menatapnya. Pintu diketuk. Staf rumah sakit yang datang, membawakannya menu pereda lapar. “Kamu mau makan sekarang?” tanya Fabian lagi. Helia mengangguk. “Aku mau cepat-cepat sembuh, Mas. Mau pulang. Mau ketemu Mami, Papi, Kakak, dan Gavin. Aku kangen sama mereka.” Fabian mengatur meja, meletakkan makanan itu di hadapan Helia. "Pelan-pelan makannya. Kalau mual, berhenti dulu." “Makasih, Mas. Makasih juga sudah nungguin aku selama lima bulan terakhir. Makasih karena selalu bisa diandalkan,” ujar Helia lagi. Ucapan itu menusuk d**a Fabian, manis namun menyakitkan. Ia benar-benar tak habis pikir akan kepolosan perempuan di hadapannya ini. Betapa mudahnya Helia percaya. Betapa mudahnya ia memandang Gavin sebagai pahlawan. “Mas…” Helia memecah hening lagi. “Kalau aku pulang nanti, mereka semua happy ngga ya? Mami sama Papi? Kakak juga?” “Pasti happy,” jawab Fabian jujur. “Gavin juga happy, kan ya?” Helia tersenyum sumringah. “Aku kepingin peluk dia… dia pasti capek banget ngebantu perusahaan selama aku ngga sadar.” Fabian memalingkan pandangannya. “Hmm.” Hanya itu yang bisa keluar. Helia tidak menyadari kejanggalan itu. Ia justru melanjutkan dengan suara yang bersemangat—persis seperti dirinya sebelum dunia runtuh. “Makanya aku harus cepat sembuh. Harus pulang. Harus bilang makasih ke Gavin langsung.” *** Jakarta, sore hari. Hujan baru saja reda, meninggalkan titik-titik air yang menurun pelan di bagian belakang workshop butik parfum Alpha Canis Majoris. Keharuman lavender dan cedarwood memenuhi ruangan kecil itu, bercampur dengan aroma alkohol yang baru saja menguap dari botol-botol batch percobaan. Bintang berdiri di meja kerjanya, memakai jas kerja, surainya sedikit berantakan. Jarinya sibuk menakar tetes demi tetes neroli ke dalam vial kaca. Ia sedang sibuk meramu sebuah formula untuk seorang klien eksklusif. Namun, setiap tetesan turun, rasanya seperti ia menerobos waktu ke masa lalu. Ke hari di mana ia membuat dua contoh parfum untuk ia tunjukkan pada seorang gadis istimewa. Izora. Selalu Izora. Bintang menghela napas dan menutup botol itu. Dadanya menghangat, namun ada getir yang terus tinggal. Ponselnya bergetar di sudut meja. Bijou. Perawat yang selalu memberinya kabar. Bintang buru-buru melepas sarung tangan latex, meraih ponsel, dan mengangkat panggilan itu. “Ya?” “Monsieur—” suara Bijou terdengar bersemangat, napasnya seperti habis jalan cepat. “Aku membawa kabar bahagia!” Detik itu juga dunia Bintang berhenti. Ia menegakkan tubuhnya. Jari-jari yang memegang ponsel perlahan gemetar. “A… ada apa?” tanyanya, nyaris berbisik. “Mademoiselle Janitra—” Bijou memutus kalimatnya sebentar. “Ia… sudah sadar. Benar-benar sadar.” Bintang memejamkan mata sekuat mungkin. Seakan sesuatu yang selama ini ia tahan, yang ia tekan jauh ke dalam tulang rusuk, akhirnya pecah. Menebar rasa hangat. Mengalir ke setiap pembuluh darah. “Bangun?” suaranya pecah. “Ya, Mademoiselle Janitra akhirnya bangun, Monsieur,” tegas Bijou. “Apa dia baik-baik saja?” “Soal itu....” Kini Bijou terdengar ragu. “Kamu tidak bisa mengatakannya?” “Aku akan mengatakannya. Tapi tidak bisa detail.” “Tak apa.” “Mademoiselle mengalami amnesia selektif.” “Sebagian memorinya hilang?” “Betul, Monsieur.” Jantung Bintang kembali mencelos. ‘Apa aku termasuk yang terlupakan?’ “Dokternya bilang kondisinya sangat baik. Dan kalau semuanya lancar, sekitar dua minggu ke depan dia dipulangkan ke Indonesia.” Bintang terdiam. Ia menunduk, menutup wajah dengan satu tangan. Bahunya bergetar halus. Izora bangun. Gadis itu... yang ia kira mungkin tidak akan kembali. Yang ia tunggu di lorong ICU setiap hari saat masih di Prancis. Yang membuat tiap formula parfumnya terasa sepi karena teringat. Ya, Izora bangun. Dan itu yang terpenting. “Alhamdulillah… ya Allah…” Kalimat itu lolos dari bibirnya... hampir tanpa suara. ‘Terima kasih karena sudah bertahan dan kembali, Izora.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD