NAPAS BARU

1805 Words
Awal musim dingin mulai menyapa Versailles saat aula besar kampus dipenuhi toga kebanggan dan topi wisuda yang berjejer rapi. Lampu gantung bergemerlap, memantulkan warna emas lembut ke dinding batu bangunan tua itu. Di tengah sorak-sorai keluarga mahasiswa lain, Bintang berdiri diam di barisan kedua dari depan. Nama lengkapnya dipanggil. “Bintang Sirius Wisesa.” Beberapa mahasiswa menoleh karena nama itu unik. Ia berjalan maju dengan langkah tenang, menerima map tipis berisi sertifikat kelulusan. Kamera adiknya sigap memotret momen berharga itu. Namun, Bintang sama sekali tak memikirkan hasil tangkapan lensa Sam. Tak pula ada satu sorak-sorai pun yang benar-benar ia dengar. Ia hanya teringat satu wajah. Izora. Gadis yang seharusnya ia ajak ke jembatan senja itu. Gadis yang seharusnya tersenyum hari itu, bukan berbaring dengan selang dan mesin selama dua minggu terakhir. Saat tangan dekan menyalaminya, Bintang mengangguk hormat. Kedua matanya tak berbinar seperti mahasiswa lain yang melompat kegirangan atau tersenyum sumringah. Baginya... ia hanya… menyelesaikan sesuatu. Ketika upacara selesai, Bintang melepas topinya dan bernapas dalam. Ia lulus. Namun rasanya kosong. *** Siang harinya, ia duduk bersama kedua orang tua dan dua adiknya di sebuah restoran kecil yang menghadap taman. Ibunya memesan sup krim, sementara ayahnya memilih pasta sederhana. Bintang juga memesan pasta, tanpa benar-benar nafsu makan. Bahkan saat Jihan—adik bungsunya—sudah selesai makan lebih dulu lalu mengajak Sam bermain di taman, makanan Bintang belum habis setengahnya. “Ngga enak, A?” tanya Hana. "Mau pesan yang lain aja?" Bintang menggeleng. “Ini aja. Enak kok, Bund,” jawab Bintang. “Selamat ya, A,” ujar Edo seraya menepuk bahu putranya. “Ayah bangga.” Bintang tersenyum simpul. “Makasih, Yah. Makasih, Bunda.” Hana memandang Bintang lekat, tangannya menggenggam jemari putranya. “Cerita, A. Jangan diam aja.” Bintang mengaduk teh lemonnya, menyesap singkat. Ia menarik napas, mencoba memilih kata-kata. “Aa cuma capek aja sih, Bund.” Tanpa perlu Bintang bertutur lebih banyak, Hana dan Edo bisa memahami kelelahannya. Edo menepuk lembut bahu Bintang. “Jadi… habis ini rencana Aa gimana? Masih sama? Langsung pulang ke Bandung?” Bintang mengangguk. Pelan, tapi pasti. “Iya. Aa juga ngga mungkin stay di sini terus, Yah.” Ia menatap taman yang basah oleh embun. “Kalau pun mau cari kerja di sini, bisa… tapi bukan itu tujuan Aa dari awal.” Hana mengangkat alis. “Terus?” “Aa kan janji sama teman-teman untuk mulai bikin Mass-Market Brand, mereka sudah kepikiran invest malah, ya Aa harus pulang.” Edo mengangguk, namun tak melebarkan tanggapan. “Terus, soal—“ “Izora,” sambung Hana. “Rencana Aa gimana?” Bintang menyesap lemon tea-nya lagi. “Itu sih yang jadi pikiran terberat Aa, Bund,” jawabnya. “Aa sebenarnya juga ngga tau sih kenapa Aa ke rumah sakit terus selain karena merasa bersalah. Maksud Aa, Izora kan punya keluarga yang pasti ngejaga dia. Secara logika pun, ya Aa harus lanjutin hidup Aa.” “Tapi?” tanya Hana. “Aa kepingin tetap tau kondisinya, Bund. Apalagi... dia masih koma.” Edo dan Hana tak langsung menjawab. Sang ayah mengusap dagunya, memikirkan sesuatu. “Cari orang dalam bisa ngga, A?” ujar Edo. Bintang mengangkat wajah. “Ngga bisa, Yah. Kondisi pasien kan rahasia. Cuma keluarga aja yang dikasih tau.” “Bukan itu maksud Ayah,” timpal Edo. “Sekedar ngasih update. Masih di ICU atau sudah pindah ke bangsal. Kondisinya stabil atau menurun. Hal-hal umum yang boleh dibicarakan tenaga medis.” “Aa ngga ada kenalan perawat atau dokter di rumah sakit, Yah.” “Coba telpon Gyan,” usul Edo, merujuk ke seorang kerabat mereka yang tinggal di Paris. “Siapa tau dia punya kenalan nakes di rumah sakit Versailles. Minimal satu orang yang bisa Aa kontak. Bukan untuk bocorin privasi pasien—tapi untuk kasih kabar.” Bintang terdiam sejenak. “Ngga enak, Yah.” “Ayah ngga nyuruh makan. Kan Ayah nyuruhnya nanya.” Hana mengatupkan bibir, menahan tawa. “Hmm... iya deh, Yah. Nanti Aa telpon Bang Gyan.” “Nah! Coba aja dulu, namanya juga usaha.” Bintang mengangguk. Edo menepuk bahunya lagi. “Nanti Ayah bantu jelasin ke Gyan juga.” Untuk pertama kalinya dalam dua minggu terakhir, Bintang bisa mengembuskan napas sedikit lebih lega. Bukan hilang gelisahnya. Tak pula sembuh rasa bersalahnya. Tapi lega, mungkin karena ia tak sendirian menghadapi perasaan yang menyesakkan itu. *** Desember — Bulan Pertama Winter di Versailles mencapai puncaknya ketika Helia masih terbaring dalam keheningan. ICU rumah sakit itu tetap dingin, dipenuhi suara mesin yang bekerja dengan ritme yang sama setiap hari, seolah dunia Helia berhenti tepat di detik kecelakaan itu terjadi. Arani sudah terbang pulang bersama kedua orang tuanya. Penerbangan panjang itu terasa seperti hukuman—setiap jam yang berlalu hanyalah pengingat bahwa ia meninggalkan Helia di balik dinding kaca ICU, sendirian, dengan tubuh luka dan wajah yang tak lagi sama. Sesampainya di Surabaya, Arani terjun langsung ke tumpukan pekerjaan perusahaan—bukan karena ia ingin, namun karena harus. Investor menarik dana mereka. Media memburu kabar. Saham sempat jatuh sehari setelah berita kecelakaan tersebar di jaringan bisnis. Dan itu semua bukan kekacauan yang bisa sembuh sendiri. Di sela-sela rapat dan berkas-berkas, Arani selalu menutup pintu ruangannya hanya untuk satu hal; menghubungi rumah sakit Versailles. Dan jawaban yang dia dapat, masih selalu sama. “Helia masih koma.” “Dia stabil, tapi belum menunjukkan respons.” “Bahkan bernapas pun, ia masih bergantung pada mesin.” Tiga kalimat yang terdengar seperti mantra buruk. Setiap kali telepon ditutup, Arani menatap meja kerjanya kosong. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah berharap waktu bergerak cepat… namun tidak terlalu cepat sampai ia kehilangan Helia. Sementara itu, Bintang kini tinggal di Jakarta, menangani salah satu usaha keluarga yang dipercayakan sang ayah ke tangannya. Tepat saat pergantian tahun nanti, Bintang akan resmi menduduki posisi CEO dari sebuah perusahaan di lini kosmetik—wewangian. Ia bertanggung jawab terhadap produk-produk di bawah merek dagang Alpha Canis Majoris. Salah satu yang selalu ia lakukan setiap hari adalah kembali membuat formula parfum, meski tak satu pun yang terasa benar. Setiap botol yang ia isi terasa seperti botol kosong tanpa aroma. Setiap catatan parfum tidak memiliki harmoni. Meski itu hanya penilaian butanya. Dan setiap malam, ia membuka pesan terakhir mereka. “Oke. Hanya secangkir teh dan berikan parfum itu padaku.” Ia ingin tertawa karena getir, namun selalu berakhir dengan air mata yang menitik pelan. Sendirian di unitnya, ia menatap langit-langit, berusaha percaya bahwa Helia akan bangun. Meski kabar yang diterimanya setiap beberapa hari dari kenalan tenaga medis Gyan selalu sama: “Pasien masih di ICU, Monsieur.” “Ia belum sadar.” “Belum ada perubahan.” *** Januari — Bulan Kedua Di Paris dan Versailles, salju turun setiap hari. Seprai putih itu menyelimuti kota, namun tak ada yang terasa indah bagi siapa pun yang terhubung dengan Helia. Rumah sakit akhirnya memindahkan Helia dari ICU ke ruang intensif lanjutan, namun itu bukan perkembangan berarti. Alat bantu napas masih terpasang. Matanya tetap tertutup rapat. Tangan kirinya sedikit membiru karena infus yang terlalu sering berpindah titik. Arani menerima kabar itu dari rumah sakit, lalu menahan tangis di sudut ruang rapat. Ia memberi laporan keuangan ke ayahnya sambil merasakan tubuhnya remuk karena dua perang sedang ia hadapi: perang melawan kehancuran perusahaan, dan perang melawan kehilangan adiknya. Munik semakin dekat dengan Gavin. Yudi semakin menganggap Gavin sebagai penyelamat. Dan Arani semakin ingin menjerit tiap kali nama itu disebut. Di Jakarta, Bintang mulai menata ulang workshop parfumnya, memberi satu rak khusus untuk produk-produk mass-market brand atau merek turunan dengan produk yang menargetkan lebih banyak pengguna dan dengan harga yang lebih kompetitif dari merek utama. Ia bekerja siang-malam, bukan karena terlalu bersemangat, namun karena wangi parfum adalah satu-satunya hal yang mengingatkan dan mengikatnya pada Izora. Kadang ia meneteskan formula baru di smelling strip, menghidunya perlahan, lalu menunggu. Menunggu sesuatu muncul. Senyum Helia. Tawa lirihnya. Wangi rambutnya yang ia pernah cium sekilas saat gadis itu mendekat melihat dua formula yang ia bawa. Tapi tak ada. Yang ada hanya ruangan sunyi dan dirinya sendiri. *** Februari — Bulan Ketiga Cuaca mulai menghangat di Eropa, namun rasa dingin yang menempel di orang-orang yang mencintai Helia masih sama. Bulan ini adalah bulan operasi besar kedua. Operasi rekonstruksi tambahan untuk bagian wajah yang retak. Penyesuaian tulang di sisi kiri. Pembersihan jaringan yang rusak. Arani menerima kabar itu dari dokter via email dan langsung mundur beberapa langkah dari meja kerjanya. Ia merosot ke lantai, membungkam mulut dengan tangan agar seluruh kantor tidak mendengar. Di rumah sakit, dokter yang mengabari itu menambahkan: “Mademoiselle tetap stabil selama operasi.” “Tidak ada komplikasi besar.” “Tetapi masih koma.” Stabil. Kata itu seperti belati berlapis beludru. Tidak buruk, tapi tidak juga baik. Di Jakarta, Bintang semakin jarang bicara pada orang-orang. Rekan timnya mencoba bercanda, namun ia hanya tersenyum kecil. Ia bekerja sambil menatap ponselnya tiap beberapa menit, menunggu update. Kadang ia duduk di depan jendela workshop, menatap hujan, dan bergumam... “Bangun, Izora… aku nunggu kamu…” Sayangnya, tak juga ada balasan. *** Maret — Bulan Keempat Rumah sakit akhirnya memindahkan Helia ke bangsal rawat inap biasa. Mesin bantu napas dicabut. Ia bernapas sendiri, meski lemah sekali. Perawat memberi kabar: “Kondisinya stabil.” “Masih belum bangun.” “Tetapi membaik.” Arani sempat menahan napas mendengar kabar itu. Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, lututnya tak goyah saat mendengar kabar. Ia mulai mencatat setiap update ke dalam satu buku kecil. Halaman pertama bertuliskan: AKU AKAN SELALU MENJAGA KAMU, DEK. SELALU. Di Jakarta, Bintang juga mulai menerima kabar itu. Ia berdiri kaku di tengah workshop parfum, botol-botol kaca di sekelilingnya. “Bangsal rawat…?” Nada suaranya sedikit naik. “Dia makin stabil, Monsieur.” Hari itu, Bintang tetap di workshop sampai toko tutup, kemudian duduk sendirian sambil menatap foto Helia yang masih mengisi layar ponselnya. Ia tersenyum. Simpul. Tipis. Namun untuk pertama kalinya dalam empat bulan… itu senyum terhangat. *** April — Bulan Kelima Keajaiban itu datang, meski begitu perlahan. Tidak langsung bangun. Hanya… Jari yang bergerak. Kelopak mata yang bergetar. Napas yang berubah ritmenya. Arani menerima kabar itu saat sedang mengecek laporan ekspor. Ia terdiam. Satu tetes air mata jatuh, disusul yang lain. “Helia…?” Di ujung telepon, dokter tersenyum. “Sepertinya… ia sedang berusaha kembali.” Dan pada pagi paling aneh dalam hidup Bintang—di tengah aroma jasmine dan sandalwood yang memenuhi workshop—ponselnya berdering lebih dulu. Nomor Prancis. “Monsieur…” Jantung Bintang berdegup kencang, tangannya mengepal erat. “Mademoiselle Janitra bergerak.” Tangan Bintang melemah, vial parfum di tangannya jatuh, mengetuk ujung sepatunya, lalu menggelinding di lantai. Ia menutup wajahnya, terisak pelan. “Apa Anda yakin?” “Tentu, Monsieur,” jawab perawat di seberang sana. *** Beberapa hari kemudian. Di Versailles, pagi cerah menyinari tirai ruang rawat Helia. Kelopak matanya terbuka. Perlahan. Berat. Namun... dunia yang ia lihat bukan dunia yang ia ingat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD