Dua hari kemudian.
“Kita akan pulang setelah kondisi kamu kuat untuk penerbangan jarak jauh,” ujar Yudi—ayah Arani dan Helia. Ekspresi pria itu tampak lelah, nyata sebagai hasil dari tekanan berat yang tengah ia hadapi.
“Terus, Helia gimana, Pi?” balas Arani.
“Ada yang akan memantau keadaannya. Papi dan Mami juga akan gantian menjenguknya. Saat ini kondisi adikmu benar-benar belum bisa dipastikan—“
Arani memotong penjelasan itu. “Ada yang akan memantau? Siapa, Pi?”
“Fabian.”
“Fabian?”
Yudi mengangguk, sementara Munik—istrinya—tak mengatakan apa pun sejak tadi.
“Papi ngga salah? Kalau Papi harus pulang, kan bisa Mami yang nemanin Helia di sini. Atau aku aja. Aku bisa cari kerja—“
“Kita bertiga pulang!” Akhirnya Munik bicara, tegas. “Kita tidak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaan.”
“Mi! Helia masih koma dan Mami malah mikirin perusahaan?” ujar Arani, suaranya nyaris meninggi.
“Kamu pikir kalau perusahaan kolaps, pengobatan adikmu bisa ditanggulangi?” balas Munik.
“Tapi—“
“Cukup!” lerai Yudi. “Mamimu benar, kita bertiga harus pulang.”
Arani menatap ayahnya lama, dadanya naik turun menahan emosi.
Ia ingin marah.
Ingin berteriak.
Ingin mengatakan bahwa tidak ada satu pun hal di dunia ini yang lebih penting daripada Helia yang sedang berjuang untuk hidupnya.
Namun sebelum ia sempat memprotes, ponsel Yudi berdering. Ayah Arani memberi jarak lebih, mengangkat panggilan itu. Ekspresinya frustasi, seolah tengah mendapati putusan mati.
“Perusahaan di ujung tanduk, Nak,” lirih Munik.
Arani menatap kosong. ‘Tidak! Jangan sekarang!’
“Investor besar kita menarik dananya,” lanjut sang ibu.
Ruangan seolah menghimpit.
“Semuanya terjadi bertubi-tubi. Bahkan sepertinya Mami Papi ngga sempat bernapas, ngga ada waktu untuk mencerna.”
“A-apa alasan m-mereka, Mi?” balas Arani, terbata-bata.
“Mereka ngga yakin dengan rencana ekspansi kita.”
“Tiba-tiba aja? Setelah sebelumnya mereka oke dan kita mulai?”
“Merena menarik dana sesuai perjanjian—“
“Tapi ngga mungkin cukup karena ekspansi sudah mulai jalan, distribusi awal sudah dikirim, Mi.”
“Itu sebabnya kita harus pulang. Sebelum proses pengembalian dana dilakukan. Kita harus melakukan sesuatu, karena semua rantai distribusi bakal macet. Komitmen dengan partner lokal juga akan dianggap wanprestasi.”
Arani menutup mulutnya yang menganga. “Ya Allah…”
“Keuangan kita sedang goyang,” timpal Yudi yang kembali mendekati istri dan putri sulungnya. “Saham sempat turun drastis kemarin. Media juga mulai berspekulasi. Kalau bukan karena bantuan Gavin, paling lama tiga bulan lagi kita pasti kolaps.”
Arani membelalak. “Gavin, Pi?”
Yudi mengangguk.
“Helia membuat masalah. Dia memutuskan pertunangan tiba-tiba,” ujar Munik lagi. “Syukurlah Gavin tetap mau membantu kita.”
Hening.
Seolah seluruh oksigen di ruangan tersedot habis.
Yudi mencengkeram batas tempat tidur, menunduk, menghela napas panjang. “Apa yang ada di kepala Helia sampai memutuskan pertunangan? Apa adikmu pikir laki-laki sebaik itu masih banyak di dunia ini?”
Arani kelu.
‘Laki-laki baik?’
“Dia bisa saja meninggalkan kita karena sakit hati. Tapi dia ngga memilih itu,” timpal Munik, disahuti anggukan oleh Yudi.
‘Apa aku sedang bermimpi buruk?’
‘Gavin baik?’
Arani menggeleng pelan.
Bagaimana mungkin ia bisa menerima penilaian itu? Sementara Gavin adalah pria yang menampar Helia hingga bibirnya pecah dan wajahnya lebam, yang membuat Helia lari sambil menangis histeris, yang jadi dalang pengejaran mereka di jalanan gelap hingga kecelakaan terjadi. Arani bukan menuduh, tapi semua tragedi ini benar-benar mengarah ke Gavin.
“Gavin memang selalu peduli dengan keluarga kita,” timpal Yudi. “Aku benar-benar malu dengan kelakuan Helia.”
Arani hampir tersedak napasnya sendiri. “Memangnya Helia melakukan apa sampai membuat Papi malu?”
“Arani!” Munik memperingatkannya.
“Helia masih koma, lho Mi, Pi. Dan Papi tega bilang Helia bikin malu?” Arani tetap tak terima.
“Mereka sudah bertunangan, lalu adikmu memutus begitu saja. Gimana mungkin Papi dan Mami ngga malu?” balas Yudi.
“Apa Mami Papi pernah terbersit kalau justru Gavin yang mencelakakan kami? Berhubung sakit hati dengan Helia? Karena Helia tau dia bajing4n!”
“Jaga mulutmu Arani!” hentak Yudi.
“Ngga mungkin Gavin begitu, Arani. Pasti adikmu yang salah. Kita sekeluarga saja bingung dengan cara berpikirnya, apalagi Gavin! Kalau Gavin melakukan hal buruk, ngga mungkin dia menangis sesedih itu waktu tau kondisi Helia. Dan ngga mungkin dia langsung menyuntikkan dana saat tau investor kita memilih pergi,” tambah Munik.
“Justru itu, Mi—“
“Diam kamu!” Yudi nyaris membentaknya.
Arani kelu, air matanya menitik begitu saja.
Munik mengelus lengan suaminya. “Daripada kamu melantur, lebih baik cepat pulihkan tubuhmu supaya kita bisa segera pulang!” tegasnya kemudian ke Arani. “Berhenti menuduh dan berasumsi tanpa bukti seolah kamu bisa menyelamatkan kita dari kekacauan ini.”
Arani membeku.
Pernyataan kedua orangtuanya menusuk lebih tajam daripada luka di tubuh Arani.
Jadi begitu.
Bahkan ketika Helia terbaring koma, tulang wajah retak, wajah dan kepalanya robek…
tunangan yang berkhianat dan memukulnya masih dianggap pahlawan keluarga.
Arani melihat semuanya dengan jelas sekarang... orangtuanya hidup dalam sungai aliran perusahaan. Seluruh keputusan mereka dibangun oleh rasa takut kehilangan stabilitas. Dan Gavin — dengan keahliannya menipu dan mengambil alih kendali — menjadi penyelamat yang mereka butuhkan untuk menutupi ketakutan itu.
“Apa Dokter bisa memastikan kapan aku boleh keluar dari rumah sakit?” tanya Arani akhirnya.
“Besok pagi mereka akan memeriksa kamu lagi,” jawab Munik. “Tapi sejauh ini, pemulihanmu bagus. Setelah dokter melakukan pemeriksaan akhir besok, jika hasilnya baik, kamu boleh pulang.”
Arani menunduk, menatap jemarinya sendiri.
Tidak bicara.
Tidak membantah.
Dalam diam ia sampai di satu kesimpulan; Helia tak punya siapa pun di dunia ini selain dirinya.
Orangtua mereka terbelenggu oleh perusahaan. Gavin memegang tali manipulasi.
Arani mengepalkan tangannya di atas selimut.
‘Kakak ngga akan biarin dia atau siapa pun nyakitin kamu lagi, Dek… ngga akan!’ Yudi dan Munik tak mendengar tekad itu, namun gemanya menguasai pikiran dan hati Arani. ‘Apa pun caranya. Berapa pun harganya.’
***
Malam mulai turun saat seorang pemuda berdiri di depan ruang ICU rumah sakit.
Bintang.
Lima hari sudah berlalu sejak malam kecelakaan, dan ia selalu kembali ke rumah sakit setiap hari.
Ia datang setelah merampungkan urusan persiapan kelulusannya,. Terkadang tak mandi dengan benar karena terburu-buru. Jaketnya selalu membawa aroma early winter. Rambutnya tak lagi sempat ia rapikan—selalu acak-acakan, Matanya sembab karena tak bisa tidur dengan tenang. Wajahnya pun kuyu meski ia berusaha menutupinya dengan masker.
Bintang berdiri beberapa meter dari pintu ICU. Tak menyentuh gagang pintu. Tidak mencoba masuk.
Ia hanya… diam, nyaris mematung, menatap nama yang tertera di layar LCD.
Janitra, Helia Izora.
“Bagaimana kabarmu hari ini, Izora…?” bisik Bintang, nyaris tak terdengar di lorong sepi.
Ia sungguh mengharapkan jawaban. Ia sungguh berharap Helia pulih meski perlahan. Ia ingin dekat, sangat dekat.
Beberapa perawat melewatinya, mereka mulai mengenal gesture-nya. Namun tak ada yang mengajaknya bicara, tak pula menyapanya.
Sementara itu, Bintang hanya diam, meski ia begitu ingin mengetahui kondisi Helia. Ia sangat tau, kondisi medis seorang pasien adalah rahasia yang tak bisa diungkap seenaknya. Bintang sadar, ia bukan siapa-siapa bagi Helia. Ia harus merasa cukup dengan melihat nama Helia yang masih terpampang di layar, karena itu berarti Helia masih berjuang untuk membuka mata kembali.
“Bonne nuit, Izora,” ujarnya lirih. “Aku pulang dulu… sampai besok lagi.”
Ia berbalik perlahan, melangkah melewati lorong panjang, dan suara langkah kakinya terdengar seperti patahan hati yang diulang-ulang.
Sebelum keluar dari koridor, ia menatap ponselnya sejenak. Foto Helia—yang ia crop dari gambar dirinya, Helia, juga Aimeé di tea house—muncul di lockscreen. Senyumnya cerah meski lipstiknya mulai luntur, parasnya pun cantik dan memenangkan walau kunciran rambutnya sedikit berantakan.
Bintang terpaku pada layar itu.
“Aku minta maaf, Izora. Sekalipun kamu tak menyalahkan aku, aku tetap menyesali keadaan kamu. Bangunlah. Tersenyumlah lagi.” Bisikan itu pecah sebelum ia sempat menghela napas. Bintang menyeka air matanya, lalu ia pergi—membawa langkahnya yang terasa seperti menyeret seluruh beban dunia.