Part. 2 Debar-debar

1162 Words
Malam harinya melati merasakan kehausan ia mengambil botol mineral yang tadi sore ia ambil dari dapur, ternyata hanya sisa satu teguk saja melati kemudian berdiri dan berjalan untuk mengambil minum ia keluar kamarnya ia menyalakan lampu tengah namun ia kaget ada Bian. ia hendak menyalakan lampu. Melati langsung berbalik ia kembali lagi ke kamarnya dan menutup kamar sangat kencang, Bian terperangah kaget mendengar dentuman suara pintu kamar melati. Setelah Bian mengambil air mineral ia kembali lagi ke kamarnya. “Pernikahan ini tidak semestinya terjadi, kenapa harus menerima perjodohan ini kenapa harus menikah tanpa cinta.” Bian terus saja meruntuki hatinya yang masih tidak terima dengan perjodohan ini, andai saja boleh memilih ia pasti akan menolak hanya karena orangtua yang amat ia sayangi dan juga ia merupakan anak kesayangan harus menerima perjodohan ini. Melati mengunci kamarnya, ia bersandar di pintu ia melemaskan kakinya untuk duduk dibalik pintu ia teringat lima bulan yang lalu perlakuan Bian pada dirinya, andai ia bisa memilih ia tidak akan menerima perjodohan ini dan andai ia tahu pernikahan ini hanya akan membuat dirinya sakit hati ia lebih baik menolak. flas back* melati mengetuk pintu kamar Bian "Mau apa?" Tanya Bian "Aku mau mengambil pakaian yang kotor." "Tidak perlu kamu repot-repot mencuci pakaian, memasak, membereskan kamar saya menyediakan makan, karena saya tidak mau melihat wajah kamu, apalagi suara kamu tidak ingin, saya akan mencukupi semua kebutuhan kamu namun tidak untuk melayaniku, kalo bisa saya ingin kita berjauhan meski dalam satu rumah, saya tidak akan pernah tertarik denganmu tidak akan pernah." ucap Bian "Mana mungkin aku seorang istri tidak melayani suami, walau hanya sekedar memasak, aku tidak menginginkan lebih dari itu mas, aku hanya menunaikan tugasku sebagai seorang istri, dan kalo memang itu keinginan mas aku akan menerimanya dan aku juga tidak akan menerima uang sepeserpun dari mas." Melati berbalik dengan menahan air matanya yang sudah tidak tertahan *flash back off* Tanpa melati sadari air matanya menetes di pipi, sakit memang hatinya terasa sakit jika terus mengingat pernikahannya entah sampai kapan pernikahan ini berjalan seperti ini. Melati tidak sadar dirinya tertidur di lantai dekat dengan pintu kamarnya ia baru sadar dirinya merasakan dingin, ia langsung mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Seperti biasa ia membuat bekal untuk dirinya sendiri baru lah ia berangkat kerja berjalan kaki meski terkadang suaminya melintasi Melati yang berjalan kaki suaminya tidak pernah mau tahu. Sore harinya melati pulang bekerja seperti biasa ia berjalan kaki, titik hujan jatuh ia menengadahkan tangannya ia merasakan ada titik air yang jatuh dari atas semakin lama semakin deras ia berlari mencari tempat berteduh, sampai akhirnya ia menemukan tempat berteduh melati memeluk tubuhnya sendiri merasakan dingin di tubuh, bajunya sedikit basah, tiba-tiba ada pria yang menegur dirinya "Hai, kamu melati kan?" Tanya pria itu melati mengangguk "Iya, loh kak Angga." Pria tersebut tersenyum "Apa kabar Mel?" "Baik kak, Alhamdulillah." "Kamu dari mana Mel sampai kehujanan gini?" "Aku habis bekerja ka kebetulan rumah aku dekat dari sini," Setelah hujan reda akhirnya mereka memutuskan berpisah "Aku duluan ya Mel apa perlu aku antar?" "Tidak usah ka terimakasih." "Oke. duluan ya." Melati mengangguk, ia melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba ia teringat saudara angkatnya Saskia, dibanding dirinya Saskia lebih dari segalanya ia beruntung menikah dengan pria yang sama-sama mencintai, saskia menikah dengan Raffi, meski jarak usia jauh lebih tua 7 tahun dari Saskia, mereka hidup bahagia. Sedih dirasakan melati namun ia tidak lupa bersyukur itulah kunci untuk menyenangkan diri sendiri. Sedang asik melamun sambil berjalan ada mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi sehingga mobil yang dikendarainya tidak melihat ada lubang yang berisi air mengenai melati. "Astaghfirullah, kalo bawa mobil hati-hati dong!" Melati melihat mobil yang di kendarai seperti milik suaminya. namun melati tidak menghiraukan, pakaiannya basah dan kotor, ia berusaha mengelap kotoran yang ada dipakaiannya. Melati membuka pintu pagar namun tidak dikunci oleh suaminya. "Kok enggak dikunci lagi, dasar ceroboh." Gerutu Melati ia mengambil kunci pintu rumah dan ia membuka namun kunci yang di dalam tidak dicabut oleh suaminya melati takut dan sudah membayangkan bagaimana kalo dirinya tidak bisa masuk, ia membuka handel pintu namun pintunya terbuka. "Ceroboh." Ia mengunci pintu dan mencabutnya ia simpan di paku dia atas lemari buku. melati hendak masuk namun pintu kamar suaminya terbuka ia melihat suaminya terbaring. Melat tidak memperdulikan lalu ia masuk kekamar untuk mengganti pakaiannya setelah selesai mengganti pakaian, melati hendak ke dapur namun ia melihat suaminya seperti orang yang sedang kedinginan meringkuk di selimut tebal milik suaminya, melati ragu ia ingin masuk namun dalam benaknya pasti akan ada penolakan ia maju mundur tapi dia juga merasa kasihan, khawatir terjadi sesuatu pada suaminya, akhirnya ia masuk. "Mas enggak apa-apa?" Tanya melati "Enggak, pergi sana!" Bian mengusir melati sakit memang tapi ia berfikir ini ibadah. Melati mengambil kain untuk mengompres suaminya awalnya menolak, melati memberikan obat penurun demam dan air mineral, diletakannya di atas meja. "Minum dulu obatnya kalo sudah turun demamnya mas bisa usir aku lagi." Kali ini Bian menurut mungkin karena efek demam tinggi. Setelah meminum obatnya ia tertidur barulah melati mengompres Bian ia meletakan kain di kening Bian setelah dirasa sudah turun demamnya melati pergi ke dapur untuk membuatkan bubur ayam. Setelah matang ia membawa semangkuk bubur ayam ke kamar Bian dan melati meletakkannya di atas meja, setelah mengecek kening suaminya yang dirasa demamnya sudah turun barulah melati meninggalkan Bian. Pagi harinya seperti biasa, ia memasak untuk dirinya namun ia teringat suaminya yang sedang sakit, ia menyisakan makanan untuk suaminya ia menuliskan surat diatas meja. "Makanlah jika lapar.” Melati pergi bekerja, tubuh Bian merasa segar tidak seperti kemarin Bian hendak ke dapur mengambil air mineral ia melihat selembar kertas putih bertuliskan, "Makanlah jika lapar." Bian tidak menggubris surat itu namun perutnya tidak dapat kompromi ia merasakan lapar seperti sudah seharian belum makan ia memakan masakan Melati diambilnya piring dan ia sendokan ke dalam piring baru satu suap saja mulut Bian merasakan nikmat masakan melati. Baru kali ini ia merasakan masakan melati rasanya enak mirip dengan masakan ibunya. "Enak," gumam Bian ia berfikir untuk meminta melati memasak makanan untuk dirinya, ia merogoh saku celananya dibukanya dompet serta ia ambil beberapa lembar uang berwarna merah dari dompetnya, ia meninggalkan uang di atas lemari es dan meninggalkan secarik kertas. “Pakai uang ini, mulai sekarang buatkan aku makanan tiap hari.” Melati pulang sore hari ia melihat ada kertas diatas lemari es ia membaca dan ia menemukan uang dibawahnya ia tidak mengambil uang sepeserpun diletakkannya lagi kertas tersebut ia cukup senang suaminya menyukai masakannya. Melati mendengar mobil yang terparkir di garasi rumah ia hendak pergi namun Bian terlebih dahulu melihat Melati. "Bersiaplah kita berangkat ke rumah mamah.” Melati terkejut namun ia mengangguk tanpa sepatah katapun ia terus menunduk tidak pernah mendongakkan wajahnya pada Bian. Suaminya melihat uang di atas lemari es masih utuh namun ia juga tidak menghiraukan ia langsung menuju kamarnya untuk bersiap kerumah orangtuanya. Beruntung Melati sudah meminta ijin pada Bunda Ai, namun ia tidak mengabari kapan ia akan ijin, “Aku akan menghubungi Bunda Ai terlebih dahulu, baru aku siap-siap.” Melati pergi meninggalkan Bian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD