* Kematian *

1030 Words
LANGKAH kaki yang sebelumnya berlari, mendadak melambat. Annastasya menghentikan langkahnya setelah kedua mata biru yang redup itu berkeliling. Suasana sepi yang biasa menyelimuti bangunan luas berlantai dua milik sang kakek tiba-tiba dipenuhi oleh keramaian yang asing. Orang-orang dengan jas mewah didominasi oleh warna hitam menjadi pemandangan yang berbeda di mata Annastasya. Satu persatu mata mereka beralih, memandang Annastasya yang terus berjalan dengan gaun hitam pendeknya. Entah kebetulan atau sudah menjadi firasat, pakaian yang digunakan oleh gadis itu mendadak senada dengan suasana. Wajah-wajah itu menampilkan kesedihan dan keprihatinan. Membuat mata yang sebelumnya sudah berkaca-kaca, tak mampu menahan air mata lebih lama. Annastasya mulai menangis, penggalan kenangan manis yang ditinggalkan sang kakek hanya membuat hatinya semakin teriris. Kematian, sesuatu yang tak pernah dibayangkan Annastasya akan datang menjemput sang kakek secepat ini. Mata birunya menyapu sekeliling begitu kedua kakinya berhasil masuk ke bagian dalam rumah. Banyak orang memenuhi bagian dalam rumah. Para pekerja yang setia melayani sang kakek tampak sibuk memberikan minuman untuk tamu-tamu itu. Keramaian ini mengingatkan Annastasya pada perayaan hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Sang kakek membuatkan pesta istimewa. Hanya bedanya, kali ini mereka datang untuk berbela sungkawa dan menyampaikan duka cita, bukan untuk bersenang-senang ataupun menikmati pesta. "Annastasya!" Suara itu memecah lamunan sang pemilik nama. Dan begitu Annastasya berbalik, mencoba mencari sumber suara, seseorang telah berhambur ke dalam pelukannya. Ia menyembunyikan wajahnya di sela-sela leher gadis itu dan mulai menangis. "Kakek ... dia meninggalkan kita." Namun alih-alih memberikan pelukan yang sama untuk pria muda di hadapannya, Annastasya justru memilih memberi jarak. Ia mendorong tubuh Jose, sang adik, menjauh untuk kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Gadis itu berlari, kemudian menaiki satu demi satu anak tangga di depannya. Hingga akhirnya ia sampai di puncak tangga dan menemukan Mr. Joe berdiri dengan wajah sedih. "Nona." Annastasya memilih mengabaikan pria yang sudah bekerja belasan tahun dengan sang kakek dan menerobos kesedihan yang ditampilkan oleh pria itu. Menuju sebuah pintu yang kali ini terbuka secara lebar. Langkahnya melambat kembali ketika tubuhnya mulai memasuki kamar. Keluarga sudah mengelilingi tubuh sang kakek yang sedang tertidur. Hanya saja, ranjang empuk yang biasa ditempati Annastasya saat dirinya masih kecil, telah berganti menjadi peti kayu yang siap ditutup untuk selama-lamanya. Annastasya mendekat dan melihat ke dalam peti. Wajah Tony Hollow Marves yang biasanya akan terlihat sumringah jika menggunakan jas hitam kesukaannya itu, kali ini justru terlihat pucat. Annastasya tak bisa lagi menemukan senyum lembut di sudut bibir abu-abu milik sang kakek. Dan tangisnya pun pecah kembali. "Tidak!" *** Acara pemakaman pun selesai dilakukan setelah semalaman jasad sang kakek berada di rumah. Para kolega kerja, klien, pengusaha-pengusaha mitra dan teman Tony Hollow Marves mendominasi prosesi penguburan. Pihak keluarga sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing setelah pemakaman selesai. Mr. Joe terpaksa sibuk menjadwalkan ulang agenda-agenda pekerjaan milik atasannya karena sebuah kematian yang mendadak. Greg McWill Marves dan Emma Parker sebagai anak tertua sekaligus penerus perusahaan Tony Hollow Marves sibuk memberi klarifikasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh media. Sedangkan Maribeth Marves dan Alan Chou yang merupakan anak serta menantu Tony Hollow Marves tampak berbincang-bincang dengan beberapa kolega kerja sang ayah. Sedikit banyak mereka berniat untuk menyampaikan duka cita, meski di dalam percakapan tersebut, sesekali terselip harapan-harapan untuk kelanjutan kerja sama perusahaan. Sementara itu, Annastasya Marves dan adiknya, Jose Gillian Marves masih berdiri di depan makam sang kakek. Tanah basah dengan papan nisan yang masih berwarna putih bersih itu telah menjadi tempat peristirahatan terakhir orang yang mereka berdua cintai. Meski sang kakek mungkin saja telah mendapatkan kedamaian di sana, mata Annastasya masih tak bisa berhenti untuk menangisinya. Kepergian sang kakek yang tiba-tiba, seperti peluru yang dihujam jauh ke dalam jantungnya. Menyisakan sesak berkepanjangan, tanpa tahu adakah celah untuk gadis itu melupakan rasa kehilangan. Jose hanya bisa berdiri di sana dan menguatkan sang kakak. Semua orang tahu bahwa Annastasya adalah anggota keluarga yang paling dekat dengan Tony. Mereka menyebut Annastasya sebagai cucu kesayangan. Meski sebenarnya, Tony juga memperhatikan masa depan Jose. Jose pun tak merasa sang kakak adalah saingannya. Ia justru bersyukur karena memiliki seorang kakek yang begitu adil dan bijaksana. "Annastasya," panggil Jose dengan ragu-ragu. Awalnya pria muda itu berpikir bahwa sang kakak mungkin tak akan menggubrisnya, tetapi dugaannya salah. Kini Annastasya menoleh, menatap kedua matanya dari balik kacamata hitam itu. "Kau sudah banyak menangis sejak kematian kakek. Bagaimana jika kuantar kau pulang?" Namun belum sempat gadis itu menjawabnya, kemunculan sosok pria asing justru berhasil mengalihkan atensi Annastasya. Wajah itu tak pernah ditemui sebelumnya, bahkan dari sekian banyak wajah yang dikenal gadis itu sebagai seorang kolega bisnis sang kakek, ia yakin sekali pria itu bukan salah satunya. Pria itu berdeham ketika langkahnya sampai di depan Annastasya dan Jose. Membuat rasa penasaran di d**a Annastasya semakin membesar. "Aku turut berduka cita atas kepergian Mr. Marves," katanya dengan sopan. Yang sontak membuat Jose ikut melihatnya. Namun mata kecokelatan itu hanya tertuju kepada Annastasya. Dan netra biru yang bersembunyi di balik kacamata hitam milik Annastasya pun menyadari itu. "Oh, terima kasih," timpal Jose. Ia kemudian bertanya, "Apakah kau adalah salah satu kolega bisnis kakek, Mr?" "Blake." Pria itu melihat Jose, lalu kembali ke Annastasya. "Kevin Blake." "Terima kasih sudah datang, Mr. Blake." Mr. Joe yang baru saja selesai dengan kesibukannya pun segera menghampiri Annastasya, Jose dan Kevin. Ia kemudian dengan sopan menyela pembicaraan orang-orang itu. "Kalian sudah bertemu?" Annastasya dan Jose langsung melihat pria dengan jas hitamnya tersebut. "Nona Marves, perkenalkan, Kevin Blake." "Ya, dia sudah memperkenalkan dirinya," timpal Annastasya singkat. Ekspresi takjub tercetak di wajah Mr. Joe. Ia kemudian tersenyum lega dan melanjutkan, "Omong-omong terima kasih karena kau sudah jauh-jauh datang untuk menghadiri pemakaman Mr. Marves." "Dia sudah seperti ayahku sendiri," kata Kevin diplomatis. "Dan ... kau pasti datang ke mari untuk memenuhi permintaannya yang terakhir, bukan?" Kevin menganggukkan kepalanya. Membuat Annastasya dan Jose yang sedari tadi mendengarkan percakapan itu hanya semakin tak mengerti. "Nona Marves, pria ini datang untuk menemuimu." Kedua alis Annastasya mengernyit. Ia pun melirik Kevin yang tak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari gadis itu, sebelum kembali pada Mr. Joe dan balik bertanya, "Apakah kalian sedang membicarakan bisnis?" "Tidak, Nona. Ini-" "Aku datang untuk memenuhi permintaan Mr. Marves." Annastasya melambatkan nada bicaranya, saat akhirnya bertanya, "Dan ... apakah permintaan kakekku itu kalau aku boleh tahu, Mr. Blake?" "Menikahi cucu perempuan kesayangannya, Annastasya Marves."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD