Gadis pintar

1050 Words
Jam makan siang telah berakhir, Kiara dan teman barunya kembali ke lantai 8, tempat mereka bekerja, lebih tepatnya Zahra yang kembali bekerja. Sebab Kiara sendiri belum tau setelah ini apa lagi yang harus dikerjakan. Sesampainya di ruangan, Kiara duduk termenung, memikirkan seseorang yang baru saja ia lihat di kantin. "Bagaimana kalau dia tau, aku disini," ucap Kiara dalam benaknya. Ia belum siap kalau harus bertemu Wira untuk saat ini, bisa saja orang itu membuat Kiara dikeluarkan dari kantor. Kiara berharap Wira tidak tahu atau bahkan tidak mengenali Kiara. tuk... tuk.... tuk Suara heels yang beradu dengan lantai membuyarkan lamunan Kiara, gadis itu menoleh ke belakang, terlihat Risa sedang berjalan mendekat ke arahnya, dengan membawa tab dan Tumbler di tangan kirinya. "Kia, meeting di majuin kita langsung ke meeting room aja di lantai 10. Kamu tolong bawa itu ya!" tunjuk Risa pada sebuah tas yang berisi dokumen kerja, lalu berjalan menuju lift. "Baik, Mbak Ris," saut Kiara patuh, semabari mengambil tas yang di minta Rissa. Ya Ampun, belum juga di ajarin apa-apa udah di ajak meeting. gerutu Kia yang merasa gugup sebab ikut meeting di hari pertamanya bekerja. Sesampainya di meeting room, mata Kiara disuguhkan pemandangan gedung-gedung tinggi yang terlihat jelas dari jendela besar di ruangan ini. Oh, tak ketinggalan pemandangan lalu lintas kota yang tentunya masih padat, terlihat seperti miniatur. Indah. Kiara mengedarkan kembali pandanganya pada setiap sudut ruangan, dan sungguh ia mengagumi design mewah tempat ini. Kiara tidak menyangka bahwa ia akan bekerja di perusahaan besar seperti ini, meeting di ruangan mewah seperti yang ada di filem-filem. Bermimpikah, ia? "Aww...." Kiara mencubit lengannya sendiri, meyakinkan bahwa ini bukan mimpi, ini nyata, ia ada di sini, berdiri di lantai 10 gedung megah ini. Kiara ingat, dulu almarhum Papahnya pernah membawa Kiara ke kantor saat peresmian cabang baru. Kebetulan saat itu, bertepatan dengan kegiatan sekolah adik kembarannya, sehingga Ibunya tidak ikut, dan mengijinkan Kiara menemani Papah tercintanya itu. Saat itulah Kiara mulai bercita-cita, jika ia akan bekerja di atas gedung seperti kantor Papahnya dulu, dan sekarang semua menjadi nyata. Pah, Kia udah disini. Ditempat seharusnya Papah berada, seandainya kecelakaan itu tidak terjadi. Ya, seharusnya keluarga Kiara berpindah ke ibukota karna Pak Hermawan-Papah Kiara dipindahkan ke kantor pusat, kantor tempat dimana Kiara bekerja saat ini. Kiara masih termenung meresapi semua ingatanya, hingga suara panggilan Risa menyadarkannya dari lamunan. "Kia, sini." Risa geleng-geleng kepala, 'orang kampung' mungkin itu yang ada di benak Risa saat melihat tingkah Kiara. Tentu saja, di kampung Kia dulu mana ada pemandangan seperti ini, hanya ada sawah, ladang dan danau, walau begitu Kia pun sangat menyukai suasana di kampungnya yang masih asri. Ahh, ia rindu suasana kampungnya, namun tidak dengan orang-orangnya. "Eh, iya, Mbak, maaf," jawab Kiara, malu-malu sembari melangkahkan kaki menuju kursi di dekat Risa. "Kamu nggak perlu bingung, nanti kalo ada yang nggak ngerti tanya. Kalo ada yang mau di sampaikan bilang saja, nggak apa-apa. Bos kita baik kok, dia open dengan masukan dari bawahannya," jelas Risa, dengan tangan yang sibuk dengan gadget keluaran terbaru. "Oh, gitu ya Mbak, baik Mbak makasih," ucap Kia, memberikan senyum tulus, meski bagaimana pun, Kia akan bekerja di bawah bimbingan Risa, jadi harus memahami sifat Risa dan menyesuaikan agar semua bisa berjalan dengan baik. Tak berapa lama, para atasan memasuki ruang meeting. Tubuh Kiara menegang, saat melihat sosok yang baru saja duduk di hadapnnya. Ya, itu dia, lelaki paruh baya yang tak sengaja ia lihat di kantin. Kiara mencoba tenang dan terlihat biasa saja, meski hatinya bedebar tak menentu, apalagi saat Wira menatapnya dari kejauhan. Apa dia mengenali ku? oh tidak, tolong jangan sekarang. Satu jam berlalu, rapat pun selesai, setelah para atasan keluar, Risa dan Kiara pun beranjak dari tempat duduknya. Risa memuji cara kerja Kiara yang cepat beradaptasi dan memahami program mereka bahkan bisa membuatnya menjadi lebih sempurna. "Risa, berarti nanti kamu bisa langsung koordinasi sama Kia aja ya, dia udah bisa mulai ikutan project, nanti Kia kalau ada yang tidak paham bisa tanya Risa atau saya langsung," titah pak Ari, saat hendak keluar dari meeting room. "Baik, Pak Ari. Terima kasih!" jawab Kia sembari tersenyum ramah. "Sama-sama, tunjukan kalo kamu layak jalan bareng kita," ucap Pak Ari. "Kia, kalo begitu kamu bareng aku dulu. Besok baru aku mintain meja buat kamu, biar nggak jauh, karna harusnya ruangan kamu di lantai 7 sama staff yang lain. Jadi selama project berjalan, kamu di sini biar kita saling backup," terang Risa, yang mulai menampak kan sisi lembutnya. "Baik, Mbak Ris," ucap Kia, dengan senyum ceria, setidaknya dari meeting tadi bisa sedikit menunjukan kemampuannya, jika ia pantas berada di sini bersama mereka meski belum memiliki background pendidikan yang tinggi. Sebentar lagi, hanya sebentar lagi, aku bisa memiliki akademik yang setara dengan mereka, saat itu tidak akan membiarkan siapapun meragukanku, lagi. ujar Kia dalam hatinya. Mengingat semua cemooh yang ia terima sebelum ini. Jika Kiara sedang berbahagia sebab di berikan kepercayaan oleh atasanya, maka berbeda dengan Wira yang sejak tadi memikirkan karyawan baru yang duduk di hadapanya saat rapat tadi. Wajahnya tak asing, apa aku pernah bertemu dengan gadis itu? tapi dimana?. Mungkin nanti akan ku tanyakan pada sekertaris Ari. *** Sedang di tempat lain, seorang lelaki tampan dengan garis wajah tegas, sedang tersenyum memandangi foto gadisnya yang terlihat bahagia di kantin kantor, bersama teman-teman barunya siang tadi. "Teruslah tersenyum, semoga senyum itu tidak pernah hilang.Meski saat mengetahui semuanya, aku yakin kau akan kecewa atau bahkan terluka dengan semua ini," ucap lelaki itu lirih seiring dengan telfon yang berdering. "Kamu urus semuanya, jangan mencolok, buat semuanya senatural mungkin," ucapnya tegas, pada seseorang di ujung telfon. Jika tentang Kiara, lalaki tampan itu akan melakukan apa saja. Termasuk membuka lowongan pekerjaan, padahal perusahaanya tidak sedang membutukan karyawan. Lelaki itu kembali tersenyum, saat melihat Kiara yang sedang berjalan riang melewati lobby. Lalu segera menyambar jas nya yang tergantung di bahu kursi. Matahari mulai terbenam, saat Kiara berjalan kaki menuju kosan yang berjarak dua puluh menit dari kantor. Sebenarnya bisa saja Kiara menggunakan kendaraan umum agar lebih cepat, hanya saja ia ingin berhemat dari pada uangnya untuk ongkos, lebih baik buat beli es kopi di warung sebrang kantor. Ya, Kiara kini menyukai kopi, sebab hidup nya tak lagi semanis coklat yang sebelumnya selalu menjadi favorit Kiara. Pahit kopi rasanya lebih tepat menemani keseharianya saat ini, agar lebih semangat menghadapi hiruk pikuk dunia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD